Sabtu, 31 Oktober 2009

Tembang Kasmaran 84 Purnama


kembara tanah selatan
menahan nafas menyimak teratak tua
dari balik dinding muncul sosok aneh
menghela bayang - bayang
pelan diletakkan di ujung kaki lelaki
nampak kembali bayang memanjang
lelaki tertegun dan kasmaran
menyapa: izinkan aku bermukim
menunggu teratak menjaga musim
meski utara pernah mbalelo pada selatan
mari kita bangun jembatan pelangi
angin laut kita jadikan penepis maut
perang dulu kita catat jadi sejarah baru
musim - musim mereka ikat jadi Satu
baru 84 purnama tembang kasmaran itu
hadir sosok durga menebar jaring
lelaki tanah selatan kena gendam
sumpah dan janji diingkari
cinta dan setia dikhianati
sejarah anak manusia berulang kembali

Bogor, 2008

Di antara Getar Ilalang


menatap gunung berasap
menghitung ilalang di tebing
sepanjang anak tangga tak teraih
suara andika kudengar nyata
menghembus gunung cadas menutup telaga
ilalang meliuk kirim sasmita
langit meredup awan diam
panorama menyusup dalam jiwa :
bicaralah tentang kearifan langit
ajarkanlah tetang kearifan langit
ajarkanlah tentang kesabaran bumi
lama menanti bangkitlah sang resi
Sang sidik yang arahkan getar nadi
menuju muara hati nurani

masih menatap gunung berasap
getar ilalang mengrim tambang
langkah terhenti oleh nyeri sendi
saat ruhku menyapamu
seakan berdiri di gapura candi
lalu siang merayap waktu

lereng kelud, juli 2008

Sajak Sepotong Batu Kelud




sepotong batu di lereng kelud
menguat makna celah misteri
abu-abu kehitaman
benarkah sembunyikan getar gebu
karena telah janji setia pada sri prabu
diantara celah abad
diantara misteri takdir dan nasib
musim-musim berlari sendiri
memanggili berjuta nama tersisa
di dinding-dinding purba
tersisip akhirnya dalam sepotong batu
di tanganku ruhmu menyapa:
simak, ingsun sembunyikan windu penuh karat
kupenjara ruhnya sampai bertobat
kau pasti cucu suto legowo yang lama luka
bermantralah ingsun sambut tanganmu
angin berhembus di lereng kelud, lembut
kubisik pada batu hitam kelabu
aku mau hidupku tak batu
aku ingin hati ku tak batu
kutimang SANG yang tembus ruang dan waktu

lereng kelud, juli 2008

Menyapa Sang Purba yang Setia




diantar arus Batanghari
diantar sesat lembah Angso Duo
memaknai pundar cahaya menyapa malam
tanah pilih meresap di sungai nadi
menata menuju bumi idaman
jalan menuju bumi idaman

gapura mengurung sepi Muaro Jambi
stupa menyepikan nasib
candi tua menyepikan takdir
kita bincang dalam angin
memaknai sabar dan setia
di tempatnya, dalam jaman yang beda
tanah pilih pilihan jaman
buat sang purba bertapa
diantara deram-deram nada baru
mengusik haning waktu

jambi, juli 2008

Catatan dari Lereng Kelud I




sesaat resapi
indahnya pesan purbamu
sesaat maknai
getar haru pemahamanku
tertegun menatap angin
berabad simpan bayangmu
bayangmu, Sri Prabu
terdengar suaramu memanggil
kudatang dengan sendi simpan gigil
lalu menarikan kehidupan
di bawah matahari yang temaram
Kediri, Juli 2008

Catatan dari Lereng Kelud II




sesaat menari dalam sukma kembara
di tanah pasir, di gigir gunung, di bantaran
mengeja makna hari
yang pernah kau tandai
sang waktu setia mengiring langkah
yang lelah didera windu
musim simpan mawar buat si sabar
perempuan yang mimpinya ambyar
terdengar bisik purbamu:
“ambil batu hitam itu!”
Kediri, Juli 2008

Perjalanan Para Peziarah Cinta



di lelangit gua Selomangleng
di lereng gunung Kelud berkabut
di raibnya telaga raya-tak ada
ramalam itu adakah tersangkut
di angka-angka berhala rimba beton
terwujud dalam keriput hari
orang-orang usiran
orang-orang usiran
orang-orang hilang kata
orang-orang peziarah cinta

:langit hitam wingit kelam
benarkah tak purbani tak purnama
benarkah tak merpati tak garuda
orang-orang terus bertanya kepada gema
suara digulung gaung jagad maya
pasti Sri Prabu sisakan welas asihnya
pasti Sang Sakti tinggalkan bersit ramalannya
mungkin di lelangit goa Selomangleng
atau di baying langit Kelud berkabut

para peziarah cinta
menghela perjalanan sepanjang usia

Kediri, Juli 2008

Membaca Batu-Batu di Lereng Bukit



batu-batu di lereng bukit menyapa
siapa mengumbar suara malam-malam
kejutkan burung balam
kejutkan baying pohonan
kejutkan mimpi Wong Lerep yang keburi padam
sembunyikan pedang berkarat tak terbilang
sembunyikan pengkhianatan dalam diam

sisa-sisanya menyatu pendar cahaya
pun menyusup di semburat mentar pagi
serat-seratnya menyatu di batu lereng bukit
masih terasa getar merdeka di sini
meski di langit tak bulam mala mini
selain gigil angin bukit Ungaran
perlahan memintal angan-angan
para saudara yang berdatangan
mengusung hasrat perubahan

perempuan El Naan masih setia menunggui
sepanjang malam dan siang
mengeja aksara purba di batu dan hatimu

Ungaran, Agustus 2008

Hampir Malam di Bukit Balam


suara murai
saat mentari jingga
zikir angin lembah
saat bunga mekar merah
langit semakin kelam
menyapa kelepak balam
cepatnya pagi ke malam
kelana menuju 8 arah
berhenti di tempat kepak singgah
dunia penyair rindu dedaun
daun pandan
daun perdu
daun harapan
daun kata-kata
daun imaji
selalu ada pertarungan
lusa dan selanjutnya

Nglerep-Ungaran, Agustus 2008

Dalam Orkestra Jengkerik




Sejuta jengkerik desir bersama
dalam orkestra gaib di kota tua
getarnya lelapkan detak jam di Cilegon K.8
dan Serang kisahkan erang orang-orang terbuang
ketika senja merupa bias pualam
ketika mantra dan doa mulai dilisankan

Nyi Ageng tolong beri angin
untuk meniti orang-orang mati langkah
saat taman sari dijarah angkara
dan hidup berubah musim prahara

malaikat penjaga kota tua terus bisik nada-nada
dan sejuta jengkrik desir bersama
Cilegon sunyi hantar bisik-Nya
“Semua kata dan sketsa kembalikan pada-Ku
mosaik dunia hanya se-Serat waktu
jika saatnya pasti bekerja Hukum Semesta-Ku”

Cilegon, Agustus 2008

Selasa, 27 Oktober 2009

SEKAR GISIK DAN PEREMPUAN DURGA




perempuan durga penghuni pulau karang
terus berputar, memilih dan mencakar
simbol pengkhianatan dan kerakusan
namun di mata lelaki wajah wayang, nampak mawar
walau rupa kasar langkah nyasar
membuat lelaki hilang nalar
tenggelam dalam nikmat durga penuh mantera
membuat pandang rabun hati bara
lalu malaikat dan burung putih kirim warta
dusta leleh pijar lava kerak luka
sekar gisik perempuan hilang mosaik
anak pawang jiwa retak ingin beraksi
siapa menabur akan menuai
hukum karma tak pernah lalai
meski sembunyi di balik doa subuh dan magrib

Bogor, 2006 - 2008

PERTANDA


kelelawar tak sabar di ambang fajar
ciptakan tanda atau hanya fatamorgana
fajar dini hanya bias purnama di kali
obat gaib bagi jiwa lukisan aib
jarum jam karat cipta dengus sekarat
sekedar pertanda?
tanya orang muda mengaku lahir dari batu
kusumpah pengukir jiwa yang jahanam kan terkutuk
karena membuat bunda remuk
kusumpah alam murka kan gulung para pendosa
tragedi buah anggur, tanpa belati pun hancur

Teratak Gondosuli, September 07

Kisah Purba Para Perempuan Terjajah


seorang lelaki membiuskan cerita lama
kepada perempuannya yang sederhana
dan di dustai sekian lama
atas nama fatamorgana kesetiaan
seorang lelaki picingkan mata baca suasana
yang di masa silam dinanti siang malam
tapi musim cepat berubah
diam - diam surat suci berlumur darah
sementara di kota - kota
derita anak manusia semakin parah :
jadilah perempuan yang meneduhkan lelaki
bisiknya menutupi dusta
masa silam aksaranya : jadilah segala bagiku
lelaki mencoba senyum sembunyikan dosa :
(perempuan telah tahu namun membiarkanya
kali ini diam ternyata emas )
para perempuan akhirnya diam kaku
kaki mereka lekat di batu - batu
tubuh mereka berubah jadi pohon
wajah berubah jadi cahaya ajaib
terkurung dalam lampion - lampion merah
tragedi tanah tumpah darah

Bogor,30 September 07

TEMBANG KASMARAN 84 PURNAMA




kembara tanah selatan
menahan nafas menyimak teratak tua
dari balik dinding muncul sosok aneh
menghela bayang - bayang
pelan diletakkan di ujung kaki lelaki
nampak kembali bayang memanjang
lelaki tertegun dan kasmaran
menyapa: izinkan aku bermukim
menunggu teratak menjaga musim
meski utara pernah mbalelo pada selatan
mari kita bangun jembatan pelangi
angin laut kita jadikan penepis maut
perang dulu kita catat jadi sejarah baru
musim - musim mereka ikat jadi Satu
baru 84 purnama tembang kasmaran itu
hadir sosok durga menebar jaring
lelaki tanah selatan kena gendam
sumpah dan janji diingkari
cinta dan setia dikhianati
sejarah anak manusia berulang kembali

Bogor, 2008

Pesan Ghaib di Tikungan Musim



musim basah selimuti kota
jalan raya jadi bengawan
kampong jadi telaga
murung membelit menyabit
senja gelap simpan hujan
pesannya dibawa angin Nopember

Nusantara itu mutiara kehidupan
karunia kemukjizatan
di atas bumi hutan-hutan ayu
pulau-pulau pasir kemilau
di dalam bumi tembang-tembang elok
simpan harapan masa datang
kalau saja dilestarikan
Nusantara kembali jaya
sampaikan apa yang harus disampaikan
pada para ulee balang, petinggi dan ondoafi
tebang hutan tak sepanjang musim
sisakan dalam kehidupan windu

cucu Ki Suto Legowo termangu
pesan gaib mengurai kalbu

Bogor, November 2008

Membaca Gua Kain Hitam II



membaca garis purba warisan
menyatu masa silam dan masa depan
orang-orang gaib bisiknya menyatu bisikku
hidup harus dipagari dalam abad yang tak henti

orang-orang dalam baying tiupkan hawa misteri
senyum arifnya perjuangan diam

Serawak, November 2008

Membaca Gua Kain Hitam I




menyimak gua kain hitam
terbayang yang berdendang di Tanjung Baram
terbayang bias pendar sungai Tinjar

memandang jalan setapak selepas hujan
menyatu baying rimba dan gua kain hitam

Serawak, November 2008

Monolog Burung Lelayang



mendengar gemerisik kami terbang
semesta jadi hampar tualang
tapi manusia merampas ulang
sarang walet
serat kehidupan

cericitnya tak pernah henti
berontak jiwa dengan bahasa tak kita mengerti

kami pewaris sah kerajaan gua purba
harus relakan sarang-sarang diambil
selagi cinta menetas dalam gigil
sarang walet
serat kehidupan

Sarawak, November 2008

Membaca Gua Niah




orang Semandin dalam angin
panas api jadi dingin

tak mantra segaib mantramu
aku datang ngidung mantraku

tak kata seelok katamu
aku datang dengan bunga kataku

orang Semandin setia menjaga gua
orang Semandin setia getarkan mantra

sentuh sesaji terlindung dinding batu
sambut burung walet pulang sarang

hadirkan pesona purba dunia wingit
setiap senja menjelang magrib

orang Semandin salami jiwa
orang Semandin ajari makna setia

Serawak, November 2008

Perempuan Perkasa itu Bernama Ibu




Telah kau suratkan
dengan cinta dan kesabaran
dalam memaknai kehidupan
bagi putra-putri harapan
pewaris masa depan

Telah kau kidungkan
setiap senja sepanjang musim
dalam memaknai hasta bratha
dalam melakoni ajaran hidup benar
aku menandai jejakmu,ibu

dalam hidup ini kau ajarkan
yang bernilai dan dimuliakan
adalah janji dan kesetiaan
adalah sumpah dan kejujuran
agar selalu diteguhkan

cintamu samodra bagi semua
senyum arifmu melati senja
ketabahanmu gunung raja
telah kau pesan wanti-wanti
jangan pernah mengkhianati cinta

Cempaka, Nopember 2008

Percakapan dengan Hujan


ada ritmis menepis-nepis kaca jendela
menyapa pagi dengan bahasanya sendiri
perempuan memang muara menjelang laut
segala tertampung awalnya hanyut
lalu kata-kata dan makna-makna
mengemas dirinya sendiri
memasang sayap-sayap untuk mengejar pelangi
ya, muara akulah itu
hujan semusim berkepanjangan
tak membuatku ragu nampung bebatu
hujan memahami dan terus menderas tanpa henti

Abstraksi Jiwa Murka



Lengan-lengan terpotong berdarah
sepatu larsa berdebu basah sendiri
dan senjata-senjata tak bertuan menangisi
induk tembang asal muasalnya
trauma panjang tak berkesudahan
menggilas bintang di langit hatimukah
hingga kegelapan tak terenyahkan
sementara matahari tetap bersaksi
seribu hening menebar di guguran pohon mahoni
balutkan pada luka jiwa murka
langit ruang merdeka
bagi jiwamu yang kembara

Kesaksian tentang Topeng



lela lela Indonesia tak ledhung-ledhung
lela lela hati lara tak ngidung-ngidung
lela lela telah merdeka tak ledhung-ledhung

Langit menjaring
wajah kita yang mengapung
wajah menjadi topeng-topeng tak terasa
kita kaget renggut topeng
tapi topeng menyatu wajah

Inilah wajah baru tanah airku?
topeng-topeng-topeng
wajah-wajah semakin tak jelas
bencana-bencana dalam bentuk culas

Aku marah jiwa tercacach
langit bagai penuh getah
tanah kelahiran bak cermin pecah
tapi tanah kelahiran tetap dikembangkan

Ada rupa, rupanya topeng
ada suara, suaranya topeng
ada tawa, tawanya topeng
ada gerak, geraknya topeng

Senin, 26 Oktober 2009

Sumpah Orang Lapar



Aku anak perempuan Ki Suto Kluthuk
lahir oleh bumi yang sedang sakit

aku selalu lapar tapi memilih diam puasa
karena laparku telah bersumpah

akan menjadi lapar abadi
jika untuk buang lapar aku hilang budi

makan gunung dan makan hutan
makan sawah dan makan lahan

makan pulau dan makan tambang
makan kota dan makan nasib sesama

jika aku lapar kumangsa lapar sendiri
jika tuan lapar keringat kerja aku beri

jika lapar ruh hitam teknologi
haruskah kulepas gunung adi?

Di antara Keangkuhan


aku anak perempuan Ki Suto Kluthuk
berjalan terus berjalan
di mana-mana menghadang keangkuhan
tak disapa – sudah
tak didengar – sudah
tak diberi – sudah
bagaimana mungkin kubilang – ya sudah

dirantai jiwaku – sudah
dibantai harapku – sudah
digadai nasibku – sudah
bagaimana mungkin kubilang – tak masalah
ah, orang tlah lupa guritan hati
ah, orang tlah lupa bisik nurani
dalam tembangan jiwa insani

“oe eo oe eo oe eo oe eo
jangan tidur sore-sore bulang terang indah permai
lebih baik memujilah pada Tuhan Sang Pemurah
agar hidup tertata, tentram damai dan sentosa
oe eo oe eo oe eo oe eo”

di antara debur ombak di laut barat
terdengar pesan purba diulang-ulang
hidup harus dipagari – hidup harus dipagari
honocoroko dotopo rogo – honocoroko dotopo roso
ho!

Perempuan Kembara yang Rindu Pulang



Aku perempuian kembara
berjalan memanggul kampak berkarat
hasrat mendekap dunia
saat hidup tanpa ruwat
kini aku rindu pulang
semua tanda telah hilang
yang kuingat hanya tembang pesisiran

Aduh ibu itu apa
menghitam menjadi mega
benarkah asap bencana

Aduh ibu cerminku hilang
sungai bening yang kupandang
kini penuh limbah sebrang

Aduh ibu mana rumahku
yang ada jalan tiang seribu
benarkah untuk muktiku

Aduh ibu tertusuk duri
lukanya tembus ke hati
walau sakit hidup matiku di sini

Jangan tanya lebih baik diam saja
Jangan tanya lebih baik diam saja

Minggu, 25 Oktober 2009

Kelahiran Anak Perempuan Ki Suto Kluthuk


Aku, anak perempuan Ki Suto Kluthuk
lahir malam diiringi suara suluk
tanpa piranti suci hama
selain pisau bambo kunyit empu
siap menyambut pahit getir, aku
tangisku melengking mengatasi erang ibu
semua heran terdiam gagu
lalu bertanya kelak akan jadi apa aku

Aku, anak perempuan Ki Suto Kluthuk
sejak kecil penuh derita berat
jiwa berkarat dendam yang khianat
tanahku disayat tanpa ruwat
jiwaku jiwa kembara
padang ilalang dan bukit cadas
langkahpun tuntas

Aku, anak perempuan Ki Suto Kluthuk
bapakku bapa angkasa
ibuku ibu bumi
nafasku angina Utara
darahku sungai Utara
dagingku tanah Utara
jangan kau usik semua itu
jika tak ingin dikutuh leluhurku

Sabtu, 24 Oktober 2009

Catatan Tahun ke-85




bagi Sitor Situmorang penyairku

diantara langkah-langkah
masih kulihat jejaknya
di antara suara-suara
masih kudengar doanya
diantara gaduh kota
masih kusimak kelebat bayangnya
lelakiku saksi jaman
perang dan damai
batu dan mesiu
rumpun kata dalam buku
matahari pun bersarang di rambutnya
rembulan di atas kuburan
diboyongnya dalam kata

lelakiku dari tanah seribu nyanyian
tahukah bulan itu sangat setia
purbani dan purnama
di atas laut dan sabana
di atas gedung dan huma
dan di jalan musim senjamu
malam nanti jelang purnama
bersaksi di langit Jakarta

bagi pemilik hari kedua oktober
kuhening bunga jadi kata
kuhening kata jadi doa
‘semoga bahagia’
(2 okt 09)

Catatan Mei II




siapa malam-malam memanggil semesta
yang ibu, menunjukkan jiwanya yang
berubah warna, dari pelangi jadi kelabu
karena disaput asap bulan Mei lalu
saat manusia berubah dalam dua warna
dan dua nama, yang satu kepompong hilang daya
yang satu dajjal pemangsa
langit terbakar
kota-kota mangkok ambyar
jiwa-jiwa terbabat dengan sendirinya
bertemperasan mencari cakrawala

Catatan Mei I




bunga yang tumbuh dari bercak darah

tercecer antara Salemba dan Semanggi

nebar aroma Mei simpan gejolak harap

yang kian menipis

karena berhala-berhala berlintasan

di musim perubahan

sambil tak henti hentakkan linggis



bunga yang tumbuh dari lembar mosaik jiwa

raungkan perubahan dari waktu ke waktu

sampai hilang semua saudara

yang tersisa hari ini hanya catatan

dan syair-syair jalanan

dulu dibaca dari kampus ke kampus

membuat impian muda akhirnya jadi kukus



ingatkah, ikrar itu ditandai darah

janji itu dipatri bulan merah

musim-musim penantian tak bertuan

we, Jakarta ditelan kepongahan sendiri

jalan raya menjadi kali

tapi kau di mana, anakku

ini Mei sudah datang lagi