Amsal Ilalang
I. amsal ilalang sedang digubah tembang
seseorang digotong pulang
kejang menatap mega
perempuan paska gara-gara
mosaik alam diusung jiwa
jiwa meronta dan melolong
si penolong jadi kepompong
II. semua berubah di tanah ini
temaram tanpa warna
bintang, bulan purnama awan mega
bunga mawar, puisi dan pelangi
semua simpan aroma amunisi
lelaki tak bernama atau perempuan lugu
kehilangan taman kota
III. ilalang tak lagi tumbuh di padang
subur merambah jiwa gersang
para tualang penggadai masa depan
langkahnya masih jauh
warta dibawa ombak gemuruh
menyapu ilalang dan tembang
tinggalkan serpih janji para tualang
IV. mengurai pagi menyisir serat kabut
di beranda mengetuki dada
mengharap sandar perahu mayang
sementara tanah perdikan jadi milik tiran
yang tak suka tembang apalagi ilalang
yang membiarkan orang menunggu kesempatan
sampai dimakan ilalang
Cimanggis, 2005
Catatan yang Tertinggal I
menghitung langkah ke langkah
memasuki ruang dan waktu
menata jejak ke jejak
menjadi peta perjalanan umur
tak peduli jaman tebar api
langit tebar hujan belati
abunga-bunga kecil
di beranda kehidupan
mekar wangi pagi senja
petik harumnya simpan dalam kalbu
jadi pengantar kidung persembahan
setiap purnama lingkar sempurna
sadarnya hadir di puncak musim
bukan lagi pasang teratak bicara-bicara
tapi melakukan yang bisa dilakukan
memasuki ruang dan waktu
Teratak Gondosuli, Desember 2005
Catatan yang Tertinggal II
tak hitung windu
sampai gunung longsor patah penjor
sampai lindu guncang gapura hilang
ada yang tak tereja
angka di langit warna di mosaik
selalu ada yang tak tereja
tak hitung musim
sampai beburung lintasi awan
sampai pohon-pohon meditasi musim
ada yang tak tereja
langit sesudah malam sisakan pucat bulan
selalu ada yang tak tereja
Teratak Gondosuli, Desember 2005
Benih-Benih yang Ditanam
adalah benih-benih
yang ditanam di basah lahan
adalah daun lontar
ditata seputar mimbar
bukan bagian suluk dalang
benih-benih dan daun lontar
menjadi lembar damba tua
menjadi tangis dan tawa
anak negeri yang asing di tanah sendiri
setiap siang menyapa angina
setiap malam menyapa bintang
setiap gerhana menyapa luka
hari menjadi minggu
bulan menjadi tahun
windu menjadi umur
saat tanah Jawa kehilangan danyangnya
saat nurani lepas dari buhul iman
padamu kutemukan segala yang hilang
sebutir damba orang pinggiran
melesat menjadi bintang
semula aku gamang
sampai tumbuh di antara uwuh
sepohon kukuh tepis mengatruh
Cimanggis, Juli 2005
Di Teratak Tua
di teratak tua tanah utara
run-temurun orang-orang sederhana
bermukim sepanjang musim
di kisah baru kan hadir naga kepala tujuh
radius bahaya tiga kota tua itu
dengar gemuruh ombak
alam beri tenaga serempak
dengar desing tiupnya angina
kan penuhi selaksa ingin
pandang cahaya matahari
sejak purba padanya manusia mencari
daya tumbuh, usir gamang, hangat terang
di hari elokmu wahai putera angin Timur
kuberi bukan seikat mawar dewata
namun derail-deru kata-kata
ruh ombak, angin, mentari dan bungan
mosaik hidup-mati kawula
Cimanggis, Juli 2005
Menghitung Angka
lama, lama, menghitung angka
sejak kanak sampai dewasa
lama,lama, menyimak arti
kini aku baru mengerti
banyak rahasia di bilik jiwa
para petinggi yang alpa
beda sumpah beda janji
beda pula yang terjadi
eloknya angka jiwa bicara
satu jadi tujuh enam jadi gendam
umur bisa tumbuh jamur
angka berhala tak pernah jujur
di tanah ini orang suka bermain angka
hidup angka mati angka lalu amuk massa
ucap jadi asap menembus atap
janji suci bisa pembunuh abadi
karma dinodai sejak jaman Singosari
enam dasa warsa sudah merdeka
masih menisik sisa luka
entaskan kami dari sungai arus duri
Cimanggis, Juli 2009
Fragmen Tanpa Ornamen
hari ini kuwakili
berjuta anak cucu sisa peradaban
dari bumi ijo royo yang abadi dalam gunungan
gemah ripah loh jinawi ndah dalam suluk dalang
hari ini kuwakili
kenyataan tak terbilang
hitam kelabu mulai hapus warna hijau
instalasi baru derita para kawula
limbah tak lagi milik sungai
tapi di lidah para pemikir baru
yang ngungsi tidur saat harusnya terharu
menyimak tangis korban ketidakadilan
rembang pagi kuketuk pintu purimu
wahai putera sang waktu
dengar, dengarlah suara jiwa
anak cucu Ki Suto Kluthuk
windu-windu hidup tersaruk
hari ini kuberaksi
di antara langkah-langkah dan sabarmu
adalah para Durna dan Sengkuni
yang muncul salah jaman
Cimanggis, Juli 2005
Berdialog dengan Jakarta
Jakarta
selamat pagi-siang-malam
salam hati sepanjang musim
kusapa engkau saat purbani di bulan Juni
kusapa antara slum Mangarai dan gebyar Harmoni
kusapa antara rimba beton dan rel-rel
Jakarta
musim mengirim angin ke sudut-sudut kota
cahya melambai urban ke liang-liang luka
penjara nasib dimasukinya
pintu-pintu tak terkunci jadi kebebasan semu
penjor-penjor penuh warna sungging tawa
wajah-wajah berkaca di tigabelas sungai kota
dari catatan ke catatan
simpan mosaik kehidupan
Jakarta
rangkaian bunga masih melambai di balkon Harmoni
kami coba meraihnya karma pernah kau janjikan
kami datang bertemperasan jadi laron memburu lampu
mengusung harapan tak berkesudahan
timbul tenggelam antara umbul-umbul dan kibar bendera
jatuh bangun antara rizki-paha-dosa
hari jadi tahun-tahun jadi windu-windu jadi abad
sesekali berseteru sesekali bersahabat
Jakarta
di bayang bulan kami menyalakan lilin agar jiwa tak padam
di ambang fajar kami tembang balada agar jiwa mekar
mantra dan doa jadi akar hasrat pohon hayat
bumi dan langit jadi saksi ruwat sengkalmu
dalam bualan Aki Nyai Rejasari
Bogor, Juni 2005
Pesan Aneh Dalam Kidung
adalah kidung, tentang hidup lara
adalah lara, karunia Yang Maha Kuasa
dan akhirnya, meratap senantiasa
hilang kiblat karena hilang martabat
jadi manusia bangga serba
tatanan diubah karena hasrat suka
takut tiada, walau hukum alam balik suasana
ingat tiada, akan doa orang-orang pasrah
hidup jadi korban dicacah
mengadu pada biyung
aduh biyung, biyungku telah tiada
mengadu pada bapa
aduh, bapaku telah pergi jua
mengadu pada petinggi
aduh, petinggiku nyaris alpa
lebih baik mengadu pada Yang Maha Kuasa
aduh, Gusti, mohon ampunan
terdengar pesan aneh dalam kidung
pesan sang arif hati mulia
tamba hati lima pasal
insya Allah Tuhan akan memberkahi
jika bisa jalani salah satunya
Cimanggis, 2005
Fragmen Pagi Ujung Negeri
deraknya sampai di serambi rumah kata
getarnya sampai ke lubuk jiwa
retak bumi retak hati
manakala kota terbelah
semewntara seraut wajah
ke Serambi-Mu mencari celah
sehembusan nafas
lengan pelindung lepas
hentak jiwa deru gelombang
lenyap segala yang tersayang
retak langit retak mentari
ke Serambi-Mu cari sembunyi
Pinggir kota, April 05
Catatan Agustus Tahun Ke-60
bayiku bernama kemerdekaan
lahir dari rahim sejarah
bertualang putih berdarah merah
wajah rembulan jantung matahari
tumbuh dalam asuhan musim dan perjuangan
bertahan dari bencana dan pengkhianatan
bayiku kini perkasa
kusebut pesona merdeka
kuiring kumandang tembang dan doa
kuiring khusyuknya puji dan gita
tapi derita tak henti mendera
orang-orang datang dari segala penjuru
semula bijak baru menggebrak
semula nolong akhirnya rongrong
anak jaman terus bertahan
antara jepitan dosa lama
dan hempasan dosa baru
bayiku terus tumbuh
meski kota tak henti rusuh
dikelilingi aneka makhluk tanpa warna
seringai Durna, Sengkuni, Burisrawa dan Kurawa
semua tunjukkan cinta dan pengabdian
tapi selalu salah jalan
Bogor, 2005
Catatan Tua dari Pungkuran
Jepara makin tua
ombak panjang tak pernah reda
angin utara di kota bersarang
meneteskan harapan-harapan
dan perempuan-perempuan sederhana
tetap percaya hari lusa
hari pembaruan
mentari siram cahaya
ke setiap padang jiwa
hidup tak lagi gersang sabana
namun lembah hijau kemilau
langkah panjang tlah awali
hari-hari tanpa duri
siring putusnya belenggu tua
nasib tak lagi tergadai
nafas tlah menyatu angin
nadi getarkan ingin
denyut itu irama kehidupan
wibawa yang ditegakkan
langkah yang satu arah
meski Jepara makin tua
Jepara, April 2005
Catatan Hujan di Tikungan Kota
tulang berserakan dikumpulkan
di taman tikungan kota
getar jiwa dimantrakan
dalam doa senandung pelangi Songgolangit
malam masih muda
hujan basahi kerang di taman
malam poranda di ujung catatan
taman kota sepi ditinggalkan hati
Jepara, April 2005
Menyimak Perempuan Belati
menangkap senyum kemenangannya
dari tatap mata menyamping arah
menangkap seringai perlawanannya
dari senyum yang sanggup kuliti lelaki
saat senja menabir nampak ia menari
di pelataran berduri
ditantangnya matahari
diejeknya rembulan
ditusuknya gemintang
musim dan sejarah tidak bertuan
dengan pisau sakti bermata ganda
diburunya para leleki jahanam
tuk menuntaskan dendam
menambah guratan
atau membakar simbol adam
tak ada keramat dalam kata
tak ada rahasia di bawah mawar
lelaki yang hanya piawai rejam rahim suci
tak ada tempatnya lagi
belati itu terus bekerja
seiring lava pijar Merapi meleleh jiwa
Cimanggis, 2003-2004
Teluk Banten Masih Setia
Teluk Banten masih setia
kirim buih ombaknya
Tanjung Pontang masih menjaga siang
Tanjung Pujut masih jarring angin dan kabut
Pulau Panjang masih simpan tembang
seiring desir sapu ilalang
di tikungan peradaban
Nyi Ageng Serang
semat sunting semangatnya
Nyi Rangga Sedasa
genggam santun kesetiaannya
para karuhun bingkai jaman dan kawasan
Allah, Allah, Allah
pada-Mu diri berpasrah
Banten, Juli 2004
Di antara Doa-Doa
saat musim usung mimpi perubahan
tragedi menimpa tanah warisan
saksi perjuangan kakek moyang
deram gempa porandakan taratak jiwa
deru gelombang terjang gapura peradaban
tak ada tempat tuk melipat ratap
tak jua sempat simak ulang rubayat
selain doa luka dalam ucap ayat-ayat
dan sebasah nama saksi jamannya
dia raib dalam simpul nasib
kenangan panjang tetinggal di kaki langit
jadi pelangi di batas tabir kelabu
pesan dikirim dari tempat teramat jauh
jangan Tanya siapa-siapa lagi
baca sisa aksara dalam diri
urai simpul rahasia makna
di sana jawab segalanya
luluh lantak ujung negeri
tak hanya peristiwa alam tuk dimaknai
di sana ada misterinya misteri
yang harus dicermati
jadilah insan sejati
jujur dan setia di jalan Ilahi
suaranya hilang
seiring sayup sisa gelombang
seseorang panggil namanya dengan suara terbata
Cimanggis, Pebruari 2005
Sepotong Doa Sungai di Ujung Badai
gemuruh badai diusung layer kaca
seraut wajah hanyut terbawa
barangkali wajah masa depan
bunga Tanah Rencong jika berkesempatan
kini hanya seangka korban
hanya mujiat-Mu jua
ia terasuh Sang Waktu
sepotong doa sunyinya
jadi serat kabut di langit Banda
sepasang mata dukanya
mencari ruh Seudati di ujung bencana
sepi menelan doanya
tak lukisan mana mampu samai warna
warna duka itu sangat sempurna
seutas kasih sayang
lepas dalam hempas gelombang
sisakan sepi seutuhnya
mencari bentuk keajaiban
Cimanggis, Januari 2005
Sisa Kota Peradaban
(Mencari Maskirbi dalam imajinasi)
:sesaat orang masih saling bincang
tentang luas dan perubahan
tentram damai tanah pantai
lalu bencana melanda
hempasan ombak samodra usai gempat
punah semua wahai Cut Nya
yang tersisa bayang-bayang bunga cempaka
dalam serat kabut Banda
di antara puing kota
mencari wajah-wajah
mungkin ibu mungkin ayah
serasa ingind dengar kembali
saat dendang saat marah
melangkah pelan di jalan lama
jalan kecil yang dulu selalu menaggil
akhir tahun tinggal gigit
syair tua, dendang dan tari itu
selamat dalam hatiku, bisiknya kaku
sambil tak henti panggil namamu
Ulebalang, Ulebalang, Ulebalang
cucumu daun melayang
Cimanggis, Januari 2005
Teunom, Sebuah Mosaik Retak
(Buat dokter Nursanti di pinggir Teunom)
dentsng-dentang layar kaca
memasang mosaik bencana
sebuah kimat kecil dunia fana
Banda kecil tanpa rembulan
bulan telah ditelan gelombang
mengintip gempa susulan
ada Teunom mosaik retak
dalam dekap perempuan bijak
yang berjanji akan terus bertahan
di pinggir jauh puing runtuhan
Teunom sempaka kecil itu
bayangan sebuah kesetiaan
tangan cinta perempuan Nursanti
dilipat kerudung tersimpan
sejarah tak perluka kata-kata
tangan lentik adalah ketegaran cinta
Cimanggis, Januari 2005
Kabar dari Beranda yang Tersisa
sesiapa masih tertinggal
bersendiri di beranda ajal
matarantai peradaban tua
lepas dari hari luasa tanah pulau
hempas gelombang menghela sempurna
mantra-mantra bunga raya
tak lagi tersisip di telinga
seiring raibnya tugu batu
saksi bisu doa ibu
langit kosong turun di mata sepi
endap lumpur memadat di hati
Cimanggis, Januari 2005
Deru Dera
adakah bunga cempaka tanah Cut Nya
masih mekar putting kuning
sisakan peradaban warna
manakala antaran peduli Aceh
ternoda tangan-tangan berhala
ternoda hasrat-hasrat candela
tak ibarat tak jua ayat
mampu hapus tanda-tanda oleh alpa
tercipta sudah peta hitam
tercipta seiring deru gelombang
hempas pagi tanah serambi
dibilang dihitung angka-angka
seiring delapan arah kiriman doa
tanda masih ada peradaban
tapi ada tangan durhaka sisipkan pengkhianatan
sementara bocah kecil sepi menggigil
kehilangan lentera hari lusa
di tanah airmata saat badai reda
Panglima tua muncul dari kabut sejarah
hatinya luka oleh para pendosa
doa purbanya tanpa suara:
Tuhan, ampuni para pendosa atau lebur jua
Cimanggis, Januari 2005
Catatan: Candala (Jawa) = jahat, hina.
Kamis, 05 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar