Senin, 09 November 2009

PUISI-PUISI DARI ANTOLOGI 'TEMBANG TANAH MERDEKA'


Puisi-puisi postingan kali ini terhimpun dalam antologi TEMBANG TANAH MERDEKA.

DARI DEBU-DEBU REVOLUSI

Kendati kami telah jadi debu dan tanah
terdapat sepanjang pantai dan lembah
belum hirup hangat mentari kemerdekaan
belum reguk segar nikmat kebebasan
namun bukan berarti
segala yang pernah kami korbankan
buat perabuk ladang tempat kau bertanam
dan kukatakan sekarang
segala kami yang nyawanya masih gentayangan
sampai yang damai di sisi Tuhan
kami tak pernah relakan
bumi hangat
yang kami basuh dengan darah
rimba padat
yang kami dekap dengan cinta pasrah
kau buat padang penggembalaan
bagi domba-domba kelaparan
percuma kami jadi debu beterbangan
bila megahnya bangsa sekadar lagu pujaan
galaknya tekad sekadar kata pajangan
bukan untuk itu kami telah sedia mati
namun buat maniskan madu laut katulistiwa
tempat anak-anak masa depan
bebas berkubang sambil minum dan tertawa
tanpa cemas pada neraka dunia

Yogya, 1974





BALADA PATRIOT MUDA

Matahari katulistiwa
masih semayam di jantungnya
masih bakar pembuluh darah dan sendi
karena
masa muda gelanggang pacuan cita
bukan sebuah kolam di taman kota
ketika pagi di tanah ini tenggelam
dalam cerita-cerita hitam
atau tertimbun bukit merjan
pijar api masih nyala di mata
tegar hati masih tugu di jiwa
matahari masih nyala di dada
cita-cita masih utuh dalam sukma

masa muda hakekatnya
pertempuran lawan segala kenistaan
bukan sebuah meja perjamuan
masa muda hakekatnya
pintalan nyali bentuk cemeti
ketika angkara di tanah Ibu meraja
disaksikan bumi dan langit
inilah hakekat pertempuran itu

Yogya, 1975






DRAMA TANAH TERCINTA

Seribu matahari membakar tanah ini
duka-duka menguap jadi pelangi
nyawa-nyawa tersisa jadi arang dupa
asap nembus langit cari Tuhan-nya
suara-suara genta lagu merdeka
sentuhi derita-derita
lama terkandung dalam rahim bumi tua
adakah wangi masih di dalamnya
tuk memanggil-Mu Tuhan hapus ini durhaka
lama meraja di tanah tercinta

Biarlah guruh dan petir jadi musik di hati
hantar rinduku yang sangat
hancurnya duraka di rumah sendiri
lama cemari bumi Ibuku
kidung dan doa tuntas malam ini, Tuhanku
pijarkan dendamku pada sang duraka
yang membuat Ibu terbelenggu kebebasannya
yang membuat Ibu sandang mala saat merdeka
pacukan kekuatan di tangan ini, Tuhanku
kukuhkan cinta dan harapan
karena dengan tangan ini jua
ingin kuangkat sendiri
Ibuku nerobos pintu duraka

Yogya, 1976






NYANYIAN PUTIH

Sesosok bayang bicara dari dunia jauh:
ini hari yang wangi, saudaraku
jangan hentikan nyanyianmu
selagi merah putih masih berkibar tinggi
bersaksilah bagi kami, saudaraku
peluru telah menyunting janji maut
jadi manik dan bintang di dada
mati bukanlah sakit untuk diobati
melainkan nyanyian putih di hati
tentang cinta pada setiap tapak bumi

Terus nyanyikan hari ini, saudaraku
seperti kami nyanyikan dari bayangmu
kenapa lari sembunyi?
pandangi camar terbang sepanjang pantai
bincang cinta egoisme dan hal tak menentu
inikah ujud lain dari pekik merdeka atau mati-ku dulu?
di ujung kakimu itu
dulu darahku tumpah dan beku
tanpa doa tanpa apa-apa
aku tanya dalam kebodohan primitif
tapi kau hanya bernyanyi syairnya lain
sekali, tentang disco dan gensi
aku makin bising tak lelap berbaring
akankah kau henti dan mulai benah diri?
dan mengirim diriku kembang melati...

Jakarta, 1978




BALADA ANAK ZAMAN MERDEKA

Anak zaman merdeka adalah kami
yang merdeka hasrat jiwa
yang pacu langkah sepanjang sejarah
yang berjuang sepanjang hayat
di tanah kering di tanah basah
menanam pohon pengharapan

anak zaman merdeka adalah kami
yang memasang pilar-pilar negeri
yang memukul tifa deramkan genderang
yang pancang tali baja di pantai dan rawa
di tanah bunda tanah perdikan
mencatat peta sejarah

gemuruh perang itu bagian masa silam
gemuruh langkah sekarang
adalah catatan perjalanan
anak laut anak angin anak musim
sungai-sungai masa datang
tempat harmoni kehidupan berlayar

Jakarta, 1990










KETIKA BUNGA DITABUR
ATAS PUSARA TAK BERNAMA

Hari ini kita melangkah satu arah
gagah bagai tembok-tembok makam
wajah sekeliling serius penuh janji
menatap nisan-nisan putih
perekam berita ziarah
resapkan cinta tumpah darah
ketika bunga ditabur
atas pusara tak bernama

“Ibuku lahirkan manusia utama
batu dasar dan pilar penyangga
kokoh nusa kokoh bangsa
tiupkan nafas putih padat kasih
lewat pori tanah di tapak kakimu
antara doa-doa terucap
pada hari-hari begini
rindu kesejatian”

seorang prajurit muda tak bernama
menatap antara kerjap
lewat bayang pohonan rindang
kesiurkan angin makam hari ini
ketika bunga ditabur
atas pusara tak bernama
dan kita selesai diam-diam
melangkah pulang berpencar arah

Jakarta, 1990



NYANYIAN HIDUP

Anak-anak Indonesia tak pernah lalai
akan tugas hari yang hampir lusa
tahu setiap langkah dimulai
tersaji angka-angka dan realita
siap menghadang tak hendak bincang

Anak-anak Indonesia tak pernah sangsi
hidup bukan nyanyian siap tembang
tapi kata yang harus diberi makna
lontar hasrat yang harus diberi nada
apa yang didapat dari buku
tak lebih awal ajaran
apa yang disimak dari layar kaca
tak lebih mosaik dan retorika
apa yang didapat dari kehidupan
kearifan dan kebijakan

anak-anak Indonesia tak pernah alpa
pengalaman bukan kamar yang dikunci
melainkan hati yang terbuka
pahami kehidupan seutuhnya selalu di sanalah ia

Jakarta, 1991









CATATAN ANAK PERANG

Di antara serpih tulang
ada kenangan panjang
di antara kerak darah
ada keangkuhan menjarah
di antara bau mesiu
ada cinta Ibuku
terkubur jadi satu

Barangkali akan jadi penyubur
tanah negeriku yang kini hancur
barangkali di sini sesudah ini
tumbuh pohon paling tinggi
tumbuh bunga paling wangi
lambang kehidupan masa depan
penuh hawa perdamaian

Tapi aku lebih ingin
Ibu dan kakak lelakiku ada di sini
lewati hari-hari sederhana
nyusuri lorong kota raya tanpa bara

Jakarta, 1991










CATATAN TANAH MERDEKA

Gelisah acara di layar kaca
gelisah jiwa di tanah merdeka
gelisah langkah pencari makna
baur dalam kota terbakar
ini catatan sejarah
mestikah ditulis dengan darah?
inikah tanyamu
sambil menyepaki angan-angan
anak-anak yang tertawa pada plaza
anak-anak yang marah pada rumahnya
anak-anak yang memanjati menara mimpi
baur dalam kota nanar
inikah tanyamu
sambil nelan darah di lidah
sementara sejarah diselewengkan
sementara jiwamu terus meradang
mata merah senyum hilang
o, anak lanang cobalah nembang
ingat pesan bapakmu di awal perang
pahit getir kemerdekaan
setia dikumandangkan

Jakarta, 1991









PESAN LELAKI VETERAN
KETIKA MENJELANG AJAL
KEPADA ANAK LELAKINYA

Senapan senapan lama sudah disandarkan
pinggir hutan dan ceruk lembah
telah jadi sejarah
sahabat-sahabat mati muda
dengan nyanyian belati di hati
semua tak sempat kucatat
aku tak pernah berhenti perang
melawan dendam berkarat

Berdoalah untukku sewajarnya
manakala ruhku yang lelah
telah melintasi pohon trembesi
tak perlu menyesali
kepapaan hanya sempat kuberi
tak perlu mencoba nanti
mengurus belas kasihan
jalannya terlalu panjang
lebih panjang dari sejarah perjuangan
kau tak bisa bicara dengan aparat
karena jiwamu burung yang merat
lebih baik kau jadi lelaki sederhana
bersahabat dengan wong suci
rembulan dan matahari
tapi jika tak bisa
angkat pedang dan jadi ksatria

Jakarta, 1992
ANAK-ANAK TAMAN KOTA
MENGEJAR LAYANG-LAYANG BENDERA

Anak-anak tumbuh di taman kota
kau tak melihatnya
mereka berkerumun di embun-embun
berlompatan di ubun-ubun
mencabik-cabik matahari
melempari rembulan
mereka menyerang bagai kuman
menjerit bagai hewan
mencabik-cabik impian
melempari harapan
kau dan aku
tertegun kehilangan ubun-ubun
di langit mengejek layang-layang bendera
mengejarlah mereka sambil mengejek kita
Anak-anak tumbuh di taman kota
kau tak melihatnya?

Bogor, 1992











CATATAN PRAJURIT PERANG

Barangkali ini mimpi paling indah
bagi orang-orang negeri terjarah
manakala lilin-lilin menyala di lembah
cahaya, hati anak-anak njelma mekar bunga
prajurit perang lepas senjata
wajah luluh lengan terbuka
manakala bunga-bunga kecil
terulur dari tangan-tangan mungil
tangan anak-anak masa datang
kalau saja prajurit perang
lupakan senjata tak hari ini
lupakan ajaran di medan-medan
manakala di depannya
tapak-tapak kecil bertebaran
nada-nada harap berloncatan
kami mau perdamaian
kami mau main dan makan
kami mau lilin dan kembang

Mulut-mulut kecil terus bernyanyi
di lembah penuh cahaya
prajurit perang berkata riang:
lihat sudah kulepas senjata
lengan siap dekap cinta
lihat ada air mata dan tawa
derai beriringan

Bogor, 1993



CATATAN PARIT

Panglima melepas aba
tak di balik parit
prajurit siap siaga
di dalam parit
anak kota perang tersungkur
mendekap parit
sementara berhamburan peluru
bagai turun dari langit
mengkoyak udara kota
mengkoyak punggung anak pejuang
yang lari bertemperasan
menuju parit perlindungan

parit
terus digali tangan-tangan sunyi
parit
terus untuk sembunyi hati-hati sunyi
parit
terus menyimpan doa-doa sunyi
samar-samar ada pencarian KASIH sunyi
parit
terus kirimkan ruh-ruh sunyi
parit
terus sebarkan bau dosa-dosa sunyi
parit

Bogor, 1993





CATATAN KAWAT BERDURI

Kawat berduri mencabik mata
tak leluasa menatap langit
barikade menahan dlengan
ingin meraih pejuang muda
luka terperangkap pongah dunia
kawat berduri mencabik hati
tak leluasa menjabat sesama hati
di antara gelegar artileri
siapa lagi kita tangisi hari ini
kawat berduri mencabik rahim
lahir anak zaman sebelum waktu
di antara dendam membara desing peluru

kawat berduri mencabik segala
kepala – rahim – dada perempuan
darah mengalir dari pusar dan bibir
merahkan kawat-kawat berduri
merahkan tanah limbah dosa penguasa
merahkan jarak yang terus nganga
perbedaan
kepentingan
tahta dunia

Bogor, 1993








MONOLOG NELAYAN TUA
TENTANG KEMERDEKAAN

Perjalanan menghela mimpi besar
buah kemerdekaan itu
orang-orang saling menafsirkan
ada tak ada pertanda zaman
hari ini sebuah kenyataan
mosaik peradaban kilas berita rekaman
orang-orang saling bicara
dari mimbar ke mimbar
sesekali menerawang langit lepas
sesekali tenggelam dalam doa-doa
banyak sudah yang berubah
buah kemerdekaan itu
ada dalam saling rampas tata kota
ada dalam angkuh di jalan raya
ada pada orang-orang kehilangan rumah
yang berumah kehilangan makna

hari ini sebuah elegi, isteriku
kata seorang nelayan tua kehilangan laut
ingatannya melayang mengapung
di atas ombak-ombak laut suwung
kapalnya dulu ikut bebaskan tanah Irian
darah di nadi dulu jadi ikatan
lusa sebuah mimpi besar, isteriku

Bogor, 1994





USAI PERINGATI
PROKLAMASI KEMERDEKAAN I

Senja bendera diturunkan dengan upacara
langit temaram lelampu berpendaran
Jakarta terus berderam
lalu lalang tanpa henti
sementara mulut-mulut terkatup
wajah-wajah tak mudah diterjemahkan
barangkali luput dari tatapan
sesosok jiwa kembara menatap di kejauhan
dia bukan siapa-siapa
yang menghadiri apa-apa
hilang bersama raungan kota-kota peradaban
yang mabok kemerdekaan

Dia hadir dalam warna hitam saudaranya
tandanya dia dalam cemas dan duka
sementara mulut serukan kata merdeka
dia usung derita peradabannya
namun semua harus terus melangkah
di antara pengkhianat

Senja bendera diturunkan dengan upacara
matanya buram jiwanya lebam
Jakarta kian berderam

Bogor, 1994






USAI PERINGATI
PROKLAMASI KEMERDEKAAN II

Orang-orang bertemperasan di mana-mana
langkah tersangkut di umbul-umbul
pikiran lepas dari buhul-buhul
orang-orang mabok kemerdekaan
lupa ajaran hidup benar
jadi rakus dan temaha
memangsa segala
orang-orang makin mabok, berkeliaran
dalam rimba tercipta di angan sendiri
mereka bicara lupa gramatika
merdeka permainkan norma
mereka buat penafsiran baru
tentang makna kemerdekaan

Merdeka merebut yang bisa direbut!
(Tuhan, termasukkah air mata kami?)

Merdeka bikin yang baru buang yang lama!
(Tuhan, termasukkah warisan leluhur kami?)

Merdeka sulap huta beton di kota-kota!
(Tuhan, termasukkah tebang pohonan kami?)

Orang-orang bertemperasan di mana-mana
bendera-bendera di trotoar
belum semuanya habis terjual
cinta negeri ada yang ada yang kental

Bogor, 1994


USAI PERINGATI
PROKLAMASI KEMERDEKAAN III

Antara mimpi tragedi kujejer parodi
sambil menatap langit
menyimpan kibas bendera
nyanyian sukma bangkit
bangun harapan jadi bukit-bukit
kemerdekaan ini, saudaraku
jelma panorama lain sepanjang windu
sepotong ambivalensi
digapit-gapit kontradiksi

Antara mimpi tragedi kujejer ilusik
kutembangkan dan kutangisi
sementara orang-orang sederhana
sesaat lupa hujan air mata
manakala pasang gapura
menulisi: Negeriku Jaya
kemerdekaan ini, saudaraku
selembar mosaik raksasa
orang-orang riuh percikkan warna

Bogor, 1994






USAI PERINGATI
PROKLAMASI KEMERDEKAAN IV

Menikmati kemerdekaan
seperti melangkah tak berkesudahan
di antara manusia penuh temperamen
sesekali diri tertawa sendiri
sambil menatap arah Timur
puncak Rahtawu lembah Muria
mulai kuratapi diam-diam
saat teknologi lapar gelar cakar
kotaku daerah bahaya tiga

Menikmati kemerdekaan
seperti menarik langit ke dalam hati
diam-diam kusyairkan
diam-diam kupertanyakan
gunung-gunungku
lembah-lembahku
hutan-hutanku
sungai-sungaiku
bahkan kesetiaan petinggiku

Bogor, 1994









BUNGA SEJARAH
(bagi sang proklamator)

Di laut dialah badai
di langit dialah matahari
di tanah merdeka ini
dialah pohon yang akarnya
tak pernah tercabut
dari buminya
kita selalu memilikinya
sejarah telah memberi bunga

segala epos, ode, balada sampai elegi
tak sempurna merangkum perjalanan paling indah
karisma, cinta dan cita-cita

Suaranya masih di udara
menyulut bara di dalam dada
di laut di langit di tanah merdeka ini
dialah segala warna menyatu di bianglala

Bogor, 1994












KETIKA ANGIN BERHEMBUS
BENDERA BERKIBAR SEMANGAT MEKAR

Ketika angin berhembus bendera berkibar
terdengar pesan itu:
‘jangan henti wangikan negeri
Sudah melangkah pantang kembali
Sang ratu ada dalam jantungmu
Pawang bumi mengasuhmu’

Ketika angin berhembus bendera berkibar
seorang anak berjanji
pada bapaknya almarhum
sambil menatap tiang bendera
di halaman depan istana
semangatnya mekar:
‘bapa janjiku ada
dalam kelopak umur
dalam lubuk kehidupan
dalam Berkah-Nya jua’

Bogor, 1995












DALAM ABSTRAKSI HIJAU
INDONESIA MERDEKA

Seorang anak Indonesia
berdiri menyimpan ombak samodra
ada pesan di antara gemulungnya
‘lupakan segala kutukan
jika hati putih engkau Kekasih Tuhan
urat nadimu arus bengawan
apungkan harapan-harapan
simak langit simpan janji wingit
lingkar hijau abstraksi cinta
tanah merdeka
menghidupkan gunung suwung
menghidupkan harapan mendung
menghidupkan semangat terkurung
hitung upacara-upacara telah digelar
jadi merjan-merjan kehidupan
tapi jangan hitung nisan-nisan di makam
karena ia ujud kesetiaan
kau diberkahi untuk moyang
jantungmu penuh kidung kaya irama
hutanmu kan semi di mana-mana
mesin gergaji henti bekerja
sungaimu bening di mana-mana
limbah hitam kugulung sirna
dalam abstraksi hijau Indonesia merdeka’

Bogor, 1995





MONOLOG SEORANG ANAK INDONESIA

Bendera masih berkibar di udara
peluru di dadamu ikut menebusnya
kuzikirkan doa-doa sederhana
mendesirkan Karisma-Nya
kemerdekaan bagai pohon tumbuh
kemerdekaan bagai plaza bermozaik
ada gerak, ada keindahan
meski musim jadi dataran berkabut
aku terus bersaksi tanpa ratap
akarku tak tercerabut
sesekali jika aku tak mengerti
pada kenanganmu jawab kucari
lalu menyusuri jalan setapak
hijaukan lahan-lahan dalam ingatan
birukan langit pada mata menyipit
utihkan kembang randu tanda kemarau
sambil mengeja makna kemerdekaan
sambil tengarai tahun-tahun perjuangan

Dan aku terus bersaksi
dan aku terus berdoa
kurasakan angin berhembus
bendera melambai menyapa
orang-orang selesaikan upacara

Bogor, 1995






NYANYIAN ZAITUN
ROMANZA PERDAMAIAN

Saat kau tembangkan syair zaitun
tumbuhan benih rembulan
ditaburkan kepak merpati
dihijaukan cahya matahari
tumbuh daun di rantingya
di tanahmu terbentang lembah merdeka

Orang-orang lembut perangai
ada bunga di depan pintu pagi hari
menyapamu seiring harum kopi
perempuan di seberang jalan lambai tangan
adakah kau sahabat masa sekolah, sapanya
anak-anak berlarian di rerumputan
matahari masih di balik pohon Yangliu
o, busur panah tlah menyatu di lengkung langit

Mereka terus melambaimu
o, gamang tlah lama dikubur di bukit-bukit
seru seorang bocah matanya bening bintang
lalu panggil angin bersarang di pohon rindang
indahnya hari tanpa dendam sejarah
di jalanan orang lewat dan berbincang

Bogor, 1995






MENYUSURI LORONG KOTA
MENDENGAR BOCAH MENEMBANG RESAH

Suaranya tak jelas di antara
lengking nyaring penjaja minyak
kaukah itu anak kecil dalam anganku
suaramu mewakili resah zaman
perjalanan masih panjang
mengantar abad dan musim
kubiarkan kaki melepuh
bunga rumput di baju lusuh
barangkali cinta sesiapa akan hadir
di antara bercak merah mentari petang

Suaranya kian mengambang
kulihat hutan terbakar kembali semi
kulihat sungai berlimbah bening lagi
setiap kupuja engkau Ibu Kemerdekaan
dalam niatan kuciptakan lahan-lahan
agar lembah penuh satwa
agar jiwa penuh taqwa
tapi aku hanya sendiri
di sekelilingku raung gergaji
Ibu kembalikan aku dalam rahimmu

Aku terpana di lorong kota raya
suara anginkah telah menerpa dinding tua
memantul lindap ke lubuk jiwa

Bogor, 1995




KESAKSIAN SEORANG ISTRI VETERAN

Sepanjang musim tak pernah berubah
suaranya itu matanya itu
pekik rajawali
kilau matahari
keduanya kekayaan langit

dia lelaki hati mimis
dari bui ke bui tak habis-habis
jenawi dan senapan sahabatnya
pernah musuh jadi ilalang olehnya
jangan ubah dia punya hati
cintanya satu hanya
tanah raya yang merdeka
dia lelaki kuda sembrani
jiwanya angin sabana dari tenggara

Mastodon-mastodon jadi fosil di nafasnya
pengkhianat jadi reptil di suaranya
pendosa jadi berhala di sentuhnya
dia ada di mana-mana dalam sosok lelaki
tabah, tak pernah sangsi kebenaran sejarah

Bogor, 1995









BERLAYAR SEPANJANG PANTAI
BERPIKIR TENTANG KEMERDEKAAN

Sebuah tumbal paling mahal
bagi bendera di angkasa hari ini
adalah air mata tak pernah sudah
iringi kepergian tanpa kembali
saat mimis iris dada tipis s’orang lelaki
sementara orang-orang tak beriman
diam-diam lakukan transaksi pengkhianatan
kini kueja kembali makna kemerdekaan
di antara ladang bunga
dan kampung-kampung gusuran
anak siapa menangisi air matanya
tlah jadi genangan bekas galian
:Mari berlayar spanjang pantai tanah air
akan kau mengerti kemerdekaan yang lain
angin berhembus di sauh kepucatan
ombak sentuh kakimu yang berjuntaian
lalu kau berseru ke arah matahari
seleret burung melintas tinggi
kebebasan yang hakiki milikmu
sementara perahu kita terus melaju

:Jangan kembali ke daratan, pintamu
aku akan terperangkap dan menangis lagi
aku mengerti, ibumu laut bapamu langit
dan kita kuik elang sisa peradaban

Bogor, 1995




PESAN BAPA SEBELUM PERGI BERJUANG

Jangan sampai engkau henti
menabur benih di tanah perdikan
jika melangkah pantang kembali
jangan sampai engkau terlena
hari tinggi masih berdawai
jaga jiwa jangan lunglai

Bapa, bapa, aku berjanji
kata-katamu bunga melati

Jangan sampai engkau resah
jadi saksi kebenaran sejarah
tatap langit penuh gairah
jangan sampai engkau mundur
nanti bisa jadi jamur
aku ingin engkau jadi anggur

Bogor, 1995














ABSTRAKSI BARU ANAK INDONESIA I

Ditatapnya lama-lama
genangan panjang membelah kota
mengalir lamban warna tak tereja
gelap kecoklatan
kelabu kehitaman
namanya entah sungai entah bengawan

Sementara angin menyapa permukaan
apungkan plastik, dahan dan
mimpi masa depan
terus menuju muara
sebentuk perahu daun
ada di tangan
membawa mimpi Indonesia

Bogor, 1995












ABSTRAKSI BARU ANAK INDONESIA II

Anak kecil pinggir hutan sunyi
menatap langit Indonesia
ingin tembangkan hutan hijau kemilau
ingin renangi kaki bening berkeliling

o, hari merdeka
tanah merdeka
jiwa merdeka
semua luar biasa

Cuaca berubah redup temaram
burung kecil yang tertinggal
dalam sarang tersisa kaku
burung besar terbang nanar cari habitat baru

o, hutan merdeka
kini diburu
anak kecil menatap langit
mata basah senyum raib

Bogor, 1995











PRASASTI CINTA NEGERI
PEREMPUAN SEDERHANA

Angin pagi agustus ringan berhembus
kabarkan cerita lama tentang bapa
hilang bersama badai perang kemerdekaan
bapaku lelaki bukit padas
dari timur, semangat ruh jagad
lelaki dari langit
mulut simpan kata-kata wingit
kurindukan kehadirannya
setiap pagi agustus tiba
tapi dia tak pernah kembali
hati berkata
bapa telah menyatu pada bumi

Pagi berangin mentari di pucuk randu
bapa bicara pada semesta:
anakku perempuan cilik
mata bening hati akik
kelak dia kuat bak Kalinyamat
kelak dia mengerti bak Kartini
kelak kutitipkan hari-hari
getar nafas perjuangan
sejak itu bapa hilang
kutanam prasasti di padang-padang
sambil menghitung-hitung bintang
kukirim tembang

Bogor, 1995




TANAH AIR YANG SIMPAN
MOSAIK PERADABAN

Dia tumbuh jadi perempuan matahari
selalu berlayar dengan dayung besar
dihantar angin kembara
hasratnya dekap dunia
sambil memanggul kampak berkarat

Pantai-pantai disalami
dermaga-dermaga dipacak penjor
janur kuning dan umbul-umbul
dikikis segala pedih
langit berkaca di laut jernih

Dia mengaku anak pawang
di dadanya angin bersarang
urat nadi jalan setapak hijau pematang
hutan tropis merimbun di rambutnya memutih
tanah air kinanti simpan mosaik peradaban

Bogor, 1995












PRASETIA CUCU KI SUTO LEGOWO

Dia mengaku cucu Ki Suto Legowo
lahir dari perempuan gapura bunda
namanya tersimpan sepanjang kurun
berada di antara ombak-ombak laut
berada di antara kampung tua merah hitam
cintanya tanah merdeka
meski kerap hadir bencana

Sampai denyut jagad menyatu pada hati
sampai cakrawala menyatu pada dahi
prasetia cucu Ki Suto Legowo

Bendera berkibar di mana-mana
dan berkibar di hatinya
janur kuning beruntaian di gapura
dan beruntai di lehernya
mega-mega berlintasan di langit
dan berlintasan di angannya
di depan istana usai upacara bendera
dia melihatmu dan beburung terbang ke matahari

Bogor, 1995










BALADA PUTRA SANG FAJAR I

Setiap pagi bangkit di ufuk timur
sentuhan alam murni
melubuk di kedalaman nurani
fajar mengantar matahari merah
puja-puji kemuliaan Ilahi
alam, satwa dan imaji
menyatu pada bayangmu, bapa
abadi dalam ingatan masa bocahku
lima windu silam di kota kecil pantai utara
jiwaku menyapa jiwamu
mencari karismamu pijar
matahari bersaksi anak manusia bersaksi
:Ketika kau bangkitkan rasa berani
terus melangkah ke satu arah
gapura Indonesia merdeka
dan hasrat sejahtera
tatap pandangmu arah cakrawala

Rajawali dan merpati
seakan melintas di angkasa
kutangisi haru bangga
bunga tanjung melati dan gondosuli
kuronce dalam imaji buatmu, bapa

Bogor, 1995







BALADA PUTRA SANG FAJAR II

Saat tiba masa paling sulit
sejarah jadi padang ilalang tersabit
kutangisi diam-diam bias wajah buram
namun semangatmu kugenggam
musim bergulir sejarah kuak tabir
puji Tuhan karismamu utuh kembali hadir
kata-kata bernuansa
dan syair-syair dari getar sukma
kupetik dari kebun nurani
pengganti bunga tabur di pusara
angin ombak embun dan kabut
menyatu di hari ini
mewartakan baladamu Putra Sang Fajar

Aku mewakili
anak-anak Indonesia masa itu
langkah-langkahku datang
dari Aceh sampai Irian
nafasku angin pantai sampai pegunungan
suaraku mencari gema suaramu
kucermati mimbar putih itu
dengan pandang mata bocahku
jiwaku bernyanyi balada Putra Sang Fajar

Bogor, 1995






VETERAN TUA DAN BENDERA

Di langit telah berkibar bendera
tapi orang-orang masih bertanya
tentang kemerdekaan lain
yang tetap menjadi impian
:masalahnya sederhana
(kata seorang veteran tua)
:itu bukan untuk dijawab tapi dihayati
sepenuh jiwa raga sampai mati
kenapa orang-orang mesti gusar
membiarkan hati ngembara
dan jauh tersasar

Sebenarnya kita telah salah mengeja
dan makin salah memberi makna
:kembalilah ke dalam lubuk nurani
temukan butir-butir sifat Ilahi
(orang-orang tertawa)
:kalian tak percaya
(tanya veteran tua)
:di sini ada
ditikamnya dada
ditampungnya darah disiramnya bendera
warna merah mulai pudar itu
kembali nyata
veteran tua memeluk bumi
bendera memeluk angkasa

Bogor, 1995




BAYI PEREMPUAN DALAM IMPIAN ITU
KUNAMAKAN KEMERDEKAAN

Menjadi impian sepanjang musim
adalah sepasang mata bening
seraut wajah tanpa dosa
gerak lembut sarat makna
hadir dari rahim waktu
yang menyatu dengan rahimku
ketika hari-hari makin menjauh
terbangkan angan-angan dan segala
melihat luas lahan kehidupan
menyimak padang-padang perburuan
ke gemuruh laut arungan kubawa dia
ke Mendut langit berkabut kubawa dia
dia harus belajar tentang suara
anak manusia yang sarat beban
dari katarsis ke katarsis
dia kubawa
dari pencarian ke pencarian
dia serta
bayiku menyatu tanpa tangis
karena
dia ruhku, zatku, sepercik ujud
Kuasa-Mu

Mendut, 1995







DI ANTARA BENDERA-BENDERA
ENGKAU BERKIBAR INDONESIA I

Indonesia akulah anakmu
lahir dari lorong luka
dengan peparu penuh jelaga
dengan mimpi gambar gapura
dengan harapan kelebat bendera

Indoensia akulah anakmu
lahir dari liang luka
nadiku kali Ciliwung
dahiku jembatan layang
dadaku trotoar plaza

Indonesia akulah anakmu
lahir dari erang sejarah
peluhku laut mencari pulau garam
darahku ombak mencari bulan tertusuk
lalang, nafasku angin mencari muara

Bogor-Jakarta, 1996











DI ANTARA BENDERA-BENDERA
ENGKAU BERKIBAR INDONESIA II

Indonesia aku rindu kejujuran
Indonesia aku hasrat kikis jerat
Indonesia aku pucat di lobimu terikat
berapa lama trotoarmu dibongkar pasang
berapa lama dusunmu dikapling dipalang
berapa lama aku harus bersaksi nyalang
setiap Agustus cintaku kian meratus
harumnya tembus sampai di rumah kardus

Dari perahu pinisi
lalu perahu kertas Sapardi
kini perahu retaknya Franky
lusa perahu apa lagi
barangkali perahu emasnya Zawawi
Indonesia
biar sengsara aku tetap cinta
Indonesia
biar terlinggis aku tetap tak nangis
Indonesia
biar terlumat aku tetap lekat
karena engkau hidup matiku
karena engkau masa depan generasiku
karena engkau bendera di langit jiwaku

Bogor-Jakarta, 1996






BALADA SANG PERKASA

Bumi langit lembah dan bukit
sepanjang musim terus bersaksi
kehadiranmu sang perkasa
cahaya hidup mahkota jiwa
anak negeri simpan setia
meski sejarah penuh prahara
masih kuingat warna yang susah
siang dan malam menabur gundah
Juni mekar udara menggeletar
Kudengar suaramu dari arah Blitar
Anggun dan mawar

Bapa, Bapa segala Bapa
kasihnya membalut segala luka
di sini aku terus berdoa

Mengiring perjalanan kota tua
kudengar langkahmu menandai windu
menghitung angka-angka perjuangan
yang telah banyak bersimpangan
pilar-pilar pernah ditegakkan
masih berdiri bersaksi
sementara pilar lain tak sisakan
selahan buat prasasti
anak-anak pun kini perkasa
selalu menanyakanmu di mana Bapa
jawabku engkau tengah rampungkan tapa

Bogor, 1996



CATATAN ANAK PERANG I

awan hitam mengapung
di udara malam
kota awal mula peradaban
taman dan jalanan tempat berlarian
makin hari penuh lubang
rincing rebana dan deru pesawat
apa bedanya – ya bapa
seru tangis dan raung sirene
apa bedanya – ya bapa
setiap fajar bangkit
debu Baghdad mengapung di sungai Eufrate
setumpuk giris berlapis-lapis
hanyut perlahan di sungai Tigris
mimpiku tentang Karbala dan Basra
terhapus angka-angka trauma
semua terus berlangsung
semua terus berkabung
tapi aku harus gantikan kakak lelakiku
karena tanah ini denyut jantungku

Jakarta, 1991/1996








CATATAN ANAK PERANG II

ada yang mengalir di sungai musim
harapan-harapan anak perang

ada yang melantun di udara malam
doa-doa anak perang

ada yang menyentuhi detik waktu
mimpi-mimpi anak perang

ada yang tak bisa dilakukan
melepas merpati terbang

ada yang lama dirindukan
berzikir, barzanji dengan tenang

ada yang harus ditinggalkan
menari berkejaran di jalanan

ada yang membubung ke rumah Tuhan
nyawa-nyawa anak perang

Jakarta, 1991/1996






CATATAN ANAK PERANG III

Masih adakah yang tersisa
di antara puing Amriya
kulihat hanya tulang yang kenangan
langitpun keriput wahai
karena hujan tlah habis jadi tangis
karena suara begitu galau muncul hilang
seharusnya kau tak pergi
selama bapa ke selatan belum kembali

masih adakah yang tersisa
di antara puing Amriya
kulihat hanya darah yang mosaik
menjadi simbol-simbol keangkuhan perang
seharusnya kau bersamaku hari ini
menyusuri lorong-lorong kota
mengumpul warta bagi yang tua
sambil melompat-lompat
di celah reruntuhan gedung
membiarkan otak kita penuh fatamorgana
tentang kota raya bermahkota
kaukah itu di antara kerumun pengungsi
bayangmu pun tak kukenali


Jakarta, 1991/1996





CATATAN ANAK PERANG IV

di antara serpih tulang
ada kenangan panjang
di antara kerak darah
ada keangkuhan menjarah
di antara bau mesiu
ada cinta ibuku
terkubur jadi satu

barangkali akan jadi penyubur
tanah negriku yang kini hancur
barangkali kelak di sini
tumbuh pohon paling tinggi
tumbuh bunga paling wangi
lambang-lambang kehidupan masa depan
tapi aku lebih ingin
ibu dan kakak lelaki ada di sini
lewati hari-hari sederhana
nyusuri lorong kota raya
dalam angan tiada bara

Jakarta, 1991/1996



CATATAN AGUSTUS
SEORANG LELAKI PENJUAL BENDERA

ingatan tebtang merdeka, nang
masih mengental di kopi pahit
kian hari makin pahit
lantaran kebun tebu
warisan canggah moyangmu
telah ditumbuhi tiang-tiang beton

anak cucu yang mulai dewasa
kini bertanya asal-usulnya
dan heran melihat aku yang simpan medali
keliling kampung menjual bendera
setiap agustus menjelang tiba
setiap kusembunyikan air mata

harapan tentang merdeka, nang
terus mengental dalam impian tua
kian hari kian pekat
seperti malam tanpa saat
selagi darah menetes di jalan raya
selagi raungan duka membius kota

api membakar udara malam
tapi sangkur telah lama kusarungkan
doaku bersarang kembali di dada
sementara bebatuan berserak di trotoar
sementara keberingasan mencari mangsa
aku sempurna terusir dari tanah kelahiran

Bogor, 1996

AGUSTUS DALAM ELEGI

seorang perempuan
dengan bendera di pangkuan
terus menuliskan kata di udara
dengan jemari mulai gemetaran

aku waktu yang tak memjbaca waktu
aku arus yang tak membaca arus
aku jusim yang tak membaca musim
aku angin yang tak membaca angin
agustus terus menggerus
jiwa terbakar hangus
tanpa wangi ratus
aku titah tanpa rajah
aku api tanpa cahaya
aku laut tanpa ombak
aku badik tanpa tajam
agustus jadi arus
minuman jadi darah
trotoar jadi getah

seorang perempuan
dengan bendera di pangkuan
terus merasakan kehilangan
saat jemari mulai gemetaran

Bogor, 1997






AMSAL KEMERDEKAAN I

Merdeka itu
awan yang bebas membentuk gambar sendiri
di langit

Merdeka itu
kata-kata penyair yang meluncur alami
sepanjang perjalanannya

Merdeka itu
pakis-pakis yang tumbuh baru di atas lahan
sisa kebakaran

Merdeka itu
langkah-langkah sendiri di siang yang asing
Kiliran Jao

Merdeka itu
belenggu retak lepas berserak
tawa dan air mata jadi satu

Kiliran Jao, 1997








AMSAL KEMERDEKAAN II

Adalah kemerdekaan lain
ketika mataku marah
kecewa pada dunia
ibu senyum sejuk dingin

Adalah kemerdekaan lain
saat aku tertawa lepas
ibu lukis wajahku di kanvas
di siang hari yang berangin

Adalah kemerdekaan lain
aku menari dan bernyanyi
ibu bertepuk menghampiri
jika pergi aku tak ingin


Kemerdekaan yang merdeka
Kemerdekaan jiwa dan raga

Bogor, 1997


KEPADA BUNG KARNO BUNGA SEJARAH

Bung Karno
dalam getar udara terbakar api berhala
dalam debut ombak samodra
dalam desir nadi anak negeri ya Bapa
kami tangkap isyarat semesta Aku-mu
kami tangkap pesan ghaibmu

Bung Karno
guntur dalam suaramu yang suara Bima
gerak dalam juangmu yang gerak Hanoman
karisma dalam sosokmu yang karisma Krishna
adalah karunia sejarah
daya hidup nagi anak bangsa kenyang derita

Bung Karno
di antara barisan panjang
mengiring siang lewati depan istana
masih setia para cucu Marhaen
masih setia anak-anak Ki Suto Kluthuk
angkat bendera warna sakti
dan kepal tangan ke udara
adalah kami yang selalu seru namamu

Bung Karno, kami ada Bung!
Bung Karno, kami tak henti Bung!
zaman telah berubah
mekar kembali bunga sejarah

Bogor, 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar