Rabu, 04 Agustus 2010
2016 IBUKOTA REPUBLIK INDONESIA PINDAH KE PALANGKA RAYA
Oleh: KIHENING
Secara numerologi, Jakarta memang sangat boleh jadi selalu menyimpan tragedi bagi negeri yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Tragedi demi tragedi mengiringi perjalanan Republik Indonesia yang beribukota di Jakarta. JAKARTA memiliki angka 8 dan ini memperbesar unsur negatif berupa tragedi. JAKARTA memiliki ambisi tiada habis-habisnya, serakah, dan kekejamannya melebihi kejamanya ibu tiri. Selama Republik Indonesia masih beribukota di Jakarta, tak akan pernah anak bangsa ini memiliki ibu sejati. Tragedi demi tragedi akan terus mengiringi perjalanan Republik Indonesia.
Kebutuhan untuk memindahkan ibukota Republik Indonesia adalah keharusan. Secara numerologi PALANGKA RAYA tepat untuk menggantikan Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia. PALANGKA RAYA berhari jadi 14 Agustus 1950 memiliki angka nasib 1. Sedangkan dari namanya memiliki angka 9. Angka-angka yang dimiliki PALANGKA RAYA bersinergi positif dengan hari jadi Republik Indonesia 17 Agustus 1945, sehingga potensi tragedi dari republik ini dapat dinetralisir dan dikendalikan dari PALANGKA RAYA.
Jadi, sangat direkomendasikan berdasar teropong numerologi, ibukota Republik Indonesia memang harus pindah dari Jakarta ke PALANGKA RAYA. Kapan waktu yang tepat? 2016 adalah momentum terbaik untuk memboyong pusat pemerintahan Republik Indonesia ke PALANGKA RAYA. Masih ada waktu sekitar 5 tahunan untuk mempersiapkan dengan sebaik-baiknya. Cukuplah kota Jakarta menjadi pusat bisnis seperti kota New York di Amerika Serikat.
(Dikutip dari: www.kihening.blogspot.com)
Jumat, 07 Mei 2010
ANUGERAH PIAGAM PENGARHAGAAN MURI UNTUK BUKU “700 PUISI PILIHAN PEREMPUAN YANG MENCARI” KARYA DIAH HADANING
Dengan rasa syukur ke hadirat Sang Maha Hidup, Sang Maha Pemberi, buku antologi puisi karya Penyair Diah Hadaning bertajuk, ”700 Puisi Pilihan Perempuan yang Mencari” akhirnya sukses diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Kamis, 7/5/2010. Rasa syukur itu bertambah-tambah dengan dianugerahkannya Piagam Penghargaan dari MURI (Musium Rekor Dunia Indonesia) kepada Diah Hadaning atas prestasinya menulis buku puisi tertebal pada usia tertua, 700 Halaman 70 Tahun.
Thowaf Zuharon selaku Program Officer dari pihak penerbit mengungkapkan, buku tebal itu merupakan wujud penghargaan kepada Diah Hadaning atas kesetiaannya menjalani titah Sang Ilahi mengarungi samudera puisi hingga usia penyair mencapai genap 70 tahun. Karena itu Thowaf menegaskan, Penyair Diah Hadaning pantas memperoleh Piagam Penghargaan dari MURI. ”Bahkan kita harus usulkan kepada pemerintah agar Mbak Diah dianugerahi Satya Lencana atas dedikasinya di bidang sastra. Kita akan perjuangkan ini,” ungkap Thowaf.
Buku terbitan Pustaka Yashiba bersampul hijau itu menjadi kebangaan tersendiri bagi para mitra penyair di seluruh Nusantara. Pada acara peluncuran buku yang dilanjutkan dengan pembahasan oleh pembicara Ahmadun Yossi Herfanda, moderator Endo Senggono dan Editor Suhening Sutardi itu sejumlah penyair maupun sastrawan hadir memeriahkan kebahagiaan Diah Hadaning. Mereka antara lain, Hamsad Rangkuti, Jose Rizal Manua, Yvonne de Fretes, Endang Supriadi, Wowok Hesti Prabowo, Shobier Poer dan masih banyak lagi ramai-ramai membacakan puisi. Mitra sastra dari luar kota, seperti Dimas Arika (Jambi) pun datang untuk menggenapkan kebahagiaan penyair kelahiran Jepara, 4 Mei 1940.
Penyair Diah Hadaning yang tampil dengan busana kebesaran serba hitam menyatakan sangat berterimakasih atas kepedulian dari seluruh mitra sastra selama ini. ”Semoga kita semua selalu penuh kebahagiaan, terus berkarya, pantang menyerah, walaupun dibabat, disikat, namun pada suatu saat pasti kan bermanfaat. Trimakasih untuk semua saudara dan mitra sastra di mana pun berada,” ujar penyair yang juga pernah memperoleh penghargaan dari GAPENA dan Bank Bumi Putera Malaysia atas buku puisinya Surat dari Kota.
Acara yang dipandu penyair muda Rara Gendis itu berlangsung penuh kehangatan sejak lepas sholat Jumat hingga senja menjelang magrib. (***)
Selasa, 23 Februari 2010
700 Puisi Diah Hadaning Diluncurkan 7 Mei 2010 di PDS - TIM
BUKU "700 PUISI PEREMPUAN YANG MENCARI" karya Diah Hadaning setebal 700 halaman, terbitan Pustaka Yashiba sudah beredar. Buku dengan harga bandrol Rp 170.999,- ini dijadwal peluncurannya pada Jumat, 7 Mei 2010 di PDS (Pusat Dokumentasi Sastra) HB Jassin, TIM (Taman Ismail Marzuki), Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat.
Pada acara peluncuran, buku tersebut dipromosikan dengan harga sangat miring. Hanya Rp 70 ribu. Para peminat dapat memesan via email: pustakayashiba01@gmail.com.
Rabu, 23 Desember 2009
101
Membaca Bahasa Kota
(Orang-orang Blenk)
Kebun raja membiarkan pohon-pohonnya
bersaksi sambil menjaring angin malam
ketika orang-orang baju hitam
memasang lilin menata kendang
dan kata-kata meluncur dari lidah-lidah
dan doa-doa meluncur dari jiwa-jiwa
kota wartawan saksi zaman masih tersimpan
kebenaran sejarah tak terungkap
sang penerus tak juga meluruskan
selagi masih ada bahasa kemungkinan
simpan cemas seseorang nembang bahasa ibu
ingin Blitar buka lembar manuskrip tua
ingin Blitar tumpahkan kejujuran air mata
saat makna merdeka punya sisi seribu dua
sementara badai melipat musim
orang-orang utamakan serigala dalam perut
riah-riuh dudukkan serigala di kursi kehormatan
seniman gelar tikar di Kebun raja
Agustus bergulir dalam kata-kata
dari gunung, ngarai sampai pantura
bapa, kulihat serigala di mana-mana
serigala dalam dalam dada
serigala dalam kepala
kebun raja disergap malam
Blitar, Agustus 2004
102
Membaca Bahasa Makam
(Memetik Pesan Muara Tura)
pagi tak pernah hilang mentari
setiap langkah pelan dua perempuan
menapaki jalan menuju makam
Ning dan Ning
mawar merah dalam genggaman
aroma melati dalam jiwa
getar rasa beri salam
getar doa limbang makna
dua perempuan hela kenangan panjang
aksara-aksara itu
pernah diukir jemari seorang lelaki
tentang hidup dan kehidupan
dua perempuan membaca dalam hening
sementara bunga ditabur di pusara
sementara embun menetes dari sepasang mata
sementara tembang meneduh dari seruas bibir
Ning dan Ning
mengeja bahasa gaib
selembar daun kabut melayang
bawa pesan ribuan hari tersimpan
tentang setiaq makna gerak ombak
saat kemarau di muara tua
gurit yang tak pernah tersurat
sarang musim datang dan pergi
dengan bahasanya sendiri
zaman berubah banyak insane hilang arah
banaspati kalabendu berhala dan rangda itu
mengintai melati di kalbu
pelihara bunga nuranimu
angin muara tua sabar kirim pesan
aksara purba sisa peradaban
dua perempuan Ning dan Ning
saling mengerti mematri haru di hati
saling cermati pesan gaib si kakang
keindahan pantas dilestarikan
getarnya jadi tembang pesisiran
Bogor, April 2004
103
Menjaring Angin di Kota Tua
bukan karena panggilan musim
jika langkahnya pagi ini henti
di gapura kota Tulungagung
sementara pagi belum bangkit
kota masih diam simpan mimpi calon urban
umbul-umbul putih sembunyikan perih
beburung pagi seperti kirim isyarat baru
telah lama orang-orang menunggu
dia perempuan pengusung windu memaknai
hidup perlu dihidupi
raga perlu dipagari
jika tak ingin para alpa amuk rasa
mencuri jantung jota ruh kehidupan
janur kuning setia hiasi gapura
kata-kata bertebaran di udara
barangkali tak perlu lagi pasang mikropon
meruncing-runcing perbedaan di nada-nada
diingatnya benar setiap kemarau
angina berdesing di udara kota
ingin ia menjaringnya
pada kehadiran kali pertama
sesiapa datang tawarkan kampung
tiba-tiba hilang semua tanda
hati ngungun suara terbata
disapanya kota penyimpan angin
diserunya wong agung penyelamat peradaban
sambil menjaring angin di pohonan kota sejarah tak boleh henti menyapa jiwa
sejarah mata air mimpi para kawula
ia berseru di ambang gapura
Tulungagung, 2004
104
Membaca Bahasa Angin
Mengusung lakon kuno
lewat bayang rembulan
Dasamuka tak gugur jadi kerak di angan
seorang pejalan kurun henti di gapura Tulunganggung
saat musim simpan prahara
saat kota penuh umbul-umbul dan bendera
Beburung lintasi sunyi pagi dibiarkan
geliat jiwa simpan nada dibiarkan
deru deram kota raya memanggil dibiarkan
angin bisikkan penjajahan baru
langit hadirkan perlambang-lambang
pagi retak matahari suguhkan lakon baru
ada yang tercabik di punggung kota
jadi mosaik tanpa warna
siang menghilang setelah memanggang kota
umbul-umbul putih runduk sendiri
malam tumbang tanpa suluk dalang
suluk kedalam belencong merasuk
membakar tangkai gunungan
diam-diam sang pejalan membaca angin
diam-diam menyimak pesannya dingin
: baca saja gurit “ho no co ro ko”
Tulungagung, 2004
105
Sajak Sapu Ilalang di Tikungan Peradaban 04
dengan seikat ilalang
kau menyapu bumi gersang
sementara orang-orang
sibuk mencangkul pikiran sendiri
dan lahan-lahan penuh lubang
dan udara bau debu
dan sungai henti mengalir
duh leluhur duh karuhun
tinggal sebentak sisa peradaban
dalam ruang-ruang sejarah
tradisi dan adat rapi tersurat
walau budaya asing terjangkan bising
kau masih menyapu dengan seikat ilalang
saat layar kaca berdentang-berdentang
di puncak malam zikirmu mengawang
mencari Arasy Sang Maha Suci Illahi
Maha Kekasih, zikirku rangkaian tasbih
Curahi Cahaya tanahku tua
Banten, 2004
106
Anak Ki Suta Kluthuk
Bayi merah itu menjadi bunga fajar
lahir seiring suara suluk
pirantinya pisau bambu dan kunyit empu
tangisnya keras pertanda tak takut cadas
setiap malam ibunya selalu berdoa:
Ya Gusti, berkahi si genduk ini
semoga kelak hidupnya berarti
Pesan purba dari sang ibu
tiba-tiba menyeruak di celah kalbu
ketika purnama di pucuk bambu:
Di dunia ini hanya ada dua rupa
satria yang harum budi
dan banas pati yang menyamar diri
tuk celakai anak manusia yang alpa
maka selalu waspada dalam melangkah
Biyung Agung kan memberi perlambang
Gusti Pangeran memberi jalan terang
Bogor, April 2004
Catatan:
suluk = tembang pembuka dalam wayang kulit
Biyung Agung= Ibu Agungnya perempuan Jepara, Ratu Kalinyamat.
Gusti Pangeran = Sebutan bagi Tuhan cara Jawa.
107
Mengenang Saat Ziarah
Enam windu telah silam
ketika satu pagi seorang bocah
mendaki bukit kecil
merayap naik ke batu gilang
menyimak mantera sang juru kunci
menyimak asap dupa mengepul
menyimak bunga tiga rupa
diam suara diam rasa
ada takut dan bahagia
Kini ingin mengulang kembali
hening yang tembus sampai hati
saat mengirim bunga sesaji
kemana sirnanya rasa syahdu
kemana raibnya debar kalbu
para pendatang telah bermukim
memadati bukit kecil sunyi
orang-orang masa kini tak peduli
bukit tempat Sang Ratu bertapa
Bertapa kali pertama
mencari keadilan Yang Maha Kuasa
atas tewasnya Sang Pangeran Hadiri
di ujung murka Arya Penangsang
Bogor, April 2004
Catatan: Pangeran Hadiri = suami Ratu Kalinyamat
Arya Penangsang = pangeran dari Jipang yang ingin menguasai Demak
108
Lelaki Tua dan Lambang-Lambang
berdiri diam di antara orang-orang
mengusung harapan
mendekap kenangan
1955 yang lama silam
lelaki tua menata nyalang
kotak-kotak di meja panjang
mencoba renungi satu-satu
nasihat semalam jelang jam tujuh
untuk masa depan
jangan sampai lakukan kesalahan
punggungnya ditepuk saying
lalu terima amplop dan bungkusan
lelaki tua mengangguk-angguk
senyumnya lepas mereka tangguk
pagi ini lain sekali
saat buka lembar kertas penuh lambing
warna-warna beraneka beterbangan
seiring raibnya nasihat semalam
Gusti, Gusti, kenapa gambar ini?
lelaki tua berdiri menggigil
lambing-lambang porak-poranda
bertemperasan berubah bentuk
garuda perkasa dan si Bung pujaan jiwa
Bogor, April 2004
109
Catatan yang Berbeda
Catatan para pengurus:
bendera-bendera sudah dipasang
spanduk-spanduk sudah dipancang
amplop-amplop sudah dipagi
kaos dan sembako tak sisa lagi
hanya honor petugas belum diberi
Catatan para pemilih:
suara-suara sudah dijual
selagi ada yang membeli
nasihat didengar apa salahnya
mereka beri kita terima
tidak harus pilih lambangnya
hari kelima bagai luka bernanah
para tokoh marah pengamat marah
wong gede wong cilik marah
harapan besar yang bermasalah
seorang urban bersandar di kekumuhan
semua gila dalam peradaban gila
gulung saja Tuhan, bagai jagad sonyaruri
sebelum malam ditinggal purbani
dengar doaku, Tuhan
selagi doa belum terkena gusuran
Bogor, April 2004
110
Membaca Sebuah Fragmen Pengingkaran
I. Rumah-rumah masih berjajar di bayang gunung
kali kecil celah dusun memanggili matahari
siapa datang – anak manusia kain hitam
dia datang – orang jauh bawa tembang
perempuan kain hitam hela langkah panjang
menggiring hasrat jiwa dengan bahasanya sendiri
mencari purnama gunung
tautkan abad dan windu
mereka-reka lorong waktu
dan suara-suara mengepung kaki gunung
:cermati awal sebuah ingkar
lukisan pasir dan janji galir
basuh syairan ilir-ilir
II. orang-orang datang siang
mengaku pengusung peradaban
mulai tebar kerakusan
toreh luka di mana-mana
orang tua memandang diam di beranda
pasir gunung menuju kota
lembah menganga simpan seringai berhala
gunung tua dusun tua kidung kuna
janji wingit tepis pengingkaran
dalam pasang surut peradaban
ziarahi leluhurmu bisik halimun
cari rumput gading dan pohon panca bumi
pengingkaran akan diakhiri
Lereng Merapi, Maret 2004
111
Mengenang Bapa
Tak harus menangisinya
jika bapa pergi ke lembah abadi
jika tak tahu di mana pusara
kirim saja bunga di bubungan atap
tabur saja bunga di jalan simpang empat
semua sampai Gusti itu Maha Kasih
perempuan sunyi mengenang sendiri
bulan Sura hadir kembali
sebentuk kotak ukir warisan nan tunggal
saatnya dibersihkan
diganti pula bunga isinya
tanda kasih dan setia
pada sang bapa pengukir jiwa
aku tak kan menangis lagi, bisik
perempuan itu menatap ukiran tua
karena masih kugenggam pesan itu
buktikan angan dan mimpimu
jangan henti di jalan berbatu
satu hari dunia dalam genggaman
senyum bapa membayang di udara
saat Sura hari pertama
Bogor, Maret 2004
112
Tak Henti Mencari
Purnama suri ini
anakmu harus ke Merapi kembali
Romo Sepuh di rasaku ada menanti
Sang Resi pun menunggu kidung pagi
orang-orang bertanya apa yang kucari
selalu kujawab banyak nian yang kucari
Alam hijau raya seakan menyapa riang ria
hening bening saat bersila di Candi Widayat
bisikku, Romo terima doa ziarah senjaku
Mega Merapi putih berarak saat pagi
debar itu selalu hadir menyapa
mencari bayang Sang Resi di tabir pagi
Hari-hari terasa sempurna
Merapi gaibnya mengusap jiwa
Romo Sepuh di alam abadinya
Sang Resi di alam gaibnya
membiarkan kasih dan cinta
wayang sacral telah digelar sesajian di tebar
Lereng Merapi,Maret 2004
113
Membaca Merapi, Membaca Dusun Tutup I
Lereng merapi jam delapan pagi:
mega putih kapas saput rasa getas
kidung mengapung sibak kabut
menyapa ruh gaibnya gunung
di gumpal mega terbaca pesan Sang Resi
Saat ditanya dua dari lima
tugas insan dalam gelar kehidupan
pejalan sunyi mengeja hati :
menghidupkan yang hidup
dan memberi makna kehidupan
Sang Resi menoreh mega
senyum bias surya
menyibak misteri kembali menyapa :
carilah yang harus dicari,ya perempuanku
hitunglah yang harus dihitung,ya muridku
bagai air mengalir seni untuk kehidupan
pagari nanti dimangsa banaspati
Mega menebar busana berkibar
senyum arif terurai
pejalan sunyi masih menatap lama
bayang yang hilang
seiring suara ricik kali bening
Lereng Merapi,purnama Maret 2004
114
Membaca Merapi, Membaca Tutup II
Sapa pagi di daun jatuh dan suara satwa gunung
kidung tak henti dalam jiwa simpan gaung
dusun Tutup hijau raya bagai mimpi sejahterap
para perempuan dan lelaki berambut panjang
tak hirau orang kota sibuk jarahan
membaca dan mengeja tak pernah sudah
setiap datang mekar hati bungah
membaca dusun Tutup ada api dalam tungku
membaca dusun Tutup ada damar dalam kalbu
membaca dusun Tutup ada Sitras Anjilin lugu
rambut panjangnya mulai berubah kusimak diam
senyumnya masih segar hijaukan pepohonan
ucapanya selagi dalam kebersamaan:
yang kau lihat tarian kami ujudkan seni
yang kau rasa getar jiwa kami menyembah Gusti
Ada galau, pulang tidak
di jalan setapak terekam berjuta detak terpis jarak
Lereng Merapi, purnama Maret 2004
Catatan:
Tutup = dusun kecil di lereng Merapi
Bungah = rasa senang
Sitras Anjilin= seniman Merapi
115
Bendera-Bendera di Jalan Raya
hari ini bendera-bendera berkibaran
jalan raya mandi warna
bocah-bocah anak rimba beton
menengok selintas lalu bergegas
ketinggalan bus kota
di halte bocah-bocah anak urban
menunggu kesempatan, sementara pandangnya
sesekali tertuju ria pada bendera
yang melambai dari seberang jalan
mengirim salam
bendera terus melambai
warna-warni bias pelangi
digetar angin memanggili
seorang bocah terkesima
bendera-bendera di jalan raya
adakah kejujuran
adakah kecurangan
di balik kibarnya
Bogor, Maret 2004
116
Bendera-Bendera Saling Berbicara
bendera-bendera saling berbicara
seorang bocah mendengarnya
enak jadi bendera, kata yang satu
enak jadi yang masang bendera, kata yang lain
bendera tak perlu mikir segala
yang masang tak perlu mikir neraka
semua dusta, kau percaya?
mereka bicara janji di mana-mana
kau pikir itu janji suci?
siapa peduli ?
dasar kau tak berpikir
dasar tuanmu busuk pikir
tiba-tiba angin menerpa
bendera saling serang saling libas
saling renggut saling babat
si bocah terperangah
lari ke seberang sambil seru lantang
hentikan, kalian harus jadi teladan
orang-orang memekik, darah memercik
bocah terhempas di aspal
dalam gelap pekat bocah lihat bendera bersalam
Bogor, Maret 2004
117
Kidung Ranu Kumbala
Kidung Ranu Kumbala simak wahai:
Telaga itu masih ada
simpan angin dan warna pelangi
dan kisah sang panji
manakala mimpi hadir
sat luruh malam
Andika Nampak meraga
periksa suasana
tak lupa beri pertanda
kias elok dalam aksara
Jadilah kidung ya kidung
penyembuh jiwa kering alum
jadilah aroma ya aroma
harum kemuning taman agung
Ranu Kumbala telaga jiwa
Bogor, Pebruari 2004
Catatan:
Ranu = telaga
Kumbala = danau kuno di kawasan Tengger, Jawa Timur
Alum = layu
118
Di Kota Raya, Cerita Senja I
di kota raya saat rembang senja
muncul sesosok berhala
menyamar diri Sang Resi
usai lakukan tapa brata
terima anugerah adi
orang-orang hormat memuji
berkidung tanda bahagia
siluman resi lepas pesan-pesan
membuat bingung para kawula
terlena antara pesona dan sengsara
pagi, senja
siang, malam
siksa raga
siksa jiwa
harap sebuah ampunan
siluman resi lupa hukum alam
yang punya bahasa sendiri
Bogor, Pebruari 2004
119
Di Kota Raya, Cerita Senja II
di kota raya saat lepas senja
para petinggi berbusana aneh
bertopeng hitam
suara berdengung
menyulam doa
jadi kisah perjuangan
sepertinya
di tanah kelahiran
tanpa darah ngalir di sungai
sepertinya
di pusara keramat
doa bisa menutup durhaka
suatu hari di bulan nanti
ketika para kawula tak terima
namun tak berdaya
diam-diam simpan suara
Bogor, Pebruari 2004
120
Di Kota Raya, Cerita Senja III
di kota raya pemilik meja bersulam hijau
nyata lebih punya kuasa
di kota raya para dalang
nyata pintar rangkai cerita
sebenarnya ini batas jaman Kaliyuga
bocah samar hadir angkat bicara
segera panggil kakek Sabdopalon
agar menagih janji sekarang juga
minta dia obati obati tanah perdikan
derita sakit kelewat lama
langit kehilangan matahari dan rembulan
di kota raya dalangnya dalang kembang
perangnya perang kembang
pemirsa tertawa sampai berlinang
pakem-pakem dibuat tumbang
bocah samar mengerang
Bogor, Pebruari 2004
Catatan:
Bocah samar = makhluk halus ujud bocah
Kaliyuga = sang pembawa sengsara
Sabdopalon = abdi setia Prabu Brawijaya V yang menolak masuk Islam lalu moksa di kawasan Gunung Lawu dengan sumpah setelah 500 tahun akan menagih janji untuk membuat Jawa seperti semula, tentram damai.
121
Cakra Manggilingan
cakramanggilingan tak henti berputar
menandai perjalanan windu dan abad
seiring gema kidung
dari tanah utara penuh penjor
Sang kaliyuga masih cengkeram angkasa
orang-orang pesisir tak henti
tabur benih jagung
tabur benih ikan, nener dan udang
di tanah perdikan ini
musim sabar ditunggui
orang-orang sadar segala akan berubah
bagai cakramanggilingan
yang semula di bawah
bergerak ke atas
yang semula di atas
bergerak ke bawah
begitu selalu dari jaman ke jaman
yang tabur benih akan menuai
yang bertanam akan memetik
semuanya buah perilaku
Bogor, Januari 2004
122
Menyimak Rapsodi Hujan November
Menyimak rapsodi hujan senja
Seakan segala tragedi sirna dari tanah merdeka
Sepemakan sirih lupakan kemungkinan
Kaliyuga ingkar janji, haruslah lewat
Malah berhenti, anak manusia sakit hati
Menyimak rapsodi hujan senja
Sebait intro sebuah lagu tak pernah selesai
Menagih janji November
Mana kelanjutan cerita perjalanan Nusantara
Sempat suntingimu bunga
Sabarlah bagai kesabaran Sabdopalon
Menagih janji ‘tika pisah dengan tabah
Bersalam pada Prabu Brawijaya akhir
Terhenyak aku menghitung abad
Saat telah begitu dekat
Sabdopalon menagih janji
Sementara sebait intro menjauh
Lambai tangan lihat aku telah di garis kesadaran
Bogor, November 2003
123
Menyimak Tebing Ching Sui
Menyimak Tebing Ching Sui dalam lukisan
Seakan dengar kembali pesan lama
Tertiup angin benua dari arah Taman Taroko
Sin minta apa saja pada pergiku kali ini
Tapi jangan minta sepotong batang yang itu
Hanya karena denyut rasa jadi hasrat
Simak liuknya kala purnama
Menyimak laut dalam bawah tebing
Seakan dapat pahami relung misteri
Ucap itu, jauh hari berbilang musim
Ia tak ingin lihat perempuan lara dan merana
Kini Tebing Chingshui sembunyikan bayangnya
Saat tak menemu bunga camellia
Kembang perempuan pesisir tanah Jawa
Bogor, November 2003
124
Menyimak Guruh Nopember
guruh dan angin saling sapa di udara
terhela-hela ingatanku coba temukan bayangnya
sempurna lagi kota tua itu mandi cahaya
gereja kecil di tenggara akan kembali
memanggil anak-anak yang pernah tumbuh di sana
dalam asuhan denting loncengnya
di dada di kepala tergambar janji-janji masa depan
sebelum orang-orang gemar berburu
padahal mereka bukan pemburu
kurenungi lembar yang hilang dari pesan pusaka
kurindui wistarian ungu bunga spanjang telaga
dari puisi penuh makna pernah kuterima
:biar orang-orang belajar sendiri
untuk mengerti, anakku
bayang gaib Sang Romo lintasi beranda sunyi
guruh getarkan langit tinggi
Bogor, Nopember 2003
125
Menyimak Rumah Bambu I
Rumah bambu di bantaran Kali Code itu
Muncul dalam siluet dunia maya
Masih simpan getar angin musim hujan
Nopember senja, di antara sengketa
Tergelar tamak loba jauh dari pakem
Kehidupan seharusnya
Adakah kau lihat orang-orang
Seperti bukan lagi manusia
Kali Code telah lama hilang jernihnya
Seperempat abad lalu senyum usia muda
Mekar di tepinya, tata arah pada langkah
Rumah bambu tahu semua itu
Kenangan tersimpan pada caping
Bukan pada busur panah
Bukan pada mata tombak
Bukan pada mikropon mimbar
Bogor, November 2003
126
Menyimak Rumah Bambu II
Sesekali simak ulang catatannya
Rekam kasih sayangnya pada pernik kehidupan
Di antara hiruk kaum berkepentingan
Dan macapatan kaum urban
Sesekali simak ulang senyum ikhlasnya
Bias rumah bambu di bantaran
Dia sesungguhnya ruh rumah bambu itu
Denyar-denyar kirim isyarat-isyarat kasih
Tak pamrih, obat purba hidup perih
Lewati lingkar ring road di selatan
Pandangku hitung pohon Jalan Gejayan
Aku mengenangmu, bisikku tertahan
Yogya, Oktober 2003
127
Bahasa Enampuluh Purnama I
Enampuluh purnama menghitung ruas waktu
orang-orang meraung terjirat kalabendu
dalam jiwa udara didihkan tuba
api padam kembali menyala
jalanan dan kampung porak poranda
bayang-bayang siapa mengusung cemas
Enampuluh purnama menghitung detak jantung
api padam kembali mengoyak siang berdengung
orang-orang terjepit waktu yang meradang
di pohon-pohon mahoni tua jalan Simpang Raya
orang-orang bingung
siapa harus didukung
Kalau saja Jakarta penuh taman bunga bakung
bukan bebaju di taman
yang simpan denyut derita urban
tentu seorang perempuan yang banyak kehilangan
tak harus mewakili suaramu
bicara tentang enampuluh purnama
atau menulis aksara hilang makna
Bogor, Oktober 2003
128
Bahasa Enampuluh Purnama II
Kota dendangkan suara-suara dari liang luka
para urban menabuh tifa-tifa tanpa kulitnya
mereka berebut sanjung gemerlap kota raya
harap murah hati pemberiannya
:sisa purnama
Ada yang mengaku tak terharu
katanya seru
budaya dari pinggiran telah diterapkan
cinta sampah jadi gunungan
Bahasa kehidupan jadi berubah
rasa kagum dan harapan jadi serapah
seseorang yang kehilangan anak kesayangan
hanya menangisi makna bahasa
enampuluh purnama
Butir-butir bintang yang nyawa
serpih-serpih bulan yang mala
Bogor, Oktober 2003
129
Jakarta Pada Suatu Hari I
tergurat merah hitam
di dinding-dinding jembatan laying
perjuangan itu
telah jadi mosaik jaman
siapa masih menacari makna
di antara selaksa pesona
yang ditemui bukan lagi
raut perempuan Hindun natap Ciliwung
simpan senyuman Harmoni
tak juga jejak purba
prajurit Mataram tua
istirah renungi senungi sejarah
di kawasan Kesatriyan Condet Selatan
dan Mataraman kini Matraman
serat kabut dalam ontran-ontran
mencoba urai sejarah
sisa kebanggaan lama
yang ditemui hiruk-pikuk sengketa
dalam rumah agung bermahkota
Bogor, September 2003
130
Jakarta Pada Suatu Hari II
seorang lelaki rapuh sisa peradaban
mengeluh di tikungan jaman
denting siter ungkap gumam
karena tak lagi jadi bagian
dari yang diperjuangkan
gumam diulang saat angin bersarang
di pohonan Jakarta yang daunnya berubah warna
siapa bisa mengirimku kembali dalam rahim sejarah
di kota merdeka
aku begini lelah
ketika kukabarkan pada mereka
pesan-pesan sisa peradaban
mereka tengah sibuk luar biasa
hitung angka-angka baru
kemas strategi terkini
sementara dalam dada dan kepala
berkilatan mata belati
Bogor, September 2003
131
Lelaki Mabuk dan Rembulan I
Berapa laut telah kau teguk
tak juga sirna dahaga
berapa selat kau hisap hari ini
semakin haus, menyiksa jiwa yang bara
sebenarnya
tak raga yang bicara dan menuntut
tapi kerontang jiwa
yang hilang ruh kearifan
jadi belenggu abadi bagi diri
Makin gering kemarau bulan Agustus
makin liar sulur-sulur hasrat purbamu
menarikan bias rembulan pesisirku
jangan usik biarkan semesta terus menari
biarkan kata-kata bernyanyi sendiri
lagu yang bukan lagumu
tapi tembang pesisiran
yang kugubah sepanjang windu
Jepara, Agustus 2003
132
Lelaki Mabuk dan Rembulan II
kenapa kau biarkan kendali
dicuri matahari petang tadi
sementara sungai selat dan laut
kau biarkan mabuk langit
menolak pigura dan tepis sentuhmu
ketika orang-orang di lapangan
turunkan bendera menimang unggun
kau biarkan bumi memaku tubuhmu
kau mabuk debu mabuk batu
rembulan pun tak lagi menapa
meski kau puji warna emasnya
kenapa kau biarkan kendali
dicuri matahari petang tadi
Jepara, Agustus 2003
133
Lelaki di Persimpangan Jalan
Tak ada yang bisa kau lakukan
kata-kata tlah khianati aksara
bagaimana mungkin menata ulang
mengalunginya dengan merjan-merjan
karena perhatianmu sebenarnya
buih-buih dalam gelas kaca
yang dituang sambil tertawa
Lalu malam mengirim angin
menyapamu dengan sentuh dingin
anak siapa sebenarnya dirimu
tembang apa dulu mengiring tidurmu
kau tak mendengar semua itu
karena irama tawa aneh menggelitik sukmamu
siapa titipkan tawa itu hari pertama
kau mengenal nada
tiba-tiba kau marah tapi juga menangis
Jepara tak juga mengirim gerimis
sekadar usap kulitmu
Kota terbelah
dari rekahnya beterbangan lelawa merah
dari sayap-sayapnya berjatuhan gelas kaca
menumpahkan buih-buih
makin banyak dan menggenang
indahnya, kau berseru ingin berenang
fatamorgana, kau henti ingin meditasi
Jepara, Agustus 2003
134
Mencari Ruh
mencari:
ruh laut pada ombak
ruh pada pasir
ruh musim pada bunga
ruh sungai pada lubuk
ruh langit pada bintang
ruh cakrawala pada pelangi
akhirnya merajah tanah
dari selangkah ke selangkah
sampai henti di Rumah Abadi
Bogor, Juli 2003
135
Sebuah Tafsir
:Eza Thabry Husano
tafsir puisi senjamu
tertera dalam perjalanan musim
dan getar ilalang di hampir padang
tafsir sebuah kota yang rindu hujan
di senyap waktu
ketika cairan embun pelan kubasahi serat rambutmu
kau mulai menyusun tafsir-tafsir baru
sambil bertutur:
kuziarahi
kenikmatan cahaya lampu-lampu
sementara di bukit seberang
aku masih berdiri saat senja diam-diam lari
siapa tahu purnama enam belas
ombak Laut Jawa mengusung aksaramu
penuh tafsir kebijakan Banjar
ada aroma dan pendar cahaya
membuat langit Selatan hilang jelaga
dan semangat jiwa kembali getar
seiring terbitnya bintang Barat
pendarnya pulihkan penat
Bogor, Juli 2003
136
Catatan Aneh 03
biasanya kulihat hadirmu di antara
kata-kata, berloncatan dari ujung ke ujung
sesekali terbalik-balik, sementara aku
coba memahaminya dengan susah payah
tapi sejak awal kemarau ini hadirmu
berubah-ubah, membuat imagi pecah-pecah
kau berdiri di beranda gedung sangat tinggi
natap ke bawah seolah dalam benua mimpi yang asing
kau juga ada di gigir bukit cadas sangat terjal
amati rimbun dusun sisa peradaban
kau bahkan ada di pucuk menara sangat tua
penuh misteri sejarah tentang kekuasaan
wajahmu binar tatap mata pijar
manakala kulambai tangan gemetaran ke arahmu
terasa tenggorokan menyempit tiap kemarau datang
ditambah rasa ngungun dan dungu menatapmu
kau sedang apa saudaraku, tanyaku terbata
oleh endapan pahit getir kehidupan
kabarkan pada dunia, aku mau benahi sorga
yang porak poranda, sahutmu dengan suara gema
bahkan aku tak menghalangimu
aku sangat memahami sandi maksudmu
jika itu memang pilihanmu, kenapa ragu
tiba-tiba kau nampak melayang
cepat sekali dan makin cepat
hunjam ke arah bumi
Bogor, Juli 2003
137
Pesan Aneh Awal Kemarau
Bagi sebuah nama
rembulan baru saja terbit dari balik bukit
pelan melenggang ke arah pucuk-pucuk jati
kau panggil sebuah nama dan mengajak bicara
mari bicara sebagai orang tua
(kusimak suaramu mulai fals)
Si,*) jangan tafsirkan dengan rekayasa aksara
aku mau kau cermati tuturku ini
karena tak kutemukan lagi
perempuan simpan belati dalam jiwa selain,
selain geletar syahwat, camkan ini
dalam tatapku ada belati berhulu bunga
tajam bermata dua siap aku hujam lidah penggoda
maka aku bertutur padamu
aku titipkan dusun kecil kelahiran
tanami selaksa macam bunga
jika bunga di bumi kurang jenisnya, tambahi
dengan bunga dalam jiwamu
kini lega aku berangkat jauh
simak cepat raut wajahku
sesudah ini aku tak kan menengok lagi
(pesan aneh di awal kemarau
segala membuatku menelusuri segala nama
dalam laci, buku, kranten dan tas kerja
Siapa kira-kira punya pesan aneh itu)
Bogor, Juli 2003
*) Si maksudnya panggilan kesayangan Genduk Si
138
Ritual Perang Api
telah ditata garis batas segi tiga
ubarampe di tengahnya
pawing muda memasuki lapangan upacara
lengking mantera menguak udara
angin malam menyambutnya
api mulai dinyalakan
ibu kehidupan memulai langkah usung makna
pengawal setia menarikan geliat jiwa
dalam kibas kain warna biru
meningkah-tingkah tembang doa sang ibu:
andika yang menjaga dan merawat bumi
yang bersemayam di tempat ini
ijinkan anak manusia yang berkarya
jauhkan segala malapetaka
agar lestari raharja
karena kehendak Allah jua
anak manusia mulai berlarian di lingkaran
nyala api berpendaran
terdengar lengkingnya membelah malam:
hurah, ini rumah manusia bukannya ladang
tikus pemangsa harus dibuang
agar selamat rizki dan kehidupan
tikus-tikus bertahan
terjadi perang api
perilaku purba berulang lagi
antara hasrat-hasrat yang berkembang
ketika perang api selesai
tak pernah selesai jiwa sansai
Lereng Merapi, 2003
139
Parita Jelang Purnama I
mengayuh langkah memasuki ruang dan waktu
menata jejak jadi peta perjalanan umur
bunga-bunga kecil menebar wanginya
petik harumnya simpan dalam kalbu
lelaki tua hati tanpa sembilu
getar bunga jadi pengantar parita
menyibak-nyibak karmapala
140
Parita Jelang Purnama II
tiga puluh purnama lewat
selalu ada purnama berikutnya
parita ke parita lewat
selalu ada parita berikutnya
tak perlu hitung yang tak harus dihitung
tak perlu langkah jika tak harus melangkah
jangan bayangkan doa-doa migrasi dari jiwa
jangan bayangkan Siwa gantikan bayangan Wisnu
semua talah ada tempatnya sendiri
parita suci selalu meruang dalam nurani
bayangan Wisnu selalu payungi kalbu
meski perang dan damai silih berganti
menjadi gelar kehidupan
manusia yang tak memahami makna
simak-simak purnama menjelang pula
aku tahu kau selalu siapkan paritanya
dari musim ke musim dari umur ke umur
Bogor, April 2003
141
Balada Lelaki dari Pulau Muna
lelaki dari telatah timur
terus memikir
terus berdzikir
siratan gelisah dahsyat dalam jiwa
saat sadari jalan nuju ke dunia
:tak bisa direka-reka
semua oleh kehendak-Nya
lelaki dari pulau Muna
ada matahari bersinar dalam dada
ada dawai malaikat dalam jiwa
terus melangkah memasuki ruang dan waktu
menghitung jejak tanpa angka
ada tanya tak pernah terjawab
tentang dosa
tentang sorga
tentang neraka
segala berubah ia tahu
tak harus ada target ia tahu
sementara proses jadi bagian dari hidup
gesekan dan benturan
saling menyapa siang dan malam
suatu malam kudengar desisnya
di antara desau angin kota budaya
:aku mata air mengalir, menderas
aku tak pernah simpan kitab
kitabku kehidupan guruku alam semesta
kini aku segala bagian getar di udara
Wisma Seni Solo, Maret 2003
142
Lelaki yang Simpan Denyut Nadi La Ede
mendesis-desis mantranya
menyusupi celah malam
sebelum akhirnya mengendap di lubuk jiwa
bumi dan langit tangkap getarnya
sebelum malam tuntas mengabarkan semuanya
kepada orang-orang dalam perjalanan
mencari karma sepanjang musim
mendesis-desis mantranya
sentuhi batas mimpi anak manusia
menebar aneka idiom kehidupan
lalu diam lama yang ada hanya serat cahaya
inodi mata*)
inodiooe
momawa, noghosa
embun turun dalam hening
ada yang menyapa ada yang disapa
alam semesta membatas keberadaan maya
selebar dada seluas tapak tangan
sirna kata sirna ejaan
dalam pendar cahaya
dalam kelopak nuansa
catatan *) = bhs Muna
aku mata
aku air
mengalir deras
Taman Budaya Solo, Maret 2003
143
Memandang Prisma dari Lereng Merapi
memandang prisma di pagi cemerlang
mengeja prosa kehidupan
bumi subur dalam jiwa menembang
damai itu langit biru tanpa bau mesiu
sementara di belahan barat yang jauh
raung murka berkelebatan
merobek-robek kota peradaban
jiwa berkidung runduk dan runduk
mensyukuri yang layak disyukuri
mencermati yang harus dicermati
segala masih bisa dikidungkan di sini
saat mawar mekar di lereng Merapi
Sang Resi bersaksi di tahta gunung suci
penuh kasih usap jiwa perempuan kembara
“Berkidunglah ya perempuanku
selagi hidup dan kehidupan
masih bisa dikidungkan
bersyairlah ya perempuanku
tanpa ubah arah langkahmu
Lereng Merapi, Maret 2003
144
Hanya Partitur
tatap bintang dan rembulan usai hujan di malam
tirakatan jauh Utara dan Selatan
bayang purba hampiri rasa dalam kelebatan
Lereng Merapi, Maret 2003
145
Setitik Harapan
setitik harapan kusandarkan di celah noda
menjadi bajak bijaksana
mengolah tanah persawahan tua
menjadi lahan subur
di situ kutabur bibit rindu perbaikan
Pebruari, 2003
146
Setitik Debu
setitik debu lepas
dari rambutku yang putih kelabu
kutiup penasaran dan gigil raga gemetaran
debu jadi gelembung
membumbung menyumbat rahim waktu
bayi-bayi zaman berdesakan
tunggu saat kelahiran
kalian tak perlu lahir
jika hanya menambah barisan
para pendosa di rumah peradaban
gelora marahku gandakan debu
Pebruari, 2003
147
Setitik Keringat
setitik keringat
tetes dari sendi umurku
mengusung garam yang selama ini telah bikin kehidupan
kelewat asin
mencari saudara-saudaranya
di lautan
aku tak ingin tahu
apa yang mereka bicarakan
batangkali saja
mereka membasuh
rembulan dan matahari
Pebruari, 2003
148
Setitik Api
setitik api dihalaman jiwa
penuh ilalang
menyambar langit senja tak bertuan
mencari air di bumi retak
api berderak gemeretak
membakar tulang iga
kuludahi, sang kala menuding murka
kucibiri, sang waktu menghunus pedang
kutabiki, mereka diam
Pebruari, 2003
149
Setitik Air
setitik air
dari ujung lidahku
di lantai berdebu
melebar menerjang pintu
banjir pelataran
jalanan
dan tegalan mengusung ruh
bah
jiwa
penuh jelaga
mencari para pendosa
telah lukai rahim bunda
Pebruari, 2003
150
Di Trotoar
segenggam bunga mahoni yang gugur
bertebaran di trotoar
simpan wingit
aroma mistis
simpan gema
keluh tangis orang-orang kehilangan
karena pendemo
di ujung mimis
anak kandung berkah
bunga rahimnya
Pebruari, 2003
151
Lelaki Muda di Titik Nol
bencana-bencana adalah bahasa alam
isyarat wingit harus diurai
hanya hati tak mencaci
bisa memaknai
di titik nol lelaki muda tak peduli
kesalahan tetap milik yang lain
bancana silih berganti
tembus sampai di jaga diri
terus menuju tenggara bumi tanpa tepi
tapi angan menapak di bayang malam yang jauh
antara Baranang siang dan Kebun Kelapa
antara Rumentangsiang dan Kosambi lama
bibit mimpi anak manusia
sembunyi di antara ayat-ayat
antara segala atas nama
bisa sonata bisa rubayat
lima waktu sudah
shalat dhuha sudah
meditasi sudah
bumi geliat lelah
di mana salah
bayang mengerang
di tanah gersang alam menghadang
Bogor, Desember 2002
152
Saat Matahari Menghitam
aku masih di bawah pohon waru
menunggu angin gugurkan kelopak bunga
bercakap dengan cuaca simpan cahaya
bercakap dengan musim simpan rajah kala
bercakap dengan masa lalu simpan bebatu
ada erang dalam orang tanpa masa depan
mimpinya cabik direntang di awang-awang
sementara matahari mulai menghitam
aku masih di bawah pohon waru
menulisi nisan waktu dengan aksaraku
matahari kian menghitam
di tabir uap darah anyir sepanjang pesisir
darah para martir
Bogor, September 2002
153
Tentang Batu, Jiwa, Bahasa I
sebutir batu
simpan kilau Nusantara
sepercik latu
putik cahaya Nusantara
seaku AKU
getar jiwa Nusantara
yang mengapung dalam suwung
yang bergaung dalam kidung
rahasia-Nya Agung
terdengar dalam angin barat
Sang Dayang Sumbi memanggili
limbah nodai harum bumi Siliwangi
154
Tentang Batu, Jiwa, Bahasa II
serumpun ilalang
saat jaman di titik simpang
akarnya hilang
dalam jiwa telah jadi tembang
segala berubah di empat arah
jiwa rekah warna putih merah
seoncor api di batas pagi
sisakan nuansa impian lusa
Nusantara jiwa penuh daya
terlukis seharusnya untuk Batutulis
ruh puji seharusnya untuk Puri Bimasakti
bunda, tapi tanganku tak bisa raih tanganmu
Bogor,September 2002
155
Sekar Ilalang dan Ritual Unggun Rembulan
Seakar ilalang lolos dari genggaman
kembara kehilangan jalan
jatuh tercecer di pasir tanah Utara
seakar ilalang mencari habitat baru
di antara laut dan darat
terapung dalam getar waktu
ikut menandai pencarianku
Ketika kugubah syair menjadi kidung rembulan
sementara nyala unggun belum padam
ilalang menembus ruang dan waktu
akarnya mencari tanah hatiku
diiring suara tangis orang Merapi
malam pun kehilangan nafas selintas
saat sejekap aku merasa jadi kapas
Jepara, Agustus 2002
156
Upacara di Pendapa I
Telah ditata upacara di pendapa
untuk harapan di pangkuan berbunga
daun kelapa hijau dan ilalang
daun sirih penepis perih
daun mengkudu penepis bendu
air kendi penawar hati
Mulai terdengar suara malam
para danyang memberi salam
doa dan kidung awali langkah
anak pawang menyapu arah
suara tanah Utara lingkari pendapa
diiring suara siter sentuh Ujungpara
mencari benang merah Nusantara
Jepara, 25 Agustus 2002
157
Upacara di Pendapa II
Menyimak pesan-pesan wingit
menguak ruas-ruas anggit
Sang Ratu Melati Bunga dalam jiwa
berpesan wanti-wanti
Menarilah nini,menarikan kehidupan
Menembanglah nini,menembangkan kehidupan
Berdoalah nini,mendoakan kehidupan
tersentak jiwa menggigil raga
tak ada kata menanti
menyapa rembulan purnama raya
menata nafas menata langkah :
Bapa kuminta kau bersaksi
aku penuhi pesan suci Ibu Sejati
aku jalani laku prihatin malam sunyi
Berbungalah gandasuli dalam jiwa saat purnama
berbuahlah pohon adi dalam doa amanat suci
gandasuli buah adi rembulan matahari
saling menyapa di dalam diri
Jepara,25 Agustus 2002
158
Benih yang Tumbuh dari Tabur Hujan
benih yang tumbuh sari tabur hujan
di tanah perdikan kau tinggalkan
sementara migrasi mimpi-mipi
dari ruang ke ruang waktu yang tak sempat
kita miliki lagi, jangan bayangkan diriku
menjadi perempuan berkemben muncul perlahan
dari sisa tabir peradaban yang dilupakan
aku bukan semua yang terjadi dari angan-anganmu
aku tersesat terlambat melesat lahir
dalam jamanmu penuh khianat
topeng-topeng dipajang berontong-berenteng
di sepanjang jalan kecil bernama luring
bergoyang-goyang di bawah langit mendung
dalam catatanmu hanya terbaca:
ada perempuan hilang renung
ada pohon tua hilang suara burung
diam-diam kusimak benih yang tumbuh
dari tabur hujan, sambil mencoba mengenang
maksud catatanmu, dan aku semakin gagu
Juli, 2002
159
Menunggu Angin
aku masih di bawah pohon waru
menunggu angin gugurkan kelopak bunga
berdialog sunyi dengan cuaca simpan cahaya
berdialog sunyi dengan jiwamu simpan bebatu
berdialog sunyi dengan samudra simpan rajah kala
aku masih di bawah pohon waru
menunggu angin kabarkan berita baru
tentang petinggi yang tak lupa janji
tentang kemurahan bagi setiap orang anak wayang
matahari mulai menghitam di tabir uap darah anyir
sepanjang pesisir, darah para martir
aku masih menunggu angin
aku masih menunggu angin
Juli, 2002
160
Amsal Ular I
mengenalinya
tak hanya dari warna
tak hanya dari racunnya
simak kepala dan ekornya
161
Amsal Ular II
jika bersama ular besar
kau di ekor hanya
kau bukan apa-apa
walau bersama ular kecil
kau ada di kepala
kaulah penentu arah
ular besar ular kecil
sama makna dalam rumpunnya
Juli, 2002
162
Catatan Orang-Orang tanpa Rumah I
jika kata-kata tak lagi mampu
menjadi jembatan bagi hati meniti
jika keangkuhan membuat mati
segala pemahaman dan bunga nurani
orang-orang membuat batu ganti bicara
di tanah merdeka
rumah hanya kata-kata
163
Catatan Orang-Orang tanpa Rumah II
orang-orang tanpa rumah menatap pohon-pohon
akarnya batu dahanya batu daunnya batu
bunganya batu buahnya batu
malam rembulannya batu
jejak langkahnya mosaik batu
Juli, 2002
164
Catatan Musim 2002
sebuah legenda tentang nama-nama
tak pernah selesai dibaca
sementara siang malam pesona dihantar
layar kaca, nadirkan bius meratus
sinta dan kebodohan jiwa
perjuangan dan pengkhianatan
mencari tuannya di ujung musim
membujuk ujung pena dan ujung ingatan
tak berkesudahan
musim merentang waktu
padang rumput telah berbatu
lereng berkabut telah berlumut
lelawa bersungsang di lelangit
catatan musim berbau sangit
Bogor, Juli 2002
165
Di Bentara
menyimak dongeng rembulan jatuh
wajah-wajah kurun penuh tafsir
rasanya kita dari pohon yangliu yang sama
pohon di pinggir tebing tanah Utara
hanya rahim kita tumbuhkan benih yang beda
Jakarta, 2002
166
Perempuan yang Mencari Bukti
mencari bukti kasih sayang
dan janji setia seorang anak lelaki pada jaman
menelusuri tanda-tanda
dari berkas lama sampai kibar bendera
dari darah di jalan aspal sampai taburan bunga
alas warna hijau suara parau ruangan galau
tak terasa waktu berlalu
dalam deret kotak trotoar
dalam hitungan tahun dan rindu terbakar
kata pasti raib ke langit tinggi
menyatu dengan segala keanehan negeri
ia menyibaki lembar sejarah
yang nampak selalu bayang darah
anak masa depan itu di manakah
ia bisa bernama apa saja
ia bisa tertimbun tanah di mana saja
ia bisa dilupakan sejarah kapan saja
berapa banyak ia
tanpa bukti namun ada
Bogor, Juli 2002
167
Sebuah Partitur 2002
di antara bunga sukla
dan harum nafas doa
engkaukah yang masih lantunkan gita
angin kesiurkan isyarat alam
membuka lembar rahasia
engkaukah yang masih eja aksara kehidupan
sementara di mana-mana
orang-orang membuat gaduh
engkaukah yang masih berkidung
membuat malam menjadi teduh
membuat retak menjadi utuh
Bogor, 2002
168
Awan Merapi
Awan Merapi
melukis gerak merpati
terbang menyisir lereng
mencari dusun sunyi
sembunyi dalam hijau alam
awan Merapi
melukis gerak kuntum
mekar dari tangkai kehidupan
di antara lukisan alam itu
engkau berdiri membatu
Bogor, 2002
169
Senja Kering Tahun Ini
orang-orang pinggiran risau air bersih
aku gemetaran menyusun aksara demi aksara
saat kutemukan suatu rumpun tanpa nama
bunyinya menyentuh jiwa:
musik angsa memberi sentuhan
pada getar nafasmu
ketika kabut menyembunyikan kebun tebu
musik ini mengakhiri dunia
ada bagian dari ingatanmu
adalah kehidupan yang menegang
menjadi radang masa lalu yang membatu
orang-orang masih risaukan kemarau panjang
aku risaukan sebuah nama
yang membuatku gemetaran membaca
aku semakin percaya
kekuatan dalam kata
Bogor, Juni 2002
170
Pesan dari Tepi Gaduh
kota gaduh sepanjang langkahmu darah
catatan bertebaran di ruang-ruang
mahkota hilang sudah
dari jiwamu yang terbelah
aku tak mampu menegur selain gelisah
manakala muncul bisikan itu:
jiwa harus tetap terjaga
demi kelestarian batin kita
aku terperangah di tengah-tengah
sementara engkau semakin pongah
dan aku menangisi ibu bumi
saat bisikan itu muncul lagi:
gusti telah menjaganya
dan manusia menikmatinya
demi kebetahan manusia
di Wadah Ciptaan-Nya
aku terdiam dalam kegaduhan
terus bersaksi atas kegaduhan
Bogor, Mei 2002
171
Fragmen
percakapan para pencari makna
menyeruak di antara bintang
meneduhkan malam
sementara di kota raya
anggur tumpah di meja perjamuan
orang memasang topeng sambil bersalam
angin menyabarkan orang di jalan:
biarkan dulu diam-diam bumi sudah menanti
para pencari makna menghentikan percakapan
lalu berdoa dengan lega
April, 2002
172
Yang Mencari Tanya
ke mana mencari sapa yang ada tinggal gumam
ke mana mencari janji yang sisa tinggal perseteruan
ke mana mencari Berkah Tuhan sudah sangat marah
bersihkan Rumah Tuhan dalam jiwamu, ada suara
yang membangunkan meditasi menjelang fajar
Bogor, 2002
173
Setelah Membaca Legenda Kalinyamat I
selembar catatan tua di rumah kuna
dusun kelahiran para perempuan perkasa
yang pernah dibelenggu jiwa rantai ombak utara
akan datang masanya cerita sesat tak lagi
tetap tataplah langit utara
seorang anak manusia datang membebaskan
citra terpenjara
seratus perang nuju Malaka
delapan pulang sisa kekalahan
terpatri jadi prasasti kebanggaan
tonil dan sandiwara sembunyikan itu di balik tabir
kini telah berakhir dan kenyataan hadir
ombak masih mengiringi musim
angina masih menyalami pohon mahoni tua
dan menggugurkan bunga tanjung di halaman
doa dan tembang pagi masih dilantunkan
meski muara sungai Wisa tak lagi penuh perahu
arusnya telah terlipat dalam wiru
namun Jepara masih ada
Kalinyamat harumi jiwa
2002
174
Setelah Membaca Legenda Kalinyamat II
kota terus tumbuh seiring perjalanan abad-abad
selalu tersisa orang-orang yang membaca macapatan
mencoba menangkap jejak cinta sang ratu
pada serat pelangi di langit kota senja hari
pada gurat relief jati simpan cerita misteri kejayaan
mengawali wajah dalam cermin kuno di pendapa
terbayang para perempuan dan lelaki penerus
sejarah, penabur benih kehidupan masa datang
genduk Si, genduk Si, lambainya dari balik situs benteng
Portugis tua, jangan henti
2002
175
Pada Suatu Hari Mentari Membakar Kota
kota tua telah penuh bangunan
teluk kehilangan perahu bersandar
sementara para lelaki anak laut menabur jala
jangan sampai kosong hari ini, seru istrinya
tapi ikan-ikan telah pindah habitatnya
berenang dalam pigura di gedung-gedung
apa yang bisa dilakukan kota tua terbakar matahari
bahkan mengirim salam pada laut tak lagi
saat matahari tepat siang kota terpanggang
berdatangan pemadam kebakaran
tapi kota semakin bara karena matahari kini ada dalam jiwa
hanguskan hasrat tersisa bukti pernah ada
peradaban yang kini disingkirkan
kota terus terbakar
2002
176
Suara-Suara antara Manggarai – Muara Angke
gelak bocah yang tak pernah terjajah waktu
melambai saat lewat perahu nuju muara
potret kami,potret kami
siang ini muncul kembali
dalam serat arus banjir
yang tebarkan derita anyir
mangga silahkan lewat saja
tegur sapa perempuan tua
di antara bayangan slum Manggarai
siang ini muncul kembali
dalam gelegak amuk Ciliwung
Jakarta jadi perahu sarat beban
sekelompok anak jaman menari di jalan-jalan
2002
177
Suara-Suara antara Pahoman – Kalianda
di antara suara-suara yang mendera
gemuruh lengser dan gelegak banjir
aku mencari karena harus menyapa
ketika angin mati
bersarang di bukit-bukit cadas
antara Pahoman dan Kalianda
samar terdengar desir nadinya
samar terdengar bincang malam di lingkaran
bumi Lampung mengapung
dalam ruang suwung
Bogor, Pebruari 2002
178
Mencari Jawaban
malam runtuh dalam longsor waktu
yang menjebak bincang orang-orang peduli
kita bersaksi kelewat lama
atas setiap bencana
siapa bilang ini hanya
masalah doa dan dosa
orang-orang saling pandang
lalu membaca hanacaraka di dada
ada satu huruf baru tak tereja
Bogor, Pebruari 2002
179
Mencari Musim
seorang petani muda runtuh dunia
kehilangan mimpi pengantin
sawah raib menjelang panen
sudah dihitung hari di peta waktu
tapi musim bicara lain
tegur sapa nafas Pantura
yang dulu dikirimkan
lewat angin pesisir
hari ini jejak di pasir
ombak laut pun hilang desir
laut tidur, tanya bocah di pinggir tanggul
laut kirim gemuruh ombak, nang
bocah tak ingin jadi petani muda
tak ingin hilang mimpi pengantin
Bogor, Pebruari 2002
180
Genggam Padi Panen Raya
manakala senyum sisa dari peradaban
mengapung di langit timur tanah kelahiran
sementara seikat padi dalam genggam
o, ontran-ontran negeri ini kukutuk
karena peluru maut masih mencari
serat nyawa di tanah paling barat
karena parang dan padang masih meraja di kota-kota
aku mabuk lihat layar kaca
ingin panen raya di mana-mana
Bogor, Pebruari 2002
181
Catatan Februari Dini Hari
kampung tua kampung perkerabatan
sisa kenangan windu silam
siapa mulai memusnahkan
mimpi perubahan
orang-orang hilang suara
Bogor, 2002
182
Tentang Orang-Orang I
ketika orang rembulan
dan orang matahari
berpapasan di persimpangan jaman
maka :
laut akan mencari ombaknya
api akan mencari panasnya
pohon akan mencari buahnya
semesta pun
akan menjadi padang prahara
atau hanya hening
Bogor, Pebruari 2002
183
Tentang Orang-Orang II
ketika orang-orang
bukan rembulan dan matahari
berpapasan di pertemuan zaman
simak :
ombak mencari lautnya
api mencari panasnya
buah mencari pohonnya
semesta pun
hanya bentang gurun pasir
atau hampar samudra
Bogor, Pebruari 2002
184
Tentang Orang-Orang III
orang-orang rembulan mencari
jiwa matahari
orang-orang matahari mencari
jiwa rembulan
batu karang di teluk dalam
sembunyikan jejak mereka
dari kutukan zaman
tanpa jejak mereka tebar
pengkhianatan berkepanjangan
langit menangiskan hujan
bumi geliatkan gempa
Bogor, Pebruari 2002
185
Elegi ke Elegi
kalau saja ia berani bilang tidak
pada orang-orang pembawa piala
anggur merahnya simpan racun
semua saudara akan berdoa
memujikannya jadi anak peradaban
tapi dia lupa ajaran sang bapa
yang kutangisi siang malam
tanah perdikan dan jiwa rawan
dari setapak mulai tergadaikan
doaku hanya dua pilihan :
selamatkan
atau
hancurkan
Bogor, Januari 2002
186
Parodi
dulu ia menembang air mata
hibur jiwa-jiwa yang luka
kini kesadarannya tlah jadi fosildalam hujat orang kecil
bagaimana harus menegurnya
sementara kerikil mulai berserak di jalannya
Bogor, Januari 2002
187
Elegi si Atmo Klungsu
saat masa jaya dia pasang kata gundu
atau keneker dan dengan angkuh ia
tertawa perkenalkan diri pada siapa saja
lalu tiba zaman malaise, semua alami pailit
Atmo Gundu hidupnya tercelurit
orang-orang memanggilnya si Atmo Klungsu
Bogor, Oktober 2001
188
Di antara Dua Pertanyaan
dari mana awal doa anak manusia
apa beda perang di barat dan perang di timur
seorang petinggi berpikir sepanjang umur
sampai otaknya penuh jamur
Bogor, Oktober 2001
189
Di antara 78 Percakapan
mulut-mulut yang kehilangan suara
tembang-tembang yang kehilangan nada
raga-raga yang kehilangan jiwa
nyawa tersangkut di pohon alpa
siapa bersyair malam-malam
ingatkan zaman tak bertuan
berhala-berhala melibas kebenaran
orang-ramai-ramai dirikan rumah putih
tapi lupa mengisinya dengan doa
78 percakapan hilang makna
lembar gita hanyut di sungai sara
mengalir tak tentu arah
perang pedang tombak panah
ganti diasah
Bogor, Oktober 2001
190
Di antara Tarian Naga
orang-orang yang mengaku anak keelokan
tertawa pongah saksikan naga menari
geraknya bahasa alam
getarkan matahari dan rembulan
naga terus menari tarikan kehidupan
sambil mewartakan irama jagad
orang-orang asyik menipu diri
panjati menara tinggi
tetap merasa paling elok
sementara badai datang dari ufuk barat
seakan tabur kuntum anggrek larat
sebenarnya bentangkan jerat
Bogor, Oktober 2001
191
Di Kaki Gunung
kota meraung
kabarkan pembaruan tak berujung
di kaki gunung perempuan berkidung
ingat tanah perdikan lama
hilang bunga hilang mahkota
konon digadaikan sesiapa
perempuan apungkan segala rasa sakit
kidung merayap serat cahaya
mencari langit leluhurnya
Kaliurang, 2001
192
Ketika Orang Belajar Membaca Angin I
setiap membaca angin
orang-orang kota terbakar kehilangan
aksara, dan lupa cara mengeja kata
mereka menjadi paling dungu di antara
yang lain karena sebelumnya selalu
mereka berkata rumpunnya paling pandai
Bogor, Oktober 2001
193
Ketika Orang Belajar Membaca Angin II
setiap orang di kota terbakar
menjadi miskin di antara anak manusia
dan tak tahu mencari cara penyembuhnya
karena sebelumnya selalu berkata
mereka paling kaya
mereka paling bijak
mengaku leluhurnya bangsa langit
segalanya paling langit
Bogor, Oktober 2001
194
Ketika Orang Belajar Membaca Angin III
dari tahun ke tahun angin tak reda
orang-orang malah bertikai
biarkan rumah agungnya dimakan anai-anai
ketika datang badai pohonan bertumbangan
mereka tumbangkan kejujuran
karena telah begitu dungu
tak bisa lagi bedakan
kebenaran dan keburukan
orang tua sisa peradaban
diam-diam berdoa:
Tuhan, hanya ada dua pilihan
Sadarkan segera
atau hancurkan saja
Bogor, Oktober 2001
195
Ketika Musim Berubah
berwindu kukenal wajah
berwindu kukenal nama
berwindu kukenal tanah
berwindu kukenal sapa
ketika musim berubah
warna pelangi simpan darah
denyut nadi simpan getah
belati di ujung lidah
aku jadi orang asing
di tanah kelahiran
tempat bersemi segala benih
angan, mimpi, harap, asa
urban di tanah baru
orang-orang metamorfose dajal
musim mencari tumbal
aku hanya bisa panggil namamu bapa
Bogor, April 2001
196
Jakarta dan Impian Urban
langitnya sembunyikan bintang-bintang
dari tatapan para urban
laron-laron yang hanguskan diri
untuk lembar mimpi dini hari
terkemas di antara sketsa Semanggi
masa silam terkupas sendiri
sejarah kini keris tanpa melati
sekuntum kebenaran menyatu embun
mimpi membasuh ubun-ubun
angina tak henti berbisik
pada rumput gading
di balik jembatan layang menebing
kehidupan yang meruncing
berapa lama lagi menunggu
sambil berjalan di trotoar musim
sementara kehadirannya
baur antara ragu dan diunggulkan
Jakarta sang pesolek
makin biru lebam
Bogor, April 2001
197
Upacara dalam Kabut
telah dihitung aksara
ha na ca ra ka sejumlah air mata
hujan sempurnakan denyut
pematang basah simpan jejak langkah
padi dan pohon disapa angina
dihitung kembali aksara
da ta sa wa la sejumlah getar rasa
tabir kabut turun lereng Merapi
dalam pa da ja ya nya
urai ma ga ba ta nga
sempurna upacara
letusnya tertunda
Kaliurang, Pebruari 2001
198
Angin-Angin Laut Irian
apa kabar lelakiku dari Sentani
Yan Yapo, Yan Yapo, kupanggil kau
lewat angin-angin laut Irian
benarkah kini kau semakin tua
tak kuat lagi menokok sagu
sambil menggendong anakmu
apa kabar perisai langit dari Sentani
bintang kejora pasang di sana
di bendera bikin masalah ternyata
berapa lama musim kita
dinodai mosaik utopia
gunung datar hutan gundul
debu menerpa Yamdena
kau tangisi saat purnama
kalam semesta tak lagi menyairkan
keindahan bumimu kau banggakan
padaku di tanah barat
duka itu terlalu berat
bagi jiwa sederhana
Yan Yapo, Yan Yapo, lelakiku dari Sentani
lalu kau marah pada angin
lalu kau nangis pada laut
Irian gemetar
kau terkapar
Bogor, Nopember 2000
199
Pada Sebuah Saung
Saung tua sepi dari sapa
Sembunyi di tepinya Cisarua
memunggungi matahari pagi
seakan bangkit dan berjiwa
dari diamnya diam
mendekap jiwa kembara
tembangkan sari kehidupan
menyatu dalam aura pagi
bahasanya telah kumengerti
saung tua sepi dari sapa
saksi sebuah kejayaan
saksi sebuah keruntuhan
saksi sebuah keteduhan
saksi zaman tak bertuan
menatap beburung menggaris gerimis
sementara kabut melayang rendah
lewati bukit hijau Cisarua
saat siang tepis pagi dan matahari
kehadiranmu pagi-pagi
silaturahmi tak bertepi
menembus abad dan kurun
dua jiwa bersapa di sepi Cisarua
bisik saung dalam udara menggigil
Cisarua, Oktober 2000
200
Menyimak Perilaku Arimbi
Arimbi merasakan keteduhan
putri lestari batu beningnya kalbu
ketika diakui dan didoakan
ditembangkan dalam jiwa
gurit ketawang puspawarna
rembulan turun di dada
purnamanya membias terang buana
gelap sirna Arimbi jadi bayangnya
fajar menyapa sisa malam
diam-diam diikhlaskan
rembulan memucat di langit Barat
pagi semburat
mengantar beburung kecil menyapa alam
kemuning dan angsoka
bercengkerama
Arimbi terus menembang
sempurna dalam bayang
perempuan-perempuan mencari jejaknya
dalam sisa bias purnama
Arimbi menyatu dalam nafas mereka
Cisarua, Oktober 2000
201
Sajak Orang Muda dari Takengon
orang muda dari Takengon
jiwanya kini sarang tawon
madu telah mongereng
oleh asap dan desing mimis
sisakan warna coklat simpan kiamat
orang muda dari Takengon
menari tarian sukma
rembulan bersinar sepi
cahaya temaram mengusik lahan mati
tanah leluhur simpan hari lusa
ditinggalkan pergi mengungsi
sementara amunisi
gantikan gerak seudati
orang muda dari Takengon
orang sederhana di kampung tua
orang muda banyak kehilangan
jeritnya gemerincing rencong
keluhnya desau angin lahan kosong
Bogor, September 2000
202
Dongeng di antara Dongeng
Orang-orang yang telah bosan air mata
orang-orang yang telah bosan terluka
merindukan dongeng masa kecilnya
merindukan kata-kata menari
sambil mengusung makna
dan semua harap tak ada yang abu
dan semua mimpi tak ada yang duri
lamanya memintal nadi sendiri
sementara kerakusan dituankan
Telah dibiarkan berwindu-windu
susuri siang rayapi malam
dongeng angka-angka
dongeng cara-cara
menuai gerimis mencari padi
menuai dusta mencari doa
tak pernah lagi dinikmati
dongeng masa kecil itu
orang-orang membatukan hati
Bogor, September 2000
203
Renungan Tua I
laut temaram
muram di bawah hujan
perahu sepi
mengapung sendiri
jauh pesisir
dari taksir
ada yang menggelepar
di kota bandar
sementara semak bakau
hilang dari rawa pesisir
saat pulau kecil hendak dilangsir
renungan bencana
laut dan darat sepi
telah diminum air kembang waru
telah dikulum daun dewa
sepotong kayu manis dan buah pala
cengkeh tujuh biji pengharum aroma
telah dilantunkan doa-doa
sampai semarak kata di para-para
kursi semakin rapuh
dari subuh ke subuh
alam semesta yang ibu
telah menghukum pelanggar tabu
renungan mengabu
Bogor, September 2000
204
Renungan Tua II
umur-umur terus bergulir
mengantar jaman anyir
orang-orang merunduk pada sang pandir
jaman telah berubah
bendera dalam jiwa berwarna putih merah
o, kini gaman mencari tuannya
tiap mimis jadi bumerang
mengirim tangis jadi gerimis
tanah perdikan semakin amis
tersandar di ruang kosong doa kepompong
kota-kota semakin gaduh
jiwa-jiwa semakin melempuh
seorang perempuan sisa peradaban
menimang bayi kering di pangkuan
tembangnya mengiris sisa rembulan
beraksi dalam hati bergerigi
ada harap tak sembunyi dari pijar
ada mimpi tak berhenti dari fajar
sementara peradaban mencari muara
perlahan menuju arah balik purba
Bogor, September 2000
205
Partitur I
Jentera waktu
tengarai akhir abad
telah uban tembang zaman
orang-orang mulai tabur benih
di tanah perdikan ini
tumbuh pohon-pohon pengharapan
dalam sentuh angin sepanjang musim
Jentera waktu
diputar tangan-tangan ghaib
orang-orang terpana
mengejar waktu
menarikan kehidupan
206
Partitur II
Siapakah meniup seruling
di bawah terang rembulan
bangunkan para penabur benih
mengajarkan kesabaran
mengajarkan hitung musim
mengajarkan catat waktu
mengajarkan berani menunggu
Siapakah nembang pesisiran
saat embun mulai luruh
bendera lembab di puncak tiang
Siapakah nembang ketawangan
mengajarkan doa purba
mengajarkan cinta semesta
Bogor, September 2000
207
Yang Memanggil I
Seorang prajurit tua
memanggil setiap nama
orang-orang urban
orang-orang musiman
orang-orang mimbar
suarakan mimpi masa datang
bendera belum diturunkan
dan aku memanggil namamu
anak wayang
anak lenong
anak jalanan
tembangkan irama perjalanan
dalam gambang kromong
dan dolanan
dalam gambuh
dan ketawangan
Bogor, September 2000
208
Yang Memanggil II
Sepanjang subuh sampai menuju lohor
sepanjang lohor menuju magrib
siang diam-diam menuju malam
malam diam-diam menuju pagi
Ombak-ombak kepulauan seribu
basahi pantai dan jiwamu
yang terus menghela beban
yang tak pernah henti berjalan
membiarkan angin
berdesir di pesisir
membiarkan panen ikan
di laut mimpi
Bogor, September 2000
209
Episoda Musim
Pada suatu musim tak bertanda
seorang tua sisa peradaban
bercerita pada manusia pertama
yang lahir pada era ‘golden nebula’
tentang sebuah episoda
negeri semut hitam
: ada untai merjan terburai
segala sulit diurai
bermula dari
yang lurus dibengkokkan
yang bengkok diluruskan
yang benar dihapuskan
yang hapus dibenarkan
lalu api dan darah
membuat musim
Bogor, September 2000
210
Pada Sebuah Episoda
Manusia menghela sejarah
mengubahnya dari windu ke windu
mengkhianati sang waktu
diam-diam menanam benih dosa
ketika musim menebar anyir darah
keajaiban terjadi
negeri melati penuh suara lenguh sapi
mengantar lahirnya dajjal-dajjal
menarikan kepongahan
sambil menepis tembang rembulan
tak henti mencaci matahari
mengubah gereja dan mushola
menjadi ladang api
Mereka tumbuh dan terus tumbuh
porak porandakan negeri melati
merabuki semak dendam
membakari sisa harapan
manakala yang lurus selalu dibengkokkan
dengan ciptakan pemahaman baru
yang menyuburkan pengkhianatan
kata-kata berlumur dosa
mengatasnamakan kebenaran
meluncur pada layar-layar kaca
membuat para kawula putus asa
menangisi sisa-sisa peradaban
yang tersangkut dalam impian urban
Bogor, Agustus 2000
211
Gaduh Kota
ketika Kebenaran
bukan lagi kebenaran
karena kebenaran
tak lagi dibenarkan
maka tandailah ya anakku
kegaduhan bukan kegaduhan
kegaduhan jadi pemandangan
kegaduhan bagian kehidupan
kebenaran bukan lagi keindahan
jika kepiawaian bisa buktikan
yang benar bukan benar
karena di kota gaduh
yang tak benar itulah benar
Bogor, Agustus 2000
212
Di Tikungan
Orang-orang pemilik senyum bunga
tiba-tiba hilang kendali
menjadi kepompong tak berjiwa
bergerak tanpa jantung dan kepala
mengiringi tarian iblis
sambil menyabetkan linggis
para kawula menangis
kota pun semakin berubah
jarah dicacah-cacah
karisma mutiara langka itu
di mana hilangnya kini kucari
gagap seorang saksi jaman
meraba dalam kegelapan
sementara galau di timur
resah di tanah barat
membuat harapan masih sekarat
doa terlempar di altar
zikir kemibir di subuh getir
mimis amis tak pilih nyawa
ruh hukum hilang makna
seorang saksi jaman terus mencatat
tangannya gemetaran
di antara para pemerkosa gentayangan
di antara para korban berjatuhan
jaman telah sampai di tikungan
Bogor, Agustus 2000
213
Kaum yang Menuju Tiada
Meninggalkan kota-kota kelahiran
menuju tempat dalam angan
mengusung hanya erang
dan kenangan yang tersisa
tersimpan dalam sarang-sarang angin
untuk berapa musim
siapa sempat menghitung
Orang-orang terus berangkat
menuju tempat dalam mimpi kanaknya
barangkali ada lahan-lahan baru
matahari sempurna
hangati pohonan muda
mekarkan bebunga
janjikan kehidupan
Langit warna perunggu
hisap jiwa
lintasi selat dan laut berkhianat
Bogor, Juli 2000
214
Bunga-Bunga Ungu di Danau Buyan
Yang mencari dermaga
angin dari arah timur danau Buyan
yang mencari bantaran
arus jiwa menyusur jejak leluhur
aku pejalan mencoba membaca warna
aku penabur mencoba membaca lahan
di timur hanya sehampar bunga ungu
danau tua diam kaku
enceng, enceng
hijau ungu
adakah pertanda baru
Bethara Bethari
adakah denyut andika
dalam guritan ini
Bethara Bethari
adakah murka andika
dalam pertanda ini
yang ungu di air
yang merah di tanah
kias kotaku berdarah-darah
Bunga-bunga ungu
di danau Buyan
saksi musim tak bertuan
Bogor, Juli 2000
215
Surat dari Tanah Barat
peradaban tombakkan dera
di antara gelap gulita, Alianca
manakala dajjal muncul tanpa sapa
raungkan getar jahanam
tanah air selalu sisakan kasih
di antara pengkhianatan
bagi orang-orang tersisih
Allianca, Allianca
ilalang hijau muda
nafas meruang dan mewaktu
saat-saat gelar juang
memberi makna kemerdekaan
bumi Loro Sae ditinggalkan purnama
gadis muda membaringkan mimpi
yang diusung dari sungai kering peradaban
di antara derap kaki tak beraturan
di sela tulang rusukmu
zaman ada simpan pedang, Allianca
jangan lupa petik lili putih
dari ladang sukma
di dataran Ermera
buat bersaksi pada Sang Bunda
Bogor, Juli 2000
216
Pesan dari Kota I
Orang-orang menembang
di aula siang itu
lirik lagunya sajak-sajakmu
ada bocah lelap dalam dekap ibunya
ia bernama Fajar Merah
tumbuh subur setiap musim
ia ilalang tanah terbakar
semi menghitung batu jajar
dalam mimpi siangnya
ia melihat kau datang
bawa segala yang ingin dimilikinya
sepatu, buku dan biola
Kau dengarkah
pesannya dalam mimpi siang
di antara desir nafasnya
: berapa musim menanti lagi
Jakarta, TIM, Juli 2000
217
Pesan dari Kota II
Dua perempuan ibu dan anak
berpeluk dan bernyanyi
liriknya tentu kau mengerti
ada kata diulang-diulang
mata mulai buram
lagu masih diteruskan
menyimpan panggilan panjang
di luar, mengalir galau Jakarta
dibawa angina tinggalkan asap
dan kerinduan dua perempuan
dianyam di lima kota
Sudah kupesan kau harus berani
dan tabah, kata sang ibu
yang ditegur tunduk tepekur
kirim sedu sedan padamu
Jakarta, TIM, Juli 2000
218
Yang Tak Pernah Hilang
galau musim tak redam suaranya
hujan dan gempa tak hentikan langkahnya
ada orang-orang terkasih masih menanti
antara cemas dan mengerti
di putaran rembulan dan matahari
kota-kota terbakar
kota-kota dibangun kembali
pasrah pada sang pemberi hidup
bukan berarti ingkari janji
pada jiwa yang bersaksi
sementara musim semakin galau
ada yang selalu menatap ujung lorong
anjing-anjing melolong
lorong masih berujung kosong
tak tahu kapan diri menjadi ‘wong’
kota semakin tua
musim semakin gaduh
ada yang tak pernah hilang
menjadi laras kata malam-malam
menjadi peluru windu-windu
dibalut cinta orang-orang sederhana
Bogor, Juli 2000
219
Sebuah Impian dari Timur
Membawa serangkap nyawa nuju arah timur
mencari dataran di tengah pulau
hasrat berbiak menjadi semak
embun bulir merjan dalam angan
siapa tahu bisa bersahabat dengan zaman
langkah berat
angina tenggara melesat
mengusung sebuah menara air
dan kincir angin dalam mimpi muda
seorang lelaki muda nampak betapa kuat
sementara di mimbar-mimbar kota
para petinggi tak henti pantaskan
fragmen-fragmen tentang angin
bertemperasan tak miliki musim
sampai kapan mimpi masih harus diusung
jiwa tak pernah bertanya laga
hasrat terus tumbuh menyemak
bulir embun terus memerjan
tanah air mirip pasar tiban
Bogor, Juli 2000
220
Cerita dari Kampung Tua
Berapa kali banjir menyapa
berapa kali tanganmu tinju udara
musim tetap porak poranda
Benih-benih ditabur
tak hirau
orang terbahak atau tepekur
tumbuh,tumbuh jika saatnya tumbuh
tak hirau
orang mencaci atau mengaduh
semua sebingkai kenyataan
antara kemarau dan penghujan
dering-dering suara beca
gema dari ucapanmu
yang selalu tak pernah kompromi
selain katamu yang satu itu!
Satu kata yang sangat kuhafal
seperti anak dan istrimu
hafal akan desir kampung tua itu
Bogor, 2000
221
Ruwat Tangis Anak Negeri I
Doa telah dilantunkan
tembang wingit mengantarkan
anak manusia awali langkah pengembaraan
mencari yang harus dicari
menghitung yang harus dihitung
melangkah karena harus melangkah
mengusung karena harus mengusung
berat tak berat sarat tak sarat
menghela beban sepanjang jalan
namun harus diteruskan
Inilah perjalanan luka
inilah perjalanan doa
luka dan doa anak manusia
merah hitam mulai berkelebat
merah hitam hidup berkarat
Utara Selatan Barat dan Timur
Arah pencarian sepanjang umur
di antara cerah di antara mendung
terengah dan tersandung
dibantai dan ditelikung
Bogor, medio 2000
222
Ruwat Tangis Anak Negeri II
Matahari bersinarlah di lengkung dahi
langit wingit berkidunglah di cakrawala hati
anak manusia menangis dalam jiwa
namun tak mengenal kata menyerah
semesta dalam dekapan
menjadi tawa dan tangis
menyatu sudah dalam diri
jiwa dan raga pun teruwat
menyambut peristiwa jagat
Agung agung sarinya agung
yang agung meruang dan meraung
Ho – no – co – ro - ko!
lahir batin tlah tersaksi
segala ontran-ontran dan ‘goro-goro’
segala siksaan dan ‘ngresulo’
pecah ambyar pecah ambyar
mentari redup mentari bersinar
Bogor, medio 2000
223
Episode Mosaik I
sesudah episode kabut
di antara mosaik negeri zamrud
lukiskan nuansa
sejuta makna
engkau mencoba mengeja
di antara alif ba ta
di antara ha na ca ra ka
kini hadir episoda baru
angka-angka menyapamu
dengan bahasanya sendiri
menghitung langkah dan umur
menghitung mawar dan anggur
di antara satu – dua – tiga
di antara eka – sapta – nawa
langkahmu terus berdetak
tinggalkan padang-padang kembara
seiring musim dan desing angin
Bogor, Juli 2000
224
Episode Mosaik II
langkahmu terus berdetak
bahkan ketika kota terbakar
api telah mulai padam
di gedung agung masih ada yang menggeram
namun Allah Maha Rahman
bagimu dihadirkan-Nya taman
sambutlah Karunia
patrikan Bunga Menara
jadi relief dalam jiwa
itulah mahkota kehidupan
kemilau dalam keagungan
nafas taqwamu yang mawar
terus mewangi
dari subuh ke subuh
dari magrib ke magrib
mengendap gemerlap
mengental bak kristal
memutih jadi tasbih
Bogor, Juli 2000
225
Yang Masih Ada
suaranya masih ada
di antara kesiur angin
di pohon kota raya
sesiapa menangkap pesan
terkirim dari liang kerinduan
ya, lama menanam benih
dalam aroma uap plitur
jika terlambat tumbuh
dan tak sempat memetik buah
bukan berarti diri tak pintar
tapi kota tempat bermukim
telah kehilangan musim
seorang sahabat lama
berdoa sambil memandang guguran cemara
bisikkan tentang jaman yang berubah
meski masih ada tangis dan darah
meski orang hilang mimpi
mesik orang hilang bayang
setidaknya ada yang harus ada
Bogor, Juli 2000
226
Bahasa Warna I
menyimak warna
merah hitam
berkelebatan
di tanah jauh
antara rerawa
dan tanah puso
antara puing bencana
dan berita radio
di kawasan timur
antara jamur dan jamur
antara mimpi
dan angka umur
ada doa dalam warna bunga
ruwat tangis anak negari
seperti yang
Andika kehendaki
alam bersaksi
Blitar, Juni 2000
227
Bahasa Warna II
warna-warna berkelebat
mengusap
air mata yang diruwat
amuk di laut amuk di darat
bapa, betapa berat
tapi langkah tak harus henti
windu-windu telah menumpuk
menjadi tugu prasasti
orang masih menunggu
tumpasnya sang kalabendu
orang masih berikrar
meski tanah rengkah
kota terbelah
ada warna hijau hitam merah
orang kukuhkan sumpah
segala jadi menyakitkan
saat ajaran purba
senilai kulit lokan
Blitar, Juni 2000
228
Nasihat Seorang Perempuan Kepada Anaknya
Berburu, ya anakku
sebelum kau diburu
dan terus memburu
walau tak keburu
dan
sebelum mati, ya anakku
matikan yang harus mati
agar kau ingat mati
ketika
kau lapar, ya anakku
makan laparmu sendiri
karena lapar akan memakanmu
jika saat lapar
kau makan orang-orang lapar
kuluruskan keluh kesalmu
tentang bumi yang hijau biru
begini, ya anakku
sepanjang windu
dicangkuli para rakus teknologi
hingga tanah retak
hingga langit koyak
lalu memagut jiwamu
oh, bumi!
Bogor, 2000
229
Di antara Ruang dan Raung
musim meruang
anak manusia meraung
sihir mesiu menggiring picu
sihir darah menggiring cacah
dajjal menabur ajal
rejam menabur dendam
karma bergulir
di kota dan kampung pinggir
di antara ruang
jiwa-jiwa meraung
kota meregang
jiwa hilang kidung
aku masih mencari Tangan-Mu
dekaplah berwindu-windu
jadikan aku bunga putih
yang harumi musim-musim
ubah sihir mesiu jadi bisu
ubah sihir petir jadi cair
dalam Kasih-Mu segalaku mengalir
menjadi arus
tahan gerus
Jakarta, Mei 2000
230
Hari-Hari yang Terulang
kota berubah
menghela sejarah
udara uapkan cecer darah
bumi malu sendiri
sembunyikan benih tumbuhan dosa
karena tak mampu memuaskannya
api membakar diri
orang-orang menanam duri
dalam liang-liang mimpi urban
tumbuh menjadi semak dendam
menepis rembulan
hidup dipenuhi untai janji
tiap musim berlepasan
bayangan orang menjadi dajjal
memangsa yang tak seharusnya
doa terhempas di atap gereja
zikir terinjak di pintu mushola
orang-orang mabuk nikmati racun tuba
lalu berkata sambil melinggis
saudaranya sendiri serupa iblis
kota kian berubah
sejarah dibelah-belah
jiwa dicacah-cacah
Jakarta-TIM, Mei 2000
231
Kudus antara Sejarah dan Legenda
menyisir angin pohonan tua
menghitung jejak abad
yang terbaca
tajuk pengkhianatan
partitur masa silam
sementara bayang menara tak menyapa
saat langkah terhela-hela
lintasi halaman mushola
Tembang kuusung dari Barat
menjadi serat
kota tua mengulang sejarahnya
Kerakusanmu di masa lalu itu Penangsang
abadi menjadi sayatan luka
dan matahari warna saga
sempurnakan dendam Ibuku Njeng Ratu
yang menurut keadilan
dikoyak legenda semena-mena
sementara angin berhembus dari Muria
mengirim sisa parijata
Angin menidurkan kota
orang pun lupa datang lupa dendang
saat sejarah coba kutimang
Kudus, Mei 2000
232
Musim Keenam
hujan siang hujan malam, bapa
menyatu dalam sisa ketegaranku
ketika air mata tak lagi
harus bicara, melainkan
tembang tanah merdeka
di awal musim
dalam pejam kusaksikan
barisan kemamang dan banaspati
memasuki jiwa manusia tersakiti
semesta porak poranda
bencana meraga
Harmoni tlah lama tanpa melati
Jakarta kini belanga didihkan tuba
diam-diam ada yang memanggil namamu
bapa, rindu bunga karisma
mencari kepal tanganmu
adakah kau kenali suaranya?
Jakarta, Juni 2000
233
Catatan dari Rumah Tua
Rumah tua dalam curah sinar mentari
saat pendapa sepi sendiri
simpan air mata hari ini
raga rapuh tanpa keluh
menyapa dalam diam
telah asing meja perjamuan
telah jauh orang-orang berjalan
sebuah janji lama tertinggal
di antara konsep-konsep tak selesai
mengabadikan pantai
dalam bahasa dawai
akankah dibawanya jauh
ke gulung ombak tak tersentuh
yang buihnya selendang putih
Sang Dewi Lanjar
Kusimak Dayang mentari hari ini
sembunyikan bayang Sang Dewi
o, angin lautnya kidung murung
o, dengan aksara apa menata nuansa
yang timbul tenggelam
di dalam ruang dengan mosaik
pantai, kota, trotoar, pelataran
semua memanjang
Tegal, Mei 2000
234
Sajak Jaring 2000
Jaring, jaring, jaringlah Sang Kala
yang coba menjaring aku
karena aku pilih jaring Sang Asih
menjaring bunga suci
di awang uwung jagad sunyi
jaring, jaring, jaringlah Sang Kala
yang coba hitami jalanku
karena aku trus melangkah
menghitung serat dalam darah
menjaring keluguan zaman
Parangtritis, Mei 2000
235
Sajak Pandan Duri
Menyisir siang di pesisir
pandan duri menulisi pasir
mengubah ha na ca ra ka
pencerahan darah
luruskan sejarah
jangan lupakan garismu itu
pesan ghaib
tapak hilang dibasuh ombak
pandan duri menusuki
baringkan janji
di ombak ini
jangan sampai tersentuh petinggi
pandan duri menari
di bawah sengat matahari
Parangtritis, Mei 2000
236
Kidung di Purnama Mei
( Bagi Sang Guru Nurani )
Tiada bunga-bunga ungu wistarias
di hamparan telaga itu, Romo
melainkan gondosuli putih
di hamparan jiwa suwung sekian musim
aromanya mekarkan persahabatan anak manusia
aromanya sebagian kau bawa serta, Romo
sebagian yang tersisa kuabadikan
di antara tiris hujan di teritisan
kampung-kampung jauh di pedalaman
di antara desir pagi langkah-langkah
orang sederhana di gunung dan bukitan
Masih kusimak aksara-aksaramu itu
dalam lembar buku-buku kenangan
semua menyatu dalam purnama Mei
di bukit Selatan saat aku bersaksi
sementara ombak samar jauh di bawah
menyalami malam diam-diam
Romo, kukirim doa dari lubuk jiwa
lewat getar alam semesta
damailah damai di alam keabadian
harumlah harum kasihmu pada sesama
terimalah kidungku menyusuri langit purba
mencari senyuman arifmu jua
Parangtritis, Purnama Mei 2000
237
Sajak Tarian Naga
geliat naga di batas abad
menarikan Semesta-Nya
geliat jiwa di arus jaman
menarikan kehidupan
jaga nafas, langkah, lidah
saat naga sembur nafas api
nafas ke angkasa jadi mega
nafas ke bumi jadi air mengalir
ia mencari orang-orang pandir
salami dengan putih lili dan anyelir
Yogya, Mei 2000
238
Sihir Gendang
gaungnya mengapung
mengarus menggerus
batu dan jeram
di sungai tajam
luka semakin biru lebam
senyum bocah telah terbenam
mengarang di sisa sekam
gendang bertalu garang
anak siapa
tunggang langgang
darah kering
di kaki telanjang
ketika subuh tak juga bangkit
dari langit simpan jerit
bocah tewas sendiri
tersihir menjadi kulit gendang
Bogor, Mei 2000
239
Sihir Seudati 2000
berapa liang luka menjadi peta
mengatup kembali
oleh sihir seudati
rampak gerak dalam satu nafas
warnai jingga di balik rupa pias
terus bermain silang
terus bermain suara
terus bermain angan-angan
Aceh di langit mimpi para petani
berubah warna hari ini
bercak merah di pinggir dusun
dan doa masih disusun
o, anak lelaki Ulebalang mana
tabur mimis di dada saudaranya
seudati, sihirlah lelaki durhaka
Bogor, Mei 2000
240
Merapi Menyatunya Jagad Alit dan Jagad Agung
Datang jauh oleh panggil-Mu
getar jiwa oleh asih-Mu
teduh rasa oleh sapa-Mu
yang kucari Kau tunjukkan
yang kutanya Kau jawabkan
yang kuhitung Kau lengkapkan
yang kuimpi Kau nyatakan
menyatunya jagad alit jagad agung
di perdikan semesta melembayung
tembang sukma bergaung
Jalan mendaki
pendakian mimpi-mimpiku
tarian sacral
sakralnya doa-doaku
rembulan sempurna di puncak malam
di langit wingit lereng giri
rembulan pernah dijanjikan
wanodya mulia di tahun silam
jadi penerang berjalan malam
mereguk tuntas
segelas kasih sayang purba
leluhur di lereng giri
retak bertaut duka sirna
Lereng Merapi, April 2000
241
Merapi dalam Gemercik Sungai Jiwa
Mengusung sendiri tanpa henti
harapan-harapan anak manusia
di musim perbatasan
antara sirnanya Sang Kalabendu
dan hadirnya Sang Kalasuba
doa purba
menyesaki dada yang gambang
menyesaki kepala yang padang perburuan
tembang purba menandai peta
mosaik dan bapang tak lagi maya
Candi putih simpan asih bersaksi
bunga doaku bagi Andika
kupetik dari taman nurani
jagad aroma meniskala
saat seekor ular kecil meluncur
di wajah kolam, kutangkap isyaratnya
jejaknya di air hasratku tak pernah cair
gemercik sungai jiwaku yang berdesir
sentuh panggilan itu
tuntas pemberian itu
mengapung dalam air Merapi
menyatu dalam regukku
awali lengkap langkahku
Lereng Merapi, April 2000
242
Ziarah I
Deru mesin pabrik di pinggir makam
getarkan langit Utara
ekspresi kerakusan
landa tanah ketenangan
nyaris tergusur tanah istirah
jalan raya mengapit makam
doa-doa masih ditata
bunga tabur masih ada
selebihnya diam mengapung
pohon-pohon sonokeling
memayungi jalan setapak
ekspresi ketedukan
yang mulai kucemaskan
Jepara, April 2000
243
Ziarah II
Senyum yang maya rumput ilalang
membawa serta masa silam
di manakah cinta itu bersarang
di pematang berumput
di angin tak lagi lembut
di nisan batu tiga saudara
atau jauh di dasar rasa
ziarah hari ini ziarah kecemasan
ziarah hari ini ziarah pemahaman
ziarah hari ini ziarah kepasrahan
Jepara, April 2000
244
Catatan Sura Hari Ketiga
Hadir dalam tabir kabut
manakala ingatan hanyut ke sungai lumut
bapa sang pengukir jiwa
dengan tatapan maya :
catatlah anak perempuanku
janji harus ditepati
seni harus dipagari
sumpah harus ditatah
tegur sapa bening
menggugah alam hening
Kuhitung doa
dalam untaian kenanga bunga pelataran
di hari ketiga
bulan wingit kita
langit bergetaran
Bogor, April 2000
245
Sura, Episode Merah Hitam
Di bawah kibar sang merah putih
di puncak doa diam
wajahnya simpan pabrik-pabrik
sisa demonstran, sepi suara
langkahnya simpan deru mesin
sisa peradaban yang dipertanyakan
ketika greget luruh
jejak kaki mulai melepuh
ada tanya mulai terhela
lusa milik siapa
Sura wingit menyapa
dalam kelebat warna merah hitam
jiwa gugat dalam diam
windu menjadi sekam
banaspati berubah rupa
wajah siapa
gara-gara di nafasmu
geliat ular di lidahmu
mengakulah di penghujung suara
sementara merah putih diam
Bogor, April 2000
246
Dalam Pengembaraan I
Kembara di padang tak bertuan
tersenyum pada gerimis
tertawa pada topan
sesekali langit mengaguminya
sesekali pelangi mengejeknya
kembara terus berjalan
menghitung bintang-bintang
menyimak pepohon runduk diam
dan rumput santun tanpa tembang
ketika bintang-bintang luruh berjatuhan
dan malam semakin sunyi
di padang tak bertuan
kembara menarikan kehidupan
dalam kegelapan
tersenyum dan tertawa
getarnya sentuh batas rahasia
Bogor, April 2000
247
Dalam Pengembaraan II
Rambut tergerai oleh angin pancaroba
bunga-bunga ditebarkan tanpa suara
batinnya penuh kidung doa
mengapung antara fatamorgana dan realita
kembara kurun menyongsong hari-hari
menghela mimpi berjatuhan di pusara terlupakan
alam semesta betapa mendebarkan
sampai akhirnya ia terlontar
di padang harapan tak bertepi
mencoba bayangkan keindahan
mengapung di udara bernuansa
dalam dekapan ada bunga rahasia
Bogor, April 2000
248
Nuansa Wingit I
Bulan sabit di langit Timur
bersaksi pada fajar
anak manusia berkidung
doa mengapung
tanah jauh terasa sunyi
yang ada
hanya diri
dan Sang Pengasih Sejati
senantiasa mendengar
doa semakin mekar
Bogor, April 2000
249
Nuansa Wingit II
Bulan mati di langit di langit Barat
jiwa mengusung doa sarat
sementara bunga dan sesaji
telah ditata rapi
malam mengalir nuju nadir
ada yang berkenan hadir
sama-sama bersaksi
pada tanah air ini
tentang luka dan air mata
mari hanyutkan segala duka
mari sembuhkan segala luka
mari sambut prasetiaku, bapa
ujung rambut tlah digunting
di air bunga makna tersungging
seribu hari lusa tak kan garing
Jakarta, April 2000
250
Kepada Bung Karno Bunga Sejarah
Bung Karno
dalam getar udara terbakar api berhala
dalam debut ombak samodra
dalam desir nadi anak negeri ya Bapa
kami tangkap isyarat semesta Aku-mu
kami tangkap pesan ghaibmu
Bung Karno
guntur dalam suaramu yang suara Bima
gerak dalam juangmu yang gerak Hanoman
karisma dalam sosokmu yang karisma Krishna
adalah karunia sejarah
daya hidup nagi anak bangsa kenyang derita
Bung Karno
di antara barisan panjang
mengiring siang lewati depan istana
masih setia para cucu Marhaen
masih setia anak-anak Ki Suto Kluthuk
angkat bendera warna sakti
dan kepal tangan ke udara
adalah kami yang selalu seru namamu
Bung Karno, kami ada Bung!
Bung Karno, kami tak henti Bung!
zaman telah berubah
mekar kembali bunga sejarah
Bogor, 2000
251
Antara Tragedi dan Parodi I
dalam langkah mencari
antara dua gunung
orang-orang bingung
orang-orang yang mbilung
orang-orang yang limbung
menjadi ulat jedung
dalam suara ribut
antara kubu-kubu
orang-orang lupa
bening danau-Nya
teduh rembulan-Nya
hangat mentari-Nya
dalam sengit berebut
antara badai kemelut
orang-orang hilang pemahaman
yang gila itu waras
ywang waras itu gila
sementara negeri bunga
disebut kini negeri prahara
di rumah-rumah orang berbantah
di jalan kota orang usung bara
menyalakan api di dada-dada
Bogor, Maret 2000
252
Antara Tragedi dan Parodi II
perempuan-perempuan elok
yang duduk tenang di rumah atap cendawan
intannya sebesar kenong
tapi jiwanya kosong
jadi tak beda
dengan si meong
saat kampung-kampung basah
dipenuhi garong
saat kebijaksanaan baru
tetap kirim saudara-saudaranya
ke tanah seberang
untuk menjadi ajang
liur-liur tak bertuan
perempuan-perempuan elok
suaranya lenyap
didalam gedung anggun
perjuangan itu dimana
kalian sembunyikan
teriak parau mereka yang di jalanan
Bogor, Maret 2000
253
Mendut, Episode Hujan
Iramanya getir kumitir
membuat rasa ketar ketir
tentang merjan tersembunyi
di balik tetes misteri
bergetaran
damen-damen diikatkan
pada pohon-pohon yang diam
sementara nada-nada menyayat
udara basah jiwa resah
Episoda hujan maret
selalu mengusung kemurungan purba
di antara tembang dan guritan
yang mengusapi rumput halaman
semangat wong Wetan itu
yang hela obsesi lugu
hasrat meraih masa depan
dan mimpi sederhana
jadi kenyataan
setumpuk perjuangan
Mendut, Maret 2000
254
Tembang Kali Code
Menyapa sang kalasuba
di akhir musim ngusung mimpi
anak negeri kehilangan matahari
episode emas hanyut dalam arus
darah, hitam merah hitam merah
Menyapa sang kalasuba
pernah janjikan mutiara naga
lewat pesan tabib perempuan Indian tua
kubasuhlah segala luka darah
dengan tetesan embun iman
Subuh lewat
zuhur lewat
as’ar lewat
magrib lewat
isya’ lewat
hening malam pun tiba
Musim merentang waktu
padang rumput tlah berbatu
lereng berkabut tlah berlumut
ruang dan waktu selembar langit
aku terdiam lama di bantaran Code
Yogya, Pebruari 2000
255
Tembang Babak Salu
adalah sang babak salu kaki seibu
merayapi liang berulang
menunggu lewat manusia alpa
yang hatinya berbulu
manakala negeri melati
prahara mengiring orang mati
sementara yang hilang tak kembali
adalah sang babak salu kaki sepasang
melenggok di musim jalang
dalam jiwa manusia dungu
selalu mimpi jadi ratu
aku pun jadi gagu
hidup ibarat lintasi titian
lalu sibuk dan lupa panggilan
sirnakan bulu di hati
matikan sang babak salu
agar jiwa tentram rahayu
Bogor, Pebruari 2000
256
Perempuan dan Anak Sang Waktu
Pagi,
perempuan menyisir serat kabut
setelah doa subuh dirunut
menghitung sisa bintang
harap sandar perahu mayang
di beranda ia
mengetuki dada
masihkah sisa detaknya
buat sambut anak waktu yang lelaki
yang datang di kelak hari
Senja,
perempuan menyisir desau angin
pohonan pun malu pada akarnya
mandang perempuan sungguh setia
menanti tak jemu sang putera
di bawah langit ia
nunggu magrib tiba
di celah azan selalu merupa
bayang-bayang anak lanang
cucu Adam tersayang
Dulu,
pernah berjani di musim padi
akan berbakti sampai mati
pada bunda bestari
sesudah lelah arungi samudera
berpacu dengan sang bagaskara
Bogor, Pebruari 2000
257
Menanti Janji Sang Kalasuba
sang kalasuba kusapa
usunglah janji purba
tentang makna
tersirat dalam nuansa
kehadiranmu
kini jaman tlah berganti
anak manusia menanti
serat kabut dihitungnya
butir embun ditampungnya
rembuan ditimangnya
matahari disalami
darah tlah tumpah
di mana-mana sumpah serapah
tapi aku masih nembang
menanti janji sang
o, prahara surutlah jadi nuansa
o, badai surutlah jadi angin derai
adalah janji sang kalasuba
daya bunga dalam rasa
hidup tanpa luka
Bogor, Pebruari 2000
258
Sajak Jika
jika tak bisa sejiwa
jika tak bisa serasa
jika tak bisa seirama
jika tak bisa sewarna
kesendirian adakah
padang bunga bagi kembara
telaga hutan bagi perenung
teluk senja bagi pecinta nuansa
jika sebuah kehadiran
hanya keluhan
hanya cela
hanya belenggu
hanya luka
hanya rasa sakit
bepergian adakah
mara kebebasan
beningnya tembang
panorama keindahan
relung kenikmatan
Bogor, Januari 2000
259
Mendengar Suara
Hujan, angin, gisik, gunung, t’lah bersaksi
saat mengeluh tanpa aksara untuk kata
saat menangis tanpa suara untuk nada
o, jaman edan sesungguhnya t’lah memangsa
aku terdepak
dalam gejolak negeri koyak
aku terbadik
dalam galau negeri tercabik
mengusung keranda angan-angan tak lagi jaman
menembang di beranda berangin tak lagi ingin
Kalinyamat kutelusuri gaung semangat abad
penyembuh segala luka terbabat
lalu kudengar suara bapa angkasa:
dhuh, angger, puteraku
jangan sira mengeluh slalu
walau hidup ini berat
jika slalu ingat bertobat
kelak nanti kan diruwat
Bogor, akhir 1999
260
Kepada Keangkuhan
Tak kau dengar, sudah
tak kau sapa, sudah
tak kau beri, sudah
bagaimana mungkin kubilang; ya sudah!
Kau rantai lidah jiwaku, sudah
kau bantai getar sukmaku, sudah
kau renggut ronce harapku, sudah
dalam galau lubang luluk
dalam galau beras ditampi
aku bayang-bayang yang terpuruk
aku sosok tumbal sakethi*)
Bogor, akhir 1999
*) sakethi merupakan sebutan bilangan 40
261
Pada Selayar Kaca
diusungnya nuansa-nuansa
musim menuju windu
abad menuju alaf
mata raga terpaku
mata jiwa terpana
di penghujung tahun sengkala
diejeknya iblis yang nganggur
jadi buih tahun penuh tawur
tanpa kertarajasa tertelikung
suara-suara terus mengapung
iringi abad yang menikung
sesorot pandang redup
suara getarkan sukma
menombak pengkhianatan
atas nama kemerdekaan
wong pinggiran duduk bersila
memandangi layar kaca
rindunya memerciki udara
pada karisma sang raja
siang malam diimpikan
selayar kaca dilipat diam-diam
diusung ke ujung malam kembara
Bogor, Desember 1999
262
Monolog Bagi Sang Raja
Sesungguh-sungguhnya raja
Raja di singgasana
Raja di mimbar kaca
Raja di ruang jiwa
Kawula yang ditelikung papa
Aksara dalam suara
Tiada yang ragukan
Getarnya sampai ke jalan-jalan
Sentuh lurung-lurung padesan
Disapanya elang kehidupan
Terbang di langit pengharapan
O, sarinya geguritan
Menghantar angin zaman
Desirnya pembaruan
Hembusnya perubahan
Ia yang simpan cahaya di dada
Terangi senyum kawula
Raja harapanmu
Raja kesetiaanmu
Raja penantianmu
Raja pada langkah
Raja pada arah
Raja pada doa
Kawula yang tersia
Bogor, Desember 1999
263
Catatan Nopember 1999
Daun mahomi nerguguran di trotoar
angin menerpa pagar
hiruk-pikuk di kota-kota
menghela waktu
impian para urban
yang slalu ditinggalkan jaman
Menyimak ragam pengkhianatan
yang akhirnya jadi catatan
aku pejalan hitung jejak sendiri
dalam kabut misteri
kalabendu tebar api
kalabendu koyak negri
Masih aku nembang tiap petang
manggil ruh kalasuba
jangan biarkan bunga mengering
di celah batu
tempat sandar bayangku
tempat gigil panggilku
Bogor, Nopember 1999
264
Fragmen Berikutnya
Di kota tak ada yang berubah
kabut dan embun di kaki bukit
pemetang-pemetang memanjang
angin desirkan padang ilalang
simpan seluruh kisah lama
dari generasi ke generasi
sampai hari ini
musim-musim berganti
petinggi datang dan pergi
sebentar dipuji sebentar dicaci
jarum waktu lepas dari porosnya
merjan urai dari rangkaian
sejarah lipatan peristiwa
yang diabadikan kata orang
sesuai pesan kekuasaan
Anakku semakin dewasa
berulang pergi ngembara
ikuti greget jiwa merdeka
aku masih nunggu angin bersarang
langit pun layar yang sepi
rembulan hilang dari edarnya
sebuah jeritan panjang
dan berita pun abu
Bogor, Nopember 1999
265
Doa seorang Lelaki Kepada Pengantinnya
di antara deru derap para demnstran
dan gejolak murka amuk masa
kurangkai doa purba
tentang karunia
dalam improvisasi waktu
pengantinku
kusimak untai melati di lehermu
kuresapi senyum teduh utuh
redam lidah-lidah api
membakar musim membakar diri
sebuah doa memanik di altar jiwa
genggam tangan genggam jemari
genggam rasa genggam asa
menunggal oleh-Nya
di antara langkah-langkah nada-nada
dan raungan luka di jalan raya
kurangkai doa purba
atas nama cinta
dalam geliat pergantian jaman
Bogor, Nopember 1999
266
Tembang Tombong-Tombong
tombong-tombong setia menunggu
di Wenco ada bahasa ladang
di Wenco ada senandung garam
di Wenco ada asin perkawinan
marak musim
marak hari
marak mimpi
mimpi lelaki ladang garam
mimpi perempuan di pematang
kalau saja tanah merdeka tanpa noda
caping runcing ganti mahkota
Bogor, Oktober 1999
267
Menyimak Diam
diam yang bukan sembarang diam
diam yang bukan berarti sarang
adalah diam yang sekan waktu
adalah diam yang induknya diam
membuat suaraku terdiam
menunggu urainya diam
agar aku tak lagi diam
agar tak hanya memendam diam
agar tak hanya mengipas diam
sementara sungguh kurindukan
gemuruh lautmu
gemuruh sungaimu
gemuruh telagamu
sebelum titik beku
diam itu simpan badaikah
diam itu simpan sansaikah
diam itu simpan dayakah
diam itu simpan arifkah
Bogor, Oktober 1999
268
Pada Sebuah Tifa
langkah-langkah bergegas
di antara geriap cemas
sebuah tifa sembunyikan rasa
tertinggal di dilli tua
kenangan berbaringlah
manusia bertumpuk
senyum dan nyanyi lama telah remuk
sapa dan tari tlah pula ditekuk
mimpi anak-anak membubuk
langkah-langkah berpacu
udara berdebu
sebuah tifa diraih sepi
menangisi si tua dilli
Komoro tinggalah luka diri
Bogor, Oktober 1999
269
Amsal Suara I
apungkan hening harmoni
usung nuansa indrawi
puja puji pada Ilahi
jika disuarakan lembut
mengalir dari lubuk nurani
manakala mentari muda
membersit hiasi bumi raya
Bogor, Oktober 1999
270
Amsal Suara II
raungkan sakitnya luka jahanam
usung duka sungkawa
anak zaman
geriap ratap sepanjang warsa
jika diiringi darah di jalan raya
lalu menangis
jiwa
di makam saudara juang
manakala mentari menyala
di langit jelaga dan dada nganga
Bogor, Oktober 1999
271
Amsal Suara III
tuangkan hasrat perubahan
usung harapan putih masa depan
saat bangsa tercabik oleh intrik
o, teganya seseorang masih mengancam
ingkari tuntutan zaman
manakala korban tlah berjatuhan
suaranya itu sungguh pengkhianatan
Bogor, Oktober 1999
272
Sajak tentang Batu-Batu
gunung batu diratakan
jiwa batu dituangkan
gaman batu dituahkan
gunung batu diratakan
mata batu dinyalangkan
lubang batu dinyalakan
langit dan bumi meronta
senada tembang duka
di ujung Tasikmalaya
Tasikmalaya, September 1999
273
Catatan Peluru
Sebutir peluru mendesing dari
laras jiwa durjana, seiring
hadirnya tahun sengkala
dipicu dendam sang berhala
merobek getar udara Jakarta
mencacah asap amuk senja
sebelum akhirnya menerjang dada
seorang anak manusia, yang
di jantungnya tumbuh bunga
Sebutir peluru terkirim dari
liang keangkuhan yang
tak pernah mau simak bahasa alam
menagih darah anak zaman
dihantar jelaga sisa iman
sementara perubahan sedang dipejuangkan
berhala raungkan ujud perilaku darah
orang-orang pencari makna
kemerdekaan, dihalau mirip hewan
Hai langit bersaksi, kutagih janji suci
tentang batas akhir angkara ini
hai bumi bersaksi, kutagih janji darah
tentang para pengusung serakah
hai jalan raya telah berlubang-lubang
dan dada telah berliang-liang
bersihkan tanah leluhurku sekarang
dari pengkhianatan dan sejarah hutang
pengorbanan kan sia-sia jika tetua behala
Bogor, September 1999
274
Sajak tentang Pikiran
Bougenvil jingga
menjulur suka
menyapa jalan raya
sementara resah jiwa
memikir sikecil Asyifa
mutiara karunia
Yang Maha Kuasa
Sepotong doa purba
seorang Indian tua
mengkristal nyata
di jantung Asyifa
janjikan pengembaraan indah
tembus ruang dan waktu
saat kau sebut : Ibu
Tasikmalaya, September 1999
275
Catatan Darah dan Api
Belum kering air mata
belum hapus darah di jalan raya
belum layu kiriman bunga
dalam nuansa duka Jakarta
Semanggi kembali bersimbah darah
Semanggi kembali ditandai api
ontran-ontran melanda jiwa
ontran-ontran melanda kota
Kesombongan paripurna
senantiasa meminta korban
bunga-bunga masa depan
sementara di gedung agung
sebuah partitur masa depan
di ujung palu yang diketukkan
Di Semanggi kenangan panjang
dalam setumpuk kembang
ada catatan sebuah nama
Yun Hap orang muda pemutus mitos
hari ini menjadi granit
tulis sejarah baru di langit
September 1999
276
Di Antara
Kembali kesini
mencari prasasti
yang tersisa hari ini
gelora masih ada
di dalam rumah jiwa
di luarnya janji alpa
telaga semakin nganga
menelan tuntas
mimpi kandas
orang-orang bergegas
di jalan raya
orang muda lukisi langit getir
detik mengalir
lalu mendekapi pohon hayat
sambil bincang metafisika
coba petik cinta semesta
Mengakhiri dini hari
jaga sadar jagad diri
jelang Tugu Proklamasi
Agustus 1999
277
Catatan Juli 99
semua orang merasa
harus mencari
harus menemukan
dalam gelar
dalam getar
dalam onar
hari-hari baru
warna-warna baru
terus diimpikan
dalam lorong labirin kehidupan
siapa menandai siapa
telah dieja kata-kata
tak mampu mengusung makna
berhala masih tertawa
hujan di jalan kota
hujan di dalam jiwa
Juli 1999
278
Abstraksi Pasca
ada yang diam-diam tertawa
bagaimana hasrat satu jiwa
sedang baca tak satu kata
mau buktinya
ada pasca ada paska
getar nafasnya lain
ini simbol lidah yang lain
kini pasca dan paska
menghela angka-angka
jiwa bisa jadi angkara
lupa diri lupa kawula
hasrat slalu jadi bendara
lupa amsal sejarah
lupa amsal cakra menggilingan
pasca dan paska kini
jadilah jiwa inti
jadilah kaca sejati
Juni 1999
279
Abstraksi Bilik
orang-orang arif mencari amsal
praktisi memberi makna
lima aksara jadi bilik
lima nuansa dari bilik
lima nuansa geliat jiwa
hasrat perubahan
bermula dari bilik
berkembang dari bilik
kemerdekaan pasang sayap
kebebasan rentang urat
bilik telah menjadi
selembar simbol
selembar simbol
telah menjadi bilik
yang signifikan, tanya praktisi
orang-orang bingung kembali
Juni 1999
280
Abstraksi Waktu
gelombang sedang diredam
orang-orang yang pawang
orang-orang yang imam
orang-orang yang bunga
memutar kunci-kunci
menyimak rinci-rinci
di antara doa
waktu bersahabatlah
sang kala istirahatlah
pohon angsana meliuk di angin
trotoar tanpa plastik
awan berlayar di langit
Jakarta
sebuah lukisan maya
sebuah tembang di pinggiran
tidurlah sejenak anakku
menjadi sahabat sang waktu
Juni 1999
281
Abstraksi Jalan Raya
matahari membakar udara
wajah-wajah aneh
berubah topeng-topeng
ekspresi-ekspresi aneh
berubah dungceng-dungceng
mengalir sepanjang siang
hari ke hari
hujan mengguyur kota
orang-orang aneh
menatap udara
sambil mengusap wajah
berteriak parau
sambil menyebut
sebuah nama
antara panas dan hujan
langkah-langkah sepanjang jalan
bunga-bunga di tangan
mengulur salam
orang muda
lahir dari segala pasca
mengusung beban dunia
Juni 1999
282
Abstraksi Mimbar
lebih banyak kata
diperlukan
agar mimbar
menjadi mawar
lebih banyak janji
perlu ditepati
agar mimbar
bukan peti
wajah-wajah berlintasan
tangan-tangan diacungkan
kebenaran disembunyikan
mimbar menjadi waktu menunggu
mimbar menjadi angka di peta
lebih banyak cinta
diperlukan
agar mimbar
bukan gambar
lebih banyak setia
perlu ditata
agar mimbar
bukan petaka
Juni 1999
283
Zaman Edan 99
O zaman, yang
berjalan di atas zaman
ketika
hati sulit menjadi taman
ketika
nadi sulit menjadi urat pelangi
kabarkanlah pada dunia
saudaraku
di bumi masih ada mahkota
iman dan taqwa
O zaman, yang
berlaga di atas zaman
ketika
segala diputar balikkan
ketika
aksara tak bisa diucapkan
kabarkanlah pada Tuhan
saudaraku
di bumi masih ada durhaka
dan segala rupa berhala
Juni 1999
284
Nyanyian Spanduk di Salemba
ada orasi hari ini
ada gelar ekspresi di sini
tak ada peluru nyasar
tak ada jaket berdarah
hari ini
selain nyala jiwa
salemba simbar dada
spanduk-spanduk melambai
orang-orang trotoar
tirani tirani tirani
pekik sebuah hati
dari celah spanduk di gapura
elegi elegi elegi
spanduk menyahuti
spanduk dan hati bernyanyi
ada orasi hari ini
ada nyanyian hari ini
ada tirani mati hari ini
ada tirani baru hari ini
ada aku hari ini
ada sebuah hati hari ini
Mei 1999
285
Amsal Burung
beburung pagi
melintas-lintas di langit mendung
pucuk cemara
bersaksi murung
saat lotus putih mekar
tujuh kuntum di jambangan
jiwa kekidungan
Tuhan telah hadirkan
panorama sederhana
buat titah-Nya
yang tak henti berjalan
yang henti mencari
di telatah Timur
beburung pagi menjawab tanya
dengan caranya sendiri
gelar jagad alitmu
satukan dengan jagad besar-Nya
gelar mosaik jiwamu
satukan dengan mosaik-nya
Taman Budaya Solo, April 1999
286
Amsal Gua
kukidungkan desir kehidupan
mengapung di gelap gua
dalam tetes ritmis
antara stalagtit stalagmit
teduh jiwa teduh
gaduh sirna gaduh
simpan tembang masa silam
abadi dalam lengkungan
simpan doa purba
dalam aroma angsoka
di sini tiada siang tiada malam
di sini hadirku bayang-bayang
wanodya mulia
pernah meraga sebentuk mega
manakala rembulan empat belas
hari ini kusentuh batu semadi
dengan kidungku
sentuh gua nuranimu
siang menjelang sura
gua satukan sapa
Gua Tabuhan-Pacitan, April 1999
287
Amsal Kelapa
seberat-berat derita
adalah derita pohon kelapa
seluruh lakon adalah luka
tapi ikhlas jua
saat dipetik dijatuhkan
saat dikupas tersakitkan
saat disantan diperaskan
saat tuk minyak dipanaskan
sampai akhir kisah nama pun
bukan mengusung kata kelapa
berada antara
takdir dan kodrat
dekaplah pohon hayat
jiwa putih tanpa ulat
saat gabah desir ditampi
kau bahkan diberkahi
pohon kelapa meditasi di pendapa
perempuan meditasi dalam jiwa
Wisma Seni-Solo, April 1999
288
Pada Sebuah Teluk I
ombak barisan
menyapa siang
pantai Pacitan nunggu persembahan
ada yang selaras
ada yang terlepas
segala baur
dalam suara debur
di langit mentari temaram
di pantai hidup dilukiskan
anak manusia melabuh
debu jiwa raga
di alun ombak segara
mawar merah melati suci
persembahan ditengarai
ombak barisan
menyapa siang
bening di kalbu hening di awang-awang
Pacitan, April 1999
289
Pada Sebuah Teluk II
matahari putih terang
menyiram laut dan kehidupan
anak manusia menyusur pantai
tinggalkan jejak di pasir
bayangannya memanjang
lidah ombak menyalam
mereka bertegur sapa
dalam bahasa jiwa
aki nyai penunggu gisik ini
sempurnakan tembang pagiku
sebelum lepas dari ujung lidahku
seekor capung laut dikirimnya
terbang di atas ombak
menuju barat
adakah diusungnya
mimpiku kian sarat
tentang perubahan nagari
segalanya tengah disiapkan
ubarampe ‘tuk nanti malam
Pacitan, April 1999
290
Bendera di Kota-kota
Mosaik warna
mosaik rasa
mosaik daya
kota-kota tertawa
anak manusia simpan bara
hujan dan angin
bebaskan sekap ingin
telah terlalu lama
merindukannya
bagai meregang nyawa
seorang lelaki muda berseru
kota-kota terbahak
jiwa menggelegak
panas dan debu
bebaskan sisa ragu
Mosaik daya
mosaik rasa
mosaik warna
April 1999
291
Abstraksi Bunderan HI
orang-orang berbincang
kesadaran dibangkitkan
dari satu kehilangan
teramat panjang
waktu melupakan
orang-orang saling pandang
mencari miliknya
yang hilang
kami bukan yang terasing
serunya berdesing
di plaza merah
penari-penari gunung panas
menarikan zaman
yang kian beringas
ada yang sedang dikemas
dari kertas-kertas
meski tak pernah tuntas
dengar suara perempuan dusun
sesaat menjadi anggun
perempuan nusantara
Maret 1999
292
Gelisah Alam
gelisahmu gelisah kota
gelisahmu gelisah musim
gelisahmu gelisah jiwa
orang-orang mengusung gelisan
dari rumah-rumah
dari sawah-sawah
dari sampah-sampah
gelisah diterawangkan
arah matahari
sambil coba mengeja
aksara jadi kawi
gelisah alam baca dalam hening
saat malam harum kemuning
saat jiwa dalam bening
Pebruari 1999
293
Jakarta Januari
Macan api masih menari
di langit di bumi
macan api masih beringas
mencengkeram kota panas
ternyata
hari ini masih sama
lusa masih maya
bius-bius mimpi
membuai kewarasan
buih-buih janji
ditampung hujan januari
Jakarta
Selamat tahun baru
Jakarta
Kita bukan seteru
Jakarta
Januari 1999
294
Revitalisasi Sebuah Kutukan
Sebuah istana dunia
yang telah membuat garisnya sendiri
pada hitungan tiga kobaran agni
di Sanur-nya Bali
adakah kutukan bangkit
setelah luka membantu
sekian windu
di palung jiwa anak sang empu
purnama-purnama telah tenggelam
di hitungan busur malam
masih kukenang
di Sanur sebuah jiwa mengenang
Bali-ku hilang
dalam tariaan ganggang
tersisa dalam sekeping kulit kerang pecah
tinggalkan sentuhan darah
di pesisir siang-siang
Sebuah kutukan lewat
di mega dan langkah penat
saat penjor-penjor diam kalu
saat seorang anak manusia
tusukkan perang kata
di dada pejalan sederhana
setiba di Bali kali pertama
Sanur, 1998
295
Terlahir Kembali
Aku pematung kehilangan pethel
tak bisa lagi membuat keindahan
awali pengembaraan panjang
mencari kayu buat hulu
mencari baja buat mata
Menyusuri abad-abad
bertanya kepada orang-orang
yang masih menyimpan kesucian
dalam rongga kehidupan
mereka selalu garis lingkaran
di udara yang bertuba
Abad-abad mengajari dengan sabar
aku mulai mengeja makna-makna
telah kutemukan ujung kidung
satukan bumi dan langit
dalam putik kalbu yang hanya satu
Menyusuri windu-windu
bertanya kepada para wiku
yang simpan kebeningan
harapan ada dalam dadamu sendiri
kenapa taki henti mencari
Sang Penentu hanya Gusti
Kintamani, 1998
296
Tabir Misteri
Mencoba menghulu waktu
mencari batu dasar
abad yang hilang
kerajaan yang terjaga
oleh cinta dan peradaban
adakah itu Kungkung
adakah itu Karangasem
di awal ceritanya
Raja yang tumpas
permaisuri yang tewas
setelah dayang terkasih
menadah tombak di dada sendiri
di lorong rahasia istana
Denpasar, 1998
297
Episoda Kala
kalamakara
di gapura-gapura
menanti yang alpa
penebus karma
carilah jalan putih
kata orang bijak bertasbih
hanya yang terkasih
dari bencana tersisih
gabah ditampi
zamannya onggo-inggi
perseteruan itu
harus diselesaikan
di antara warna rancangan
di antara kibar lambang
di antara lambai tangan
kembali angka akan bicara
salah satu pasti berhala
mintalah janji Tuhan
yang berhala dijauhkan
Desember ‘98
298
Masih Ada Tembang itu
dalam badai
suara apa bisa dipercaya
dalam hiruk pikuk kota
bicara siapa bisa dipercaya
reruntuhan belum dibangun kembali
simpan erang abadi
perempuan rahim terbelati
dalam badai
telah asing suara diri
dalam galau musim
janji siapa bisa dipatri
di celah gedung tinggi
di balik kampung terbakar
masih ada tembang itu
merayapi debu
mencari ruang sunyimu
jika orang jalanan telah tidur
tembang itu melulur
Desember ‘98
299
Catatan Langkah-Langkah
Berapa langkah hari lalu
berapa langkah hari ini
berapa langkah hari lusa
Di jalan kota ada rajah
di sorot mata ada getah
di batas langit ada sejarah
Terus hitunglah langkahmu
orang trotoar
terus hitunglah jarimu
orang rumah terbakar
di ruas punggung
beban menggunung
Langkah-langkah di Semanggi
langkah-langkah di Senayan
langkah-langkah di Harmoni
langkah-langkah di Ketapang
langkah-langkah trus mencari
garis batas loji tirani
Desember ‘98
300
Parade Mikropon
Mikropon menelan jutaan kata
terlontar dari gusar
terbakar dari daftar
mikropon parade
wakili selalu
mulut-mulut hangat
mulut-mulut manis
mulut-mulut jahat
mulut-mulut amis
Mikropon berparade
kata-kata beraubade
Mikropon tak pecah jua
kata-kata merajalela
O, mikropon negeri
ada jua yang tak mengerti
apa pesanmu hari ini :
kenalilah ulat diri
kenalilah beranda desa
kenalilah koridor kota
kenalilah cakrawala
di sana selalu ada
hukum alam semesta
Desember ‘98
301
Catatan Wajah-Wajah
Ada wajah-wajah
bikin cermin pecah
Ada wajah-wajah
bikin langit berdarah
Ada wajah-wajah
bikin lapar bernanah
Ada wajah-wajah
bikin jiwa tercacah
Ada wajah-wajah
bikin orang bilang : payah !
Wajah di sana-sana
wajah di sini-sini
wajah di koran prima
wajah di televisi
wajah itu bukan aku bukan kamu
wajah itu wajah batu
wajah kutukan Kalabendu
Desember ‘98
302
Ada Getar dalam Tujuh
Getar jiwa di tujuh nuansa
getar harap di tujuh marka
getar suara di tujuh titik kota
Orang-orang berada dalam deru
orang-orang berada dalam waktu
orang-orang berada dalam seru
Ada geram dalam getar
ada peram dalam pijar
ada sekam dalam sasar
Siapa menimpuk matahari
siapa menimpuk rembulan
siapa menimpuk gemintang
siapa menimpuk janji lumutan
Orang yang aku rindu perubahan
orang yang kamu rindu kenyataan
orang yang dia rindu kehidupan
orang yang kita rindu mosaik HAM
Desember ‘98
303
Desember dan Pembuktian
Seorang muda mata binar
dada simpan getar
jiwa tak kenal ingkar
menatap kuat matahari Desember
hari kedua
Kali ini pesan ibu dilompati
untuk sebuah harga diri
dan obsesi hari nanti
di mana-mana masih marak
raungan jiwa yang terkoyak
jangan larang aku, bapak
Ada bendera dan poster
udara harum oliander
hari ini Desember pembuktian
orang muda milik zaman
istana, buka pintumu
sudah lama saat kutunggu
Kepala penuh rencana
dada penuh kata-kata
tangan genggam semangat
istana, bukakan niat
kami bukan pengkhianat
Desember ‘98
304
Desember Hari ke-4
Langkah-langkah terhentilah
Harmoni bersaksilah
orang-orang jiwa kesumba bicara
nafas menyatu dalam angin
suara menyatu dalam udara
tekad menyatu dalam jiwa
Langkah selalu kembali
menuju titik arah
arus sungai Ciliwung pun
menuju ke muara slalu
satunya bahasa alam
satunya bahasa jiwa
Harmoni simpan getar hari ini
Desember muram
mengental dalam seru dalam gumam
siapa mencari genggam
di antara tameng-tameng
siapa mencari salam
di antara senapan
meski di Harmoni tak lagi
keris melati tembang Leo Kristi
selain gelora jiwa dalam orasi
Desember ‘98
305
Doa Awal Desember
Melangkah sepanjang jalan raya
sambil menghitung doa
lagu dinyanyikan masih sama
seruan-seruan tak berbeda
selalu ada dalam pikiran
kekasih yang telah berkorban
sahabat muda bergelimpangan
tekad selalu kuat
hasrat selalu mencuat
satu kata membakar asa
kibar bendera di Cendana
Kaki melepuh
menapak aspal jalanan
langkah diayun
dalam panas dalam hujan
balik arah jangan biarkan
seru sang kawan
lalu bendera ulang dibiarkan
menyapu udara berjelaga
apa yang kau cari di sana
tanya orang-orang di jalan
buktikan praja yang hilang
Desember ‘98
306
Doa Luka Ketapang
Doa belum selesai ditata
nyanyian masih ruang jiwa
luka masih membasah pula
Jakarta radang
Ketapang mega mengambang
anak bermain di jalanan
memburu awan
mengeja-eja impian
Ada yang lepas
dari rangkaian waktu naas
senja panas jiwa telengas
doa hilang tak tuntas
ketika senja menjadi api
membakar sisa doa
membakar sisa luka
anak manusia hilang rupa
Ketapang senja remang
Ketapang November perkabungan
Ketapang mosaik tercabik
Ketapang hilangnya manis persik
November ‘98
307
Orang-Orang Angkuh
dia, dia, dia
tak pernah ucap salam
mulutnya belati siap tikam
tak pernah mengangguk
nafasnya aroma pasar induk
sketsa orang-orang angkuh
jika dia berjalan
kau harus copot kepala
simpan di kantungt celana
jika dia berhenti
kau harus copot kaki
sandarkan di kolong sunyi
dia harus satu-satunya
sketsa orang-orang angkuh
dia, dia, dia
ingin seperti maharani
ingin seperti pendekar sejati
membela bumi pertiwi
sementara kaki injak melati
sketsa orang-orang angkuh
Nopember ‘98
308
Abstraksi Gedung Agung
di dalam gedung agung
suara-suara menjadi gaung
pamornya hilang menjadi mendung
tapi orang-orang yang pesolek
ekspresinya bak wayang golek
terus tertawa dan bertepuk
sementara
di jalanan
di tikungan
di bawah jembatan layang
orang muda anak zaman
berhadapan
tameng dan pentungan
hardik dan senapan
angkasa ya sang bapa
saksi diam saksi luka
bumiku ya sang ibu
saksi diam saksi ngilu
di dalam gedung agung
orang-orang berbangga mimbar
palu mampu hapus
dosa-dosa zamannya
orang-orang di rumah ngurut dada
Gusti tunjukkan keadilan
Nopember ‘98
309
Catatan Nopember di Jalan Imam Bonjol
Trotoar simpan debar
pohonan tua simpan getar
langit Jakarta simpan pijar
dalam seruan
dalam nyanyian
dalam kepal tangan
simpan segala tentang kehidupan
Ketika gelegak jiwa
tak harus membaca nama
sementara di gedung anggun
berhala-berhala masih ada
siapa bisa kirim arus usung sampah janji
kepura-puraan dalam ronce melati
Jika waktu tiba pada saat
orang-orang muda miliknya zaman
orang-orang muda di dadanya api
jika terlalu lama bersaksi-saksi
ada darah menetes ulang
di trotoar dan jalanan
darah yang tak pernah sia-sia
Nopember ‘98
310
Catatan Nopember di Jalan Depan Senayan
Hujan Nopember membasah kota
nafas-nafas panaskan udara
jiwa terapsung berwindu-windu
hasrat mencari pintu
di depan pagar berduri
benteng ciptaan baru
sembunyikan berhala baru
tumbal telah diambil zaman
saat awal pergolakan
seperti dilupakan
demi bingkai-bingkai rekaan
Orang-orang muda penuhi kota
hanya tangan dan hati dibawa
berkawan hujan dan lapar
untuk kebenaran yang dikejar
sampai ke ujung duri mawar
dan api dalam sekam
menghangus luka biru lebam
semua baur dalam kota berjamur
perjuangan dan pengkhianatan
di antara bunyi tembakan
jiwa terkoyak tubuh berjatuhan
Nopember ‘98
311
Bambu Runcing dan Bunga
Dalam dada ada bara
dalam mata ada cinta sesama
dalam tangan ada bunga
di jalan Thamrin Jakarta
Ada bambu runcing nusuki udara
di tugu proklamasi plaza
ujung-ujungnya tak bertuan
berarak-arak di jalanan
o, kenapa menebar tua
kepada bunga-bunga
tahukah, semesta bersaksi
yang tak murni
pada saatnya terkelupas sendiri
zaman sedang berubah
tembangkan syair anggrek dan mawar
pasangi nurani radar
tak acung senjata di jalan raya
semuanya anak bumi merdeka
yang tengah mencari makna
Dalam dada ada bara
dalam mata ada cinta sesama
bunga-bunga di tangan menari
bunga-bunga di hati bersaksi
Nopember ‘98
312
Catatan Ciganjur Tembang Hati yang Peduli
Yang ngalir dari arah mata angin
yang menggenang dari lubuk mata air
tembang hati yang peduli
tembang rasa yang mengerti
bagi yang lama terdera
di pelosok negeri
Harapan dari sisa kenyataan
lama diterpa prahara kehidupan
pungutilah wahai
insan yang diberkahi ketulusan
orang-orang lama menunggu
ikrar prasetiamu itu
Luka sudah menganga
darah sudah tertumpah
kampus sering ditinggalkan
Diikhlaskan sambil cari genggammu
diikhlaskan sambil cari suaramu
lembutkanlah keangkuhan yang batu
Nopember ‘98
313
Ekspresi Bunga di Semanggi
Tujuh hari masih terdengar
pekik dan nyanyianmu
tujuh hari masih terlihat
kepal tangan dan benderamu
tujuh hari semua datang kembali
menabur bunga di Semanggi
Kau lihatlah bersaksilah
mereka menangis dan berdoa
Semanggi bukti kekuatan cinta
bunga tabur luruh disebar
setia bakti mewujud ikrar
ada pendar di wajah-wajah
kenangan rindu dan rasa marah
Bunga-bunga genggam itu
di depan kampus putih diletakkan
seiring gumam doa dilantunkan
getarnya getar
mengalir dari lubuk jiwa
bunganya bunga
mekarnya tak pernah sia-sia
Nopember ‘98
314
Catatan darah dan Api Tragedi Semanggi I
Inspirasi diusung arah semanggi
bendera-bendera menyapu udara
lagu-lagu mengarak senja
seraut wajah merebak basah :
o, Jakarta, o negeri raya
engkau di lembar dada
Dan tangan saling genggam
dan langkah dirapatkan
ah, siapa awali lemparan batu
telah koyak tanda di baju
ah, siapa awali lemparan api
tersulut bara di dalam hati
Asap mulai menggulung senja
Jakarta menangis jiwa muda teriris
di antara desingan mimis
timah jahanam merejam-rejam
luka keji merobek dada
binasa ada di leher dan kepala
O, anak muda pohon trembesi
kau sunting maut dalam bersaksi
November ‘98
315
Di Depan Senayan
Pagar-pagar dipasang
pagar-pagar diroboh ulang
jiwa tak bisa dipagar
merdeka tetap memijar
gedung anggun
ini kami datang kembali
Slalu ada yang bernyanyi
slalu ada yang mencaci
Barisan panjang
mengusung harapan-harapan
setiap hari tak kenal henti
bukti kesetiaan
gedung megah
ini kami sudah marah
Slalu ada yang bernyanyi
slalu ada yang mencaci
kami merasa disisihkan
setelah angkara ditumbangkan
tapi bendera smakin tinggi
dari hari ke hari
November ‘98
316
Amsal Sejarah
Kaji ulang perjalanan panjang
saat saudara senusa
masih terpisah-pisah
terhempas-hempas badai sejarah
kau hadir dari lubuk zaman
menyatukan nada-nada
di bawah kibar satu bendera
maka sejarah adalah:
guru bagi kehidupan
ajaran bagi arah pandang
nafas bagi kebenaran
Saat orang ubah arah
saat garis di bengkokkan
Sang Pencipta meluruskan
lewat getar perjuangan
melubuk dari jiwa anak bunda
mengangin dari seru anak bapa
dan hukum semesta berlakulah
maka sejarah adalah :
neraca kehidupan
antara petik dan tanam
ujud keseimbangan
Oktober ‘98
317
Catatan Oktober I
Kain putih tlah direntang
nama-nama tlah dituliskan
menjadi ombak pada laut
menjadi warna bagi bendera
menjadi pijar pada api
Kami masih bersamamu
lestarikan cinta nusa
sepanjang hayat ya hayat
sepanjang kurun ya kurun
Kami yang lahir dari rahim resah
korban cacah korban jarah
tapi langkah tak pernah henti
batu-batu dasar di tangan kami
sangga-sangga pilar di kaki kami
Pengorbanan yang bertimbun
membuat hidup jadi anggun
sepanjang hayat ya hayat
sepanjang kurun ya kurun
Oktober ‘98
318
Catatan Oktober II
Kucatat kesetiaanmu
tak pernah berubah
pada pertiwi bundamu satu
Bendera tetap melambai
sejak ia dikibarkan
sumpah tetap kukuh
sejak ia diikrarkan
jiwa tetap menyatu
sejak ia dibuhulkan
dalam kebersamaan
pahit getir perjuangan
Luka nganga tanah bunda
kau balut smangat merdeka
tangis menjadi tawa
pulau merjan bertebaran
sepanjang lini katulistiwa
karunia sepanjang masa
Kucatat kesetianmu
tak pernah berubah
pada pertiwi bundamu satu
Oktober ‘98
319
Catatan Oktober III
Lidah api menggaris langit
juang tak tuntas menggaris jiwa
derita terus disuarakan
tuntutan terus dikumandangkan
Hujan Oktober mengguyur kota
poster-poster smarak nyata
jiwa meraung di tempat sama
tepat Hari Sumpah Pemuda
Kusimak geliat murkamu, Jakarta
saat janji-janji dicuatkan
kudengar parau erangmu, Jakarta
saat ‘rang muda rasa terluka
Semua baur semua lebur
dalam warna-warna bendera
selalu akan diulang
selama kota dipenuhi berhala
Jika api dinyalakan
untuk hangati jiwa tertekan
Oktober ‘98
320
Yang Bersaksi
Suara-Mu kah?
Suara-Mu kah?
memanggili namaku
ketika diri bersaksi
di bawah curah hujan
Aku tak kan beranjak
karna telah hilang gagas
kecewa saksikan kiprahmu
memangsa tanah perdikan
memangsa sisa harapan
ketika suaraku parau
serukan jiwa rindu padepokan
telingamu kau tulikan
pandanganmu kau butakan
Aku tetap bersaksi
di bawah matahari
keruntuhan demi keruntuhan
yang sengaja kau ciptakan
sementara musim trus menggilas
September ‘98
321
Yang Mengejawantah
Yang setiap saat
rindu perubahan
yang setiap saat
rindu kepastian
adalah dirimu dari semua
Kehadiranmu
membuat pendusta hilang muka
membuat penipu hilang jalu
Kehadiranmu
mengejawantah gerak dan suara
mengejawantah keringat dan air mata
Engkau ada di mana-mana
di atas bayang di atas bumi
di dalam badai di dalam damai
di dalam luka di dalam asa
di dalam janji di dalam api
September ‘98
322
Tentang Berhala
Di mana-mana
bermunculan berhala
di perkotaan di pedesaan
di kampung malam di real estate
di lembar perjanjian
di lembar kesetiaan
di lembar retorika
jika tengah berjaya
jadi manusia bermahkota
dalam tangan genggam wewenang
jauhkan jiwa dari temaha
jauhkan langkah dari berhala
Selalu berlaku
hukum semesta
hutang nyawa bayar nyawa
hutang wirang bayar wirang
siapa menanam dia memetik
menuai buah pakarti
Gunung longsor laut kering
telah jadi pertanda
wahai pemuja berhala
September ‘98
323
Catatan September, Senayan Minggu Pertama
Ada yang selalu beringas
ada yang selalu tak puas
itu sah dan wajar saja
karna berhala masih tersisa
O, senayan kembali bergetar
bendera-bendera berkibar
suara-suara hingar-bingar
mengusung pesan-pesan
orang-orang yang korban
musim yang rawan
darah bercucuran
sejak Mei pecah oleh bunyi bedil
hari-hari menjadi gigil
Yakinilah :
setelah cermin pecah
anak zaman luruskan sejarah
setelah jembatan runtuh
anak zaman masih utuh
setelah sakit dan luka
anak zaman kibar bendera
jaket-jaket aneka warna
milik anak tanah merdeka
September ‘98
324
Agustus dalam Elegi
seorang perempuan
dengan bendera di pangkuan
terus menulis kata di udara
dengan jemari mulai gemetaran
aku waktu yang tak membaca waktu
aku arus yang tak membaca arus
aku bunga yang tak membaca bunga
aku musim yang tak membaca musim
agustus terus menggerus
jiwa terbakar hangus
tanpa wangi ratus
aku titah tanpa rajah
aku api tanpa cahaya
aku laut tanpa ombak
aku badik tanpa tajam
agustus jadi arus
minuman jadi darah
trotoar jadi getah
seorang perempuan
dengan bendera di pangkuan
terus merasakan kehilangan
saat jemari mulai gemetaran
Bogor, Agustus 1998
325
Tumbal
Anak manusia mencoba beri makna
peristiwa di zamannya
ekspresi pinggir telaga
dalam sisa hujan malam
di matanya
rakyat hanyalah korban kegilaan
rakyat hanyalah korban keganasan
Agustus telah mengental
dalam darah sendiri
di matanya
semua harus diberi arti
kesadaran
kegalauan
kebijakan
semua bagian jatidiri
yang tak bisa dipungkiri
Siapa mencari tumbal
apa yang dibuat tumbal
ternyata
sesiapa yang pantas jadi tumbal
Malam hanyut
angin susut
sesosok bayang menyusur malam
Agustus ‘98
326
Catatan Agustus 98
bendera pusaka
berada di tangan yang beda
ada yang mencair dalam jiwa
saat menatap peristiwa
bapaku bapa
hasrat kuteriakkan pada dunia
aku tak rela
lalu mencoba memberi makna
gejolak dalam jiwa
bermain duo di pinggir telaga
sehabis hujan reda
siapa menyimak
siapa mendengar
yang digelar
kurasa getarnya
hanya sang penunggu
pohon penantian
saat pulang
hanya bayang
semetara kotaku
mendengus dan mengerang
Agustus ‘98
327
Elegi Bendera
lahir di masa silam
tumbuh dalam kebersamaan
dan warna semakin terang
dijahit oleh tangan cinta
disimpan kini bagai pusaka
kau berbiak di mana-mana
ketika zaman berubah
ada orang-orang marah
tak tahu arah
ingin pisah
kau diapikan
dengan kebencian
dia lupa makna sejarah
lahir dengan sumpah
menyatu dengan darah
warna yang merah
hadirlah selalu
di langit para laskar tua
di jiwanya kau raja
Agustus ‘98
328
Antara Mei-Agustus
Kursi telah tumbang
ditandai api dan erang
berhala telah hancur
ditandai telah mengucur
orang-orang masih bingung
orang-orang masih menuntut
reformasi penuh sosok Mbilung
reformasi penuh benang kusut
Seru mahasiswa :
kami sudah ditinggalkan
kami kan ulang turun ke jalan!
Seru wong cilik :
kami hanya mau bunda
yang sudah kibarkan bendera!
Seru wong pintar :
seret para buto ijo
bayangnya saja suka ngaco!
Seru wong seni :
Mei mereka jadi Sengkuni
Agustus masih tak tahu diri!
Dengar!
angin malam tanah Pucung
sedang menjawabnya . . . . .
Agustus ‘98
329
Rembulan Kalangan di Tanah Pucung
Di antara peristiwa besar
reformasi yang selalu hingar bingar
misteri selalu ada
pertanda alam selalu hadir
tak tersimak oleh semua
Rembulan kalangan itu
pertanda apa Kau beri
kueja malam ini
Sinar yang takkan hilang
walau tiada terang
hanya yang arif akan makna
tetap menjaga kalangannya
dalam Kasih-Nya
mengeja
Anak waktu
anak zaman
tetaplah menyatu
sampai embun membatu
Agustus ‘98
330
Tanda-Tanda Zaman
Telah kueja
tanda-tanda zaman
telah kudoa
jangan hilang peradaban
Kalabendana
itu pembawa petaka
gerhana bulan total
itu celaka bila gagal
gerhana matahari cincin
itu perjuangan jangan bacin
bintang berekor
hokum karma hancurkan pamor
tembang dolanan
itu gambaran keadaan
Tanda-tanda zaman
peringatan dari Tuhan
Tanda-tanda zaman
jangan pernah diabaikan
Agustus ‘98
331
Si Amit, Boby dan Dolar Saat Jakarta Terbakar
Amit :mari main layangan
naik turun ditiup angin
Boby :lebih baik main dolar
naik turun kocek pun besar
Amit :main dolar bikin pot-empotan
jika bablas bisa edan
Boby :biarin!
Amit :jangan nekat nanti kualat
jika bablas sengsara rakyat
Boby :biarin !
Amit :jangan suka ngomong biarin
jika bablas jadi jin
Boby :biarin enak jadi jin
itu dolar bisa kumainin
Amit :dasar predator !
(terus ngeloyor)
Boby :biarin !
(terus panas dingin)
Jakarta, Agustus 1998
332
Kota itu Bernama Jepara I
masih kurasakan anginnya
berdesir
di pohon mahoni tua
mengabarkan
kejadian melanda hari-hari
melanda nusa
dan nasib anak negeri
Jepara
pohon kotamu
luka masa lalu
sebuah perjalanan panjang
bikin diri lupa pulang
Donoroso dan Donorojo
masih menunggu
sementara Ibu Agung
diam-diam menyimakku
Jepara, Juli 1998
333
Kota itu Bernama Jepara II
Masih kurasakan ombaknya
berdeburan tengah malam
saat musim pancaroba
mengabarkan
arus-arus perubahan
mengalir
dari empat mata angin
Jepara
ombak lautmu
mimpi masa lalu
sebuah renungan panjang
bikin jiwa di awang-awang
kubayangkan
kota kian tua jua
tapi aku
belum selesai mencari
Jepara, Juli 1998
334
Di antara Galau Juli
Di antara galau pembaruan
seseorang merasa kehilangan
dipanggilnya angin
angin sedang sangat sibuk
meneduhkan jiwa panas
yang nekad kibar bendera
di Irian jauh sana
angin sedang sangat sibuk
redakan hati cadas
Timtim yang hasrat lepas
Ia bicara pada sang aku
beras kuning tlah disebar
bunga rampai telah ditabur
ayam tumbal tlah ditanam
adakah yang salah, Hyang?
ada bara dalam sekam!
Bara tak kan pernah padam
jika trus dibungai dendam
jika langkah simpang arah
jika kata simpang nada
Di langit matahari menyala
gegaslah menata!
Juli ‘98
335
Menyimak Layar Kaca I
Layar kaca terus nyala
suaranya berdentang-dentang
layar kaca terus nyala
mengusung hingar bingar
di luar layar terus menggila
ada yang membanjir
di luar layar terus nggelombang
ada yang anyir
siapa menyimak buku tua
ramalan sang jaya baya
siapa segera berkata
nyata awalnya gara-gara
Layar kaca terus mengerang
layar kaca terus berdentang
bikin kaki ingin menendang
bikin tangan ingin melayang
Juli ‘98
336
Menyimak Layar Kaca II
orang-orang
haus berita baru
orang-orang
melahap koran-koran
pagi siang sore malam
orang-orang
haus gambar baru
orang-orang
mengunyah layar kaca
fajar ke senja
orang-orang lapar bicara :
luar biasa!
yang mana?
penjarahan itu!
itu kan dosa?
Itu kan adil!
ah…masa?
kalau yang dijarah kaya banget
kalau yang dijarah arogan banget
kalau yang dijarah kikir banget
kalau yang dijarah oportunis banget
jadi bikin gemes banget!
jadi begitu syaratnya?
Juli ‘98
337
Jakarta dan Kesaksian
Orang-orang menjadi tua
di abad muka
bercerita dengan suka cita
saat listrik mati
rembulan kembali
mastodon jadi fosil
durna menjadi reptil
para pendusta hilang muka
para petinggi hilang nyali
kau dengar kesaksiannya?
ia hadir di mana-mana
ia ruh abad
Di celah-celah musim
yang ingkar menjadi jisim
di celah-celah misi
yang ingkar menjadi basi
di celah-celah gelora masa
yang ingkar menjadi lelawa
Itulah kesaksiannya
ada di malam dan siang
ruh jagad ruh abad
Juli ‘98
338
Mosaik Juli di Pinggiran
Di halaman sanggar
ada kesenian masih digelar
di antara denyut lapar
Di halaman berumput
ada yang masih menggigil
jiwanya sedang terpanggil
Sang dayang menyapa :
Syukur kau sadar
Ya, aku harus abadikannya
Syukur kau setia
Ya, aku sudah mabok derita
Jaga terus kau punya jiwa
Ya, aku wereng jikalau alpa
Jangan sampai dimangsa kala
Ya, aku siagakan angin di dada
Kala kini nggegirisi
Ya, aku tak kapok jadi manusia
O, negeriku hijau
kini mirip kar bakau
tapi cintaku selalu kemilau
Juli ‘98
339
Tragedi itu I
Darah tlah tertumpah, bapa
air mata meresap di jalan raya
kata-kata tlah diserukan
di antara bunyi tembakan!
Matahari bulan Juli tlah bersaksi
ubah langit jadi lembar misteri
ada yang tak bisa mati
rasa cinta pada pertiwi
Ada apa di dalam kota?
Anak bapa dijaring Kala!
Ada apa di dalam kota?
Anak bapa tetap perkasa!
340
Tragedi itu II
Adalah irama jagad
yang salah seleh yang benar jaya
adalah yang dibikin sekarat
ternyata Kekasih Sang Pencipta
Ada ruh penjaga topo broto
di gapura jalan Diponegoro
kibarlah tinggi kau panji-panji
kibarkan ke mega yang waras hati
Ada apa di dalam kota?
Anak bapa dijaring Kala!
Ada apa di dalam kota?
Anak bapa tetap perkasa!
Juli ’98
341
Sebuah Pesan I
Sebuah pesan
terkirim dari pinggiran
Masih ada kegalauan
masih ada kesangsian
Antara lapar
antara sakit
antara tak sabar
antara jiwa bangkit
Sebuah pesan
terkirim dari pinggiran
Di pergantian sebuah episode
negeri zamrud yang carut marut
Juli ‘98
342
Sebuah Pesan II
Sebuah pesan
terkirim dari sisa pertokoan
Telah mereka lunasi
hasrat purba anak manusia
ketika api hanguskan segala
ketika nurani hilang mahkota
Dengan apa kan dicermati
jejak langkah di kegelapan
dengan apa kan diteliti
sperma kering sisa peradaban
Di pergantian sebuah era
di pemakaman tak tertanda
Juli ‘98
343
Percakapan Bulan Juli I
Layar kaca masih nyala
suaranya berdentang-dentang
orang-orang mendekat
orang-orang menyimak
Apa kata berita?
Aktualita!
Hari ini apa?
Kasusnya Trisakti!
Belum juga tuntas?
Ada laporan yang dikebiri!
Lalu apa lagi?
Kasus orang hilang!
Mungkin ada yang tewas?
Begitu tutur Lustrilanang!
Kasus apa lagi kata orang?
Padang golf dan Tapos
Apa jadi keropos?
Ah, jadi histeria massa!
Karena lama puasa?
Sudah puasa terlalu lama!
Yang Senen Kemis bagaimana?
Sudah praktek lama!
Lalu njarah saja?
Asal adil!
Lho, mana biasa?
Asal yang dijarah itu predator!
Juli ‘98
344
Percakapan Bulan Juli II
Ada siang berawan
di trotoar kota ia henti
menyimak spanduk mati
seseorang mendekati
Hai, apa yang kau lihat?
Misteri dalam kalimat!
Kenapa nampak sedih?
Coba redam titik didih!
Ada yang salah dalih?
Ada yang suka jadi kambing terpilih!
Ini benar zaman edan?
Ada yang suka jadi kambing terpilih!
Ini benar zaman edan?
Ini zaman berbiaknya syetan!
Kemana cari selamat?
Mati dulu baru ketemu malaikat!
Kenapa sarkastis?
Cinta pertamaku korban si sadis!
Kenapa tuturmu amis?
Cinta terakhirku diterjang mimis
Oooh, cerita itu lagi?
Heeem, bias lain dari Trisakti!
Juli ‘98
345
Mosaik Bulan Juni
Orang-orang masih berkumpul
suara-suara penuhi udara
spanduk-spanduk masih digelar
menghantar jiwa yang mekar
Gelar seni di sanggar-sanggar
orang menari dan berikrar
instalasi di halaman
dibingkai suara tetabuhan
bulan smakin tinggi
bincang mengiring dini hari
Getar sukma di kampus-kampus
indahnya nuansa merdeka
matahari menjadi bunga
anak muda berambut panjang
sesekali berlari dan melenggang
di jantungnya debar juang
Orang-orang masih mencari
di antara hangar binger reformasi
seniman bermosaik di Semanggi
orang-orang merasa terwakili
Jakarta tak pernah tidur
Jakarta warna-warna yang melebur
Juli ‘98
346
Kemerdekaan itu
Kemerdekaan itu
saat lipatan lepas dari lidahmu
kata-kata jadi ombak
mengguncang kelu sekian waktu
Kemerdekaan itu
saat belenggu lepas dari tanganmu
kepal bebas tinju udara bertuba
mengguncang langit buram lalu
Kemerdekaan itu
saat rantai lepas dari kakimu
langkah bebas lompati segara
mengguncang cadas penghalang
Kemerdekaan itu
bukan sebuah pemberian
dengan setumpuk pernyataan
tapi perilaku perjuangan
Juni 98
347
Menghalau Angkara Murka
Irama semesta irama kehidupan
tiba-tiba hilang tatanan
lumat jentera waktu
angka hilang makna
bilangan windu jadi lipatan
pelangi jadi satu warna
manakala tarian porak poranda
iringi langkah sang angkara murka
Hitam berubah putih
dalam percik dalih-dalih
luka pun pedih
telah menyeru sang ibu kehidupan
memberi peringatan
doa dilantunkan ke udara
ditabur beras kuning dan bunga
tembang-tembang mengiringi
sang angkara murka hilang peduli
Ketika waktu di puncak saat
ketika langkah di puncak batas
puncaknya panggung kehidupan
hokum karma berlakulah
pahala dan dosa dihitunglah
sang ibu kehidupan menghajarlah
menyingkirklah sang angkara murka!
segera kulahirkan sang jiwa merdeka!
Juni 98
348
Anak-Anak Kota Raya
Anak-Anak Kota Raya
telah kehilangan orang tua
yang melekat di kursi-kursi
terjerat jarring emas laba-laba
anak-anak lari dari diri sendiri
terbang ke bintang-bintang
pilih jadi anak rasi
Anak-Anak Kota Raya
tak pernah punya sahabat sejati
kasih sayang telah lama berimigrasi
dari ruang nurani ke ruang duniawi
jika sesekali pulang dkembali
mengendap-endap di malam sunyi
mereka hanya mencari kembang
aromanya membuat langkah tenang
aromanya membuat hari terang
Anak-Anak Kota Raya
tak kenali lagi orang tua
manusia-manusia alumunium
penghuni abad millennium
hidup mati menjadi angka
hari umur dan musim
juga angka
cinta telah lama jadi sejarah
Mei ‘98
349
Dialog di Bawah Pohon Penantian
Di bawah pohon penantian
sehabis hujan mengguyur taman
orang-orang kembali berbincang:
ada yang tumbang
ada yang hilang
ada yang bingung
ada yang menghitung-hitung
datang seorang lelaki kumuh
ke plaza penuh genangan
jumpa orang di bawah pohon penantian
saya membawa pesan
pesan dari siapa?
para saudara di pinggiran
pasti yang rindu pembaruan
apa bicara di sini aman?
tentu saja, di sini sampeyan merdeka
benarkah reformasi terus bergulir?
sampeyan tak salah pikir
kalau benar bereformasi:
teruskanlah, saya pemerhati
ya kalau benar bereformasi
jangan sampai hanyut diri
jangan sampai hanyut nurani
jangan hanya tiru-tiru
harus bikin bentukan baru
kursi dan orang tak berlebihan
seperti kapal penuh muatan
pesan sampeyan memang rasional
saatnya kini proporsional
tidak asal professional (Mei ’98)
350
Jakarta Bersaksilah
Bunga-bunga bulan Mei
bermekaran smarak warna
di halaman rumah rakyat
bendera-bendera berkibaran
di tangan berkeringat
karisma yang bangkit
dari liang luka dan sakit
Jakarta bersaksilah!
Wajah-wajah anak zaman
berbinaran smarak rasa
di halaman rumah rakyat
suara-suara penuhi udara
di jantung ada warna merah kesumba
karisma jadi balada
dalam anging pembaruan
Jakarta bersaksilah!
Mei ‘98
351
Ketika Api Telah Padam
Api telah lama padam
jalanan telah dibersihkan
anak-anak mulai bermain
tembangkan lagu pembaruan
Api telah lama padam
puing-puing telah disingkirkan
orang-orang mulai bergabung
menyeru salam dan mendukung
Ada air mata dan darah
di halaman kampus perjuangan
Ada air mata dan darah
di jalanan sebelum hujan
Ada air mata dan darah
di hari-hari tak bertuan
Mei, 1998
352
Jaket-Jaket di Rumah Rakyat
ketakutan itu
tak harus disembunyikan
ketakutan itu
tak pula disandarkan
ketakutan itu
telah mengalir ke lautan
sesungguhnya
rasa itu ruh penjajah
sesungguhnya
rasa itu bisa ubah arah
setelah cermin pecah
anak jaman luruskan sejarah
setelah jembatan runtuh
anak jaman masih utuh
setelah sakit dan luka
anak jaman kibar bendera
jaket-jaket di rumah rakyat
telah bicara dalam warna
jaket-jaket di rumah rakyat
milik anak tanah merdeka
Mei, 1998
353
Tragedi Negeri Mimpi 98
kota
sisakan plaza
jalanan
sisakan asap
orang
sisakan erang
harapan
sisakan cemas
tragedi negeri mimpi
tragedi gerhana matahari
tragedi negeri mimpi
tragedi di tangan tirani
semua
yang lama alpa
segala harus ditebusnya
semua
mulai sekarat
segala
dimangsa naga jagad
Mei, 1998
354
Tragedi Titik Api I
kehijauan alam timur
hutan kemilau
prajamu prajaku
prajaku prajamu
hutan kemilau
kehijauan alam timur
agni ya agni
lidahnya merah tragedi
seutuhnya ajaib elegi
bumi hijau jadi padang
padang jadi tangis hari
elegi ajaib seutuhnya
tragedi merah lidahnya
agni ya agni
Bogor, April 1998
355
Tragedi Titik Api II
hutan
sisakan sepi
satwa
hilang suara
unggas
hilang gegas
hutan
sisakan mimpi
kampung
hilang gaung
kembara
hilang angina
tragedi
memilihi-milih kayu ulin
memilihi-milih rotan kenangan
memilihi-milih damar selingkar
Bogor, April 1998
356
Tanda-tanda Musim
Batu kembalikan panasnya
ke hati orang-orang tergusur
orang-orang jadi beringas
orang-orang jadi berani
mengancam matahari
Laut kembalikan panasnya
ke hati orang-orang trotoar
orang-orang jadi liar
orang-orang jadi ingkar
mengancam ruang-ruang
Jelaga di langit kota
kota semakin pengap
Orang-orang terperangkap
ada etnis yang jadi kakap
saudaraku jadi kerakap
musim begini kacau
di lidah-lidah tersisip pisau
Maret 98
357
Samarinda Seberapa Bara
titik akhirnya jadi nyala
garis akhirnya jadi lidah api
mimpimu dihelanya
jadi alas jiwa temaha
engkau menap
engkau menghitung
engkau menanti
berapa lama yang hilang tumbuh kembali
bara hanguskan dada kembara
bara sisakan mimpi Samarinda
bara mengejek anak merdeka
orang-orang masih bisa ketawa
sementara asap telah melapis udara
barangkali dalam bencana
masih dikemas angka-angka
kiranya Mandau telah diganti
jadi kata bakar
dan semuanya jadi api
di seberang Mahakam engkau kelu
Maret 98
358
Tanda-Tanda Getaran
Getaran ether darinya
getaran etherku jua
menyatu dalam nuansa
giri sukmaku
Badai negeri menguatkanku
banjir bandang menyabarkan
bukit longsor menabahkan
di mana-mana
tipu daya prima
yang menangisi zaman
selalu sama
Cambuklah langit
dengan lidi lanang
tak hujan datang
basahi bumi dengan darah
tuangi sungai dengan air mata
kau tetap bertanya
Apakah arti merdeka?
tunggu!
getaran itu!
Pebruari 98
359
Tangis Bumi Rindu Ruwatan
Saat Sang Pencipta
hadirkan Ibu Bumi Bapa Angkasa
ada sehasrat lidah
mencipta bahagia semesta
lahirnya kehidupan
dalam proses anak zaman
Abad bicara lain
manusia jadi durhaka
merejam rahim bumi Ibu Kehidupan
mencari Bapa Angkasa
bumi terluka
angkasa tak berdaya
manusia jelma sang kala
memangsa segala
Wahai Pengasih
masih tersisa peradaban
dalam jiwa tualang
dalam lara ada doa hening
untuk ruwat Ibu Bumi
air jernih bunga putih dari nurani
Bogor, Januari 1998
360
Di Tikungan
Berjalan menghela langkah
melangkah menghela api
apinya hasrat
apinya jiwa
Semakin terasa
ada yang tak semestinya
digelar di negeri ini
Teduh hilang sudah
macan api menghadang
di tikungan
Sementara ramalan-ramalan
bertebaran di mana-mana
ramalan hidup
ramalan mati
Gerhana rembulan
bintang kemukus
bahasa alam
Sembunyikan dendam
isyaratkan banjir anyir
sebut Gusti-mu!
Januari 98
361
Berhala Baru
bukan dodol sembangan dodol
dodol dolar bikin gemetar
anak muda berpantun ria
di atas kamar lotengnya
yang mewah
sebuah rumah di kawasan real estate
kenapa kau tak bisa diam
aku sudah sangat tercekam
hardik perempuan gaya
yang dipanggil mama
matanya bulat ikuti liputan Koran
jangan gusar mama beta
kau bisa jadi ular
jika banyak bermain dolar
anak muda terus mengejek
anak kurang ajar
kau hengkang
atau kubikin modar
tahukah aku lagi jatuh hati sama dolar
berhala baru, huuu!
bunuh diri cara baru, huuu!
anak muda keluar sambil banting pintu!
Jakarta, Jakarta 1998
362
Bulan Buram di Kayutanam
Malam mulai turun
diantar gugur daun
hujan di plaza dan halaman
pepohonan menggigil diam
Kudengar suara-suara
saat hujan mulai reda
orang-orang merajut angan
orang-orang merangkai merjan
Bersaksi di balik ranting basah
bulan buram di Kayutanam
Siapa memanggil namaku
sementara lingkaran disiapkan
kelebat bayangan berlalu
langit kelam gemetaran
Menari di bawah bulan temaram
menembang dalam sisa basah hujan
orang-orang saling menyapa
ada misteri di balik suara
Kayutanam, Desember 1997
363
Tentang Silungkang
Silungkang
rumah gadang
rumah tua pinggir jalan
warna hitam kecoklatan
simpan nyata
derita purba
anak keturunan
lagu itu
mengusik kalbu
jiko den kaka
si daun paku
Silungkang
alif ba ta mengambang
di celah kerudung alam
siapa berdoa siang-siang
di ujung salam sembahyang
siapa menerawang
di anjungan rumah gadang
Silungkang, Desember 1997
364
Kayutanam Desember Hari Keduabelas
Gunung biru bersaksi
Kayutanam sunyi sepi
suara-suara tenggelam dalam misteri
wajah-wajah ke penjuru mana pergi
Selalu ada luka baru
di ujung saat
perjalanan ternyata tak hanya nada
tapi tumpukan luka-luka
yang tetap harus disambut
dengan tawa walau isyaratkan duka
Pohon tua di halaman
masih simpan bayang-bayangku
masih simpan suara-suaramu
anak-anak molek ranah Minang
yang tertawa riang setiap datang
yang gemanya akan kubawa pulang
Selalu ada air mata
pada hari-hari akhir di mana saja
di sini ada air mata lelaki
ditipkan kabut misteri
Rangkuti adakah gunung dan kabut di hatimu
Rangkuti adakah saluang dan kerudung di anganmu
Rangkuti adakah mosaik di jejak langkahmu
Kayutanam, Desember 1997
365
Sungai Penghabisan
Aku kembara
yang tak tahu jalan pulang
pada sesiapa telah kutanyakan
namun tiada jawaban
aku kehilangan tanda-tanda
pohon randu dam serikaya
di samping gapura desa
Aku marah
saat mereka tertawa
aku marah
sat disodori keranda
aku ingin hidup
mereka ingin aku mati
sungai dan hutan bayangan redup
diam-diam kutangisi
Aku tumbal
sungai penghabisan
dipotongnya lidah
aku tak bisa lagi bicara
dipotongnya telinga
aku tak bisa lagi mendengar
dipotongnya tangan
aku tak lagi bisa mengepal
direnggutnya jantung
darah menyungai
tempat orang-orang mengapung (Bogor, Nopember 1997)
366
Sketsa
batu dan pohon
burung dan ternak
sketsa senja
kota lama
Yogya mengapung
menyapu mendung
perempuan pejalan kurun
mengeja dengan bahasanya sendiri
Kali Code barangkali masih simpan
bayangmu dalam embanan
hamper tiga windu lalu
pohon duri di bantaran
telah jadi sketsa di awan
garisnya kutambah lagi
engkau yang ingin jadi lelaki
sementara bara membakar dunia
tak reda oleh tembang cinta
angin gemetar
rindu kepak kelelawar
Yogya, Nopember 1997
367
Sebutir Bintang di Langit
suara-suara malam mengapung
di udara basah
sehabis hujan senja
orang-orang duduk diam
mendengarkan biografi mimpi
lembaran kain-kain anyar
warna merah hitam
sembunyikan bersit obsesi
anak manusia sederhana
pemilik hari lusa
barangkali malam ini
kota terasa asing
akankah gitar terus dipetik
isyaratkan getar hati
orang-orang yang mencari
suara-suara malam memberat
menyapa trotoar
meluncur di celah angin
menjadi sebutir bintang
di langit Serang
Serang, Nopember 1997
368
Doa Seorang Ibu Bagi Anaknya I
jadikan aku sungai jernih, Tuhan
mengalir tenang nuju muara
tempat anakku menghilir
369
Doa Seorang Ibu Bagi Anaknya II
jadikan aku jembatan panjang, Tuhan
merentangi batas waktu
tempat anakku meniti
370
Doa Seorang Ibu Bagi Anaknya III
jadikan aku telaga hijau, Tuhan
menyimpan sunyi misteri
tempat anakku menyelam
371
Doa Seorang Ibu Bagi Anaknya IV
jadikan aku segala, Tuhan
dalam sentuh-Mu jua
tempat anakku mendamba
Bogor, Desember 1997
372
Balada Kucing Hitam si Tombo Minta Jakarta
Hei Tombo hei Tombo
siapa kakek moyangmu
biang kearifan
apa bilang kemajenunan
Hei Tombo hei Tombo
matamu kucing hitam
simpan gejolak dunia
apa birahi tak bertuan
Hei Tombo hei Tombo
minta apa minta apa
engkau si kucing hitam
Tombo hanya pandang awan
Kukira si Tombo ya Tombo
kukira minta rembulan
ternyata si Tombo ya Tombo
ternyata minta Jakarta Tuan
Jakarta, September 1997
373
Perjalanan Titik Api I
setitik api berproses
memerah rahwana merasuk jiwa
orang-orang yang temaha
hutan-hutan terbakar
bumi menggelepar
terlambat sadar
hidup terkapar
hutan hijau
korban kerakusan
hutan hijau
tinggal impian
pohon-pohon abad
tempat angin bersarang
tinggal lukisan gugus arang
sesiapa menangisi
seiapa menembangkan
sesiapa menyairkan
Jakarta, September 1997
374
Perjalanan Titik Api I
ada yang terlambat selalu
saat segala telah mengabu
orang-orang sederhana
memeras air mata
rasa kasih
ditepis angka-angka
berlompatan dalam program
berlompatan dalam sumpah tipuan
o, semut hitam
gigit jiwa hitam
karena kehilangan
lembab hutan
o, asap tebal
smakin menyeruak
o, peparu malang
smakin terkoyak
siapa itu
lari sembunyi
karena malu
rasa yang tersisa
ditolong oleh tetangga
Jakarta, September 1997
375
Catatan Agustus: Dialog Perempuan dan Alam
bulan bening kuning emas
menyinari alam sunyi
menyinari alam hati
tetabuhan trus bergaung
di udara berembun
orang-orang pondok pucung
hatinya berkidung
bulan bening dini hari
selendang di arena menari
pohonan mulai membayang
samar-samar menuju terang
langit pagi menyapa
perempuan adakah duka tersisa
o, sedang kuhayati makna merdeka
embun-embun bening
hati-hati bening
suara-suara bening
sesaat lagi semua kutinggalkan
sebutir embun dalam sukma bersarang
langit pagi kembali menyapa
perempuan menunjuk dada
Bogor, Agustus 1997
376
Mencari Sisa Peradaban di Jakarta
Mencari sisa peradaban
anakku nyusuri trotoar kota
kepala terantuk dinding jalan layang
langkah terjerat kabel galian
dada terbakar berita koran
senyumnya tak bisa kuterjemahkan
Mencari sisa cinta Jakarta
nakku lompati jembatan penyeberangan
matanya nanar
dambanya pijar
matahari ambyar
anakku terkapar
Jakarta itu rimba
bisikku saat ia sadar
haruslah jiwamu ganda
haruslah parangmu bermata dua
satukan jagad alit jagad besar
jika mencari sisa peradaban
Jakarta, Juli 1997
377
Di Antara Pilar Jakarta
Siapa berkejaran
di antara bayang jembatan
sambil mengejek kota
tak lagi ramah pada manusia
Siapa menembang
di antara galau pasar malam
sembari meneriaki rembulan
tak lagi bening menawan
Siapa nyalakan unggun
di antara puing sisa kebakaran
sementara doa mengapung
di arusnya Ciliwung
Siapa memanggili namaku
di antara angina dan debu
sementara kata-kata nuju muara
Jakarta gemetar di antara pilar
Kaukah itu kaukah itu
saudaraku yang tersesat di arus
perubahan gerak waktu
kaukah itu kaukah itu
Jakarta, Mei 1997
378
Ekspresi Ladang Garam
(Bagi D. Zawawi Imron)
siapa menghitung denting beliung
menggali-gali jantung Madura
manakala kata-kata hilang mahkota
dan Nipah ibarat perempuan terjarah
engkaukah menghitung desir celurit
manakala ilalang tak henti menusuki bulan
hidup penuh gempa
hidup jadi rumah roboh
hidup sihir kopi bergula darah
dan garam menggunung meleleh mencair
mengubur sepotong hari kian anyir
tak ada kelana menari tetembangan
tak ada gemerincing gelang di kaki perawan
ketika Nipah mengaduh
ketika Nipah menghantar jelaga hati
ketika Nipah lukamu lukaku
Bogor, 1996
379
Balada Perempuan yang Terluka
mata lebar itu masih simpan
bayang dunia dan kelopak mawar
getar angin Islamabad
gerak langkah bersicepat
gema rebana kota tua
angin larkana menyapa perjalanan
sejarah senantiasa berubah
antara eligi dan extravaganza
lalu musim tak lagi sahabat
lidah dan pedang saling babat
kejujuran hanya milik malaikat
ketika langkah hanya sebatas pintu rumah
tembangkan lagu-lagu kerinduan anak manusia
antara perang dan damai
antara perundingan dan pengkhianatan
antara senyum dan cacian
kota raya ruhnya di jantung
nafasnya dalam getar kerudung
hari ini perempuan dua kali luka
mencari cakrawala di balik jendela
ada yang selalu tersisa
angka dalam gandum, katun, sulfur dan chromit
nada dalam blessed be the sacred land
Bogor, Nopember 1996
380
Balada Anak Perempuan Suto Kluthuk
anak perempuan Suta Kluthuk
anak musim yang tak minta dilahirkan
saat malam mengapung
dalam suara hantu wajah burung
pisau bambu kunyit empu
sayat plasenta ari-ari ya saudaranya
tangisnya menderu
keluh ibu tenggelam di pepau
dia anak zaman kembara jiwa
pembawa amanat penunggu gunung Utara
anak perempuan Suta Kluthuk
lama simpan luka dendam derita perang
timang ibu tak obati jiwa lapar
ibu bicara sendiri dengan bahasa tak dimengerti
genduk buatlah horizon runduk
dari suntingan priyayi berkuluk
ia meronta sembunyi di hutan obsesi
cintanya panduan tembang dan tari
siang malam digubahnya geguritan
angina utranya nafasku
air utara ya darahku
tanah utara ya dagingku
batu utara ya tulangku
bumi dan langit ibu bapakku
jangan coba membunuhku
kutuk pada ujung lidahku (Bogor, Nopember 1996)
381
Balada Orang-orang Pantai
purnama keberapa ketika angin mati
perahu terapung di ombak henti
sudah lama burung camar hilang kepak sayap
buih ombak tak lagi putih merayap
perempuan-perempuan punggung kecoklatan
berkeluh kesah sepanjang siang di teritisan
menunggu para lelaki nelayan sisa peradaban
barangkali satu hari pulang
tapi mungkinkah
sementara berita ramai mengabarkan
mereka terdampar jauh
dan menghuni ruang tahanan
yang tak jelas akan batas
atau barangkali itu hanya penghibur hati
karena angin musim terakhir pancaroba
kabarkan di tengah laut hiu berpesta
orang-orang pantai hati karang
berapa musim tak lagi berdendang
segalanya telah berubah
angin, ombak, kampung, gelak
yang hilang itu namanya semarak
nelayan tua bapak siapa
ubun-ubun kian retak
bentuknya berdahak-dahak
aku ingin mencium bendera itu
bisiknya layu
Bogor, 1996
382
Balada Pak Tua Pengrajin Gerabah
pak tua dudu mencangkung
mendekap kaki menatap ke kejauhan
sesuatu tengah berubah
bukan soal gerabah
bukan soal tanah
tapi pohon kemerdekaan
tumbuh sederhana di pinggir desa
dia selalu menjanjikan
mimpi awal tak bertuan
Yogyakarta pak tua tak pernah sangsi
buminya masih seperti dulu
simpan peluh dan tetes darah
menjadi kali-kali tempat berkaca
anak-anak peradaban
pak tua merenung panjang
dering kereta kuda menyibak siang
banyak sudah yang terjadi
di sepanjang jalan antara Yogya-Godean
semuanya ditelan diam-diam
bulan Syura tumpuan harapan
Bogor, 1996
383
Balada Orang-Orang Kampung Lor
orang-orang kampung lor di kota itu
tak pernah tahu apa yang tengah meraja
di antara deru kehidupan dunia
mereka bangun bagi dan bekerja seadanya
sembahyang dan selamatan sederhana
ketika kehidupan menghadirkan kelahiran
ketika batas waktu menghadirkan kematian
ada tawa dan tangis saat panen di sawah
ada tawa dan tangis saat panen di laut
ada tawa dan tangis saat hidup carut-marut
orang-orang kampung lor tak pernah neka-neka
dunia selebar daun pisang selebar daun kelor
semua sama saja jika memang telah seharusnya
Allah Maha Pengatur manusia yang penggusur
lalu ke mana hilangnya putih hilanya nur
orang-orang kampung lor membiarkan segalanya
mengalir bersama waktu seirama ombak
yang selalu setia membasuh Jepara kian tua
Bogor, 1996
384
Bunga Misteri Bagi Diana
sekuntum bunga misteri
yang tumbuh di jantung buana
telah kau petik
kau semat di gapura maya
sekuntum bunga misteri
yang menjadi karisma abadi
telah kau bawa
dalam perjalanan paling jauh
tak kembali
bunga misteri itu
cinta bestari yang baru kau miliki
bunga misteri itu
getar pesona
kau bawa mati
Bogor, 1996
385
Balada Seorang Lelaki Tua Penjual Bendera
ingatan tentang merdeka, nang
masih mengental di kopi pahit
kian hari makin pahit
lantaran kebun tebu
warisan canggah moyangmu
telah ditumbuhi tiang-tiang beton
anak cucu yang mulai dewasa
kini bertanya asal-usulnya
dan heran melihat aku yang simpan medali
keliling kampung menjual bendera
setiap agustus menjelang tiba
setiap kusembunyikan air mata
harapan tentang merdeka, nang
terus mengental dalam impian tua
kian hari kian pekat
seperti malam tanpa saat
selagi darah menetes di jalan raya
selagi raungan duka membius kota
api membakar udara malam
tapi sangkur telah lama kusarungkan
doaku bersarang kembali di dada
sementara bebatuan berserak di trotoar
sementara keberingasan mencari mangsa
aku sempurna terusir dari tanah kelahiran
Bogor, 1996
386
Balada Sang Perkasa
Bumi langit lembah dan bukit
sepanjang musim terus bersaksi
kehadiranmu sang perkasa
cahaya hidup mahkota jiwa
anak negeri simpan setia
meski sejarah penuh prahara
masih kuingat warna yang susah
siang dan malam menabur gundah
Juni mekar udara menggeletar
Kudengar suaramu dari arah Blitar
Anggun dan mawar
Bapa, Bapa segala Bapa
kasihnya membalut segala luka
di sini aku terus berdoa
Mengiring perjalanan kota tua
kudengar langkahmu menandai windu
menghitung angka-angka perjuangan
yang telah banyak bersimpangan
pilar-pilar pernah ditegakkan
masih berdiri bersaksi
sementara pilar lain tak sisakan
selahan buat prasasti
anak-anak pun kini perkasa
selalu menanyakanmu di mana Bapa
jawabku engkau tengah rampungkan tapa
Bogor, 1996
387
Balada Anak Zaman Merdeka
Anak zaman merdeka adalah kami
yang merdeka hasrat jiwa
yang pacu langkah sepanjang sejarah
yang berjuang sepanjang hayat
di tanah kering di tanah basah
menanam pohon pengharapan
anak zaman merdeka adalah kami
yang memasang pilar-pilar negeri
yang memukul tifa deramkan genderang
yang pancang tali baja di pantai dan rawa
di tanah bunda tanah perdikan
mencatat peta sejarah
gemuruh perang itu bagian masa silam
gemuruh langkah sekarang
adalah catatan perjalanan
anak laut anak angin anak musim
sungai-sungai masa datang
tempat harmoni kehidupan berlayar
388
Balada Angalai Riwu Ga
jalan macadam sayup-sayup di ujung mata
ladang jagung di daratan senyap
pulau timur yang gersang
rindu lama seorang riwu ga
riwu ga yang sabar
simak siang tanpa mawar
riwu ga yang hanyut
ke masa silam berlumut
:merah putih ada di hati
agama jingi itu dasar kalbu
desa depe tumpah darah
adalah jantung sabu
adalah erang ibu
riwu ga terus mengenang
segelas air dingin masa lalu
dicampur sejumput kapur
buat dia bernama sang bapa
agar suara lebih gelegar
agar cinta anak negeri kian mekar
hanya bagi putra sang fajar
indah mesranya riwu ga
air mata menetes di pegangsaan timur
tanda cinta paling luhur
meski tak senafas dengan Jakarta
kembali ke ladang jagung di tengah gebang
diam-diam terus mengenang
setia tlah menyawa bagi bapa
getar sukma kemerdekaan (Bogor, 1996)
389
Balada Para Penari
para penari bersemangat mega gunung
bernafas angina lereng hutan pinus
tak pernah henti tariannya
oleh kilatan cahaya dari layar kaca
tiap saat silaukan mata dan sebar radiasi
sementara banyak orang kehilangan
sementara banyak orang tak kebagian
mereka terus menari dan menari
diiring ritmis gending ngalun dari nurani
kucari siapa di antara mereka
yang jantungnya matahari
yang matanya bara api
yang senyumnya bening kali
yang rambutnya tempat angin bersarang kini
yang nafasnya aroma gandasuli
aku menunggu dengan kesetiaan lumut candi
para penari terus meliuk dan mainkan langkah
bunga dan buah mereka hadirkan dalam imaji
bumi subur loh jinawi
semesta penuh geletar cinta
ketika mereka tembangkan ‘smaradhaha
hamparan pedang terbuka istirahkan angin
hidup terasa tentram cacian gurinda,
ketika jemari penari menjaring angan
menyulam pandang orang-orang
aku masih menunggu ketika seorang penari mendekati
perempuanku, engkau tengah mencari
mari kita berbagi matahari
selama ini di jantungku ia terpatri
disibaknya dada muda tempat tumbuh, bibit mulia
kulihat pijar terangi bumi silaukan langit
bersamanya hati-hati kukembalikan
bias cahaya ke gunung wingit
Bogor, 1996
390
Balada Para Sufi
badai menerjang selat dan semenanjung
hembuskan deru angkara ke lembah dan gunung
orang-orang berlarian sambil mencari alam
bumi meradang
langit luka
laut geram
di surau pinggir kota simpan damai bernuansa
para sufi menasbihkan doa-doa
kehidupan dan kematian adalah perjalanan
masing-masing perlu sentuhan keindahan
yang hadirkan harmoni semesta agung semesta alit
datanglah ke pinggir kota
di sini ada yang tak pernah dihirau orang
ketentraman lumut di balik jurang
Bogor, 1996
391
Balada Para Penggarap
Seorang penggarap berpesan pada
istri dan kedua anak lelakinya:
ingatan tentang merdeka masih
mengental di kopi pahit
kian hari makin pahit lantaran
kebun tebu peninggalan canggah moyangmu
telah ditumbuhi tiang-tiang beton
sementara anak-anak mulai menghitung langkah
mengukur jarak antara rumah dan sawah
bertanya-tanya tentang bajak dan tanah garapan
jika tumbuh jamur di desa Segaramakmur
dan orang lupa antara Krawang-Bekasi
diganti dengan Tarumajaya Bekasi
yang lambat tapi pasti semakin mengiris hati
lantaran lidah dan lengah hilang daya
penggarap nasib terkatung hari marimba
gumam macapat tanah merdeka
jika tiada tanah di bumi
penggarap mengolah tanah di hati
Bogor, 1996
392
Getaran Jiwa
seperti buana yang
tak pernah lipat luasnya
seperti laut yang
tak pernah mati ombaknya
seniman berjalan sepanjang musim
ekspresikan warna-warna
menganyam aneka nuansa
yang akan menjadi bunga
dalam kebun kehidupan
serat kidung berdesir indah
serat doa di ujung lidah
mensyukuri karunia
cahaya Maha Cahaya
ekspresinya bersaksi
jadi terpatri
hiasan dinding hati
sat digelar jadi laut
saat digambar jadi buana
getaran jiwa seniman merdeka
pusatnya hasrat keindahan
impian dan kenyataan
Bogor, 1996
393
Jakarta di Antara Angka-Angka
hidup di zaman canggih
manusia angka tak lebih
nomor rumah
nomor sepatu
nomor baju
nomor katepe
semuanya serba angka
semuanya jadi angka
hidup di zaman nuklir
tanpa angka engkau diparkir
seatmu berapa
tipunme berapa
rangkingmu berapa
kode posmu berapa
semuanya serba angka
semuanya jadi angka
hidup di zaman angka
angka tlah jadi berhala
angka tlah jadi penjara
sehat angka sakit angka
mati juga pake angka
Jakarta, Juli 1996
394
Di antara Bendera-Bendera
Engkau Berkibar Indonesia I
Indonesia akulah anakmu
lahir dari lorong luka
dengan peparu penuh jelaga
dengan mimpi gambar gapura
dengan harapan kelebat bendera
Indoensia akulah anakmu
lahir dari liang luka
nadiku kali Ciliwung
dahiku jembatan layang
dadaku trotoar plaza
Indonesia akulah anakmu
lahir dari erang sejarah
peluhku laut mencari pulau garam
darahku ombak mencari bulan tertusuk
lalang, nafasku angin mencari muara
Bogor-Jakarta, 1996
395
Di antara Bendera-Bendera
Engkau Berkibar Indonesia II
Indonesia aku rindu kejujuran
Indonesia aku hasrat kikis jerat
Indonesia aku pucat di lobimu terikat
berapa lama trotoarmu dibongkar pasang
berapa lama dusunmu dikapling dipalang
berapa lama aku harus bersaksi nyalang
setiap Agustus cintaku kian meratus
harumnya tembus sampai di rumah kardus
Dari perahu pinisi
lalu perahu kertas Sapardi
kini perahu retaknya Franky
lusa perahu apa lagi
barangkali perahu emasnya Zawawi
Indonesia
biar sengsara aku tetap cinta
Indonesia
biar terlinggis aku tetap tak nangis
Indonesia
biar terlumat aku tetap lekat
karena engkau hidup matiku
karena engkau masa depan generasiku
karena engkau bendera di langit jiwaku
Bogor-Jakarta, 1996
396
Catatan Anak Perang I
awan hitam mengapung
di udara malam
kota awal mula peradaban
taman dan jalanan tempat berlarian
makin hari penuh lubang
rincing rebana dan deru pesawat
apa bedanya – ya bapa
seru tangis dan raung sirene
apa bedanya – ya bapa
setiap fajar bangkit
debu Baghdad mengapung di sungai Eufrate
setumpuk giris berlapis-lapis
hanyut perlahan di sungai Tigris
mimpiku tentang Karbala dan Basra
terhapus angka-angka trauma
semua terus berlangsung
semua terus berkabung
tapi aku harus gantikan kakak lelakiku
karena tanah ini denyut jantungku
Jakarta, 1991/1996
397
Catatan Anak Perang II
ada yang mengalir di sungai musim
harapan-harapan anak perang
ada yang melantun di udara malam
doa-doa anak perang
ada yang menyentuhi detik waktu
mimpi-mimpi anak perang
ada yang tak bisa dilakukan
melepas merpati terbang
ada yang lama dirindukan
berzikir, barzanji dengan tenang
ada yang harus ditinggalkan
menari berkejaran di jalanan
ada yang membubung ke rumah Tuhan
nyawa-nyawa anak perang
Jakarta, 1991/1996
398
Catatan Anak Perang III
Masih adakah yang tersisa
di antara puing Amriya
kulihat hanya tulang yang kenangan
langitpun keriput wahai
karena hujan tlah habis jadi tangis
karena suara begitu galau muncul hilang
seharusnya kau tak pergi
selama bapa ke selatan belum kembali
masih adakah yang tersisa
di antara puing Amriya
kulihat hanya darah yang mosaik
menjadi simbol-simbol keangkuhan perang
seharusnya kau bersamaku hari ini
menyusuri lorong-lorong kota
mengumpul warta bagi yang tua
sambil melompat-lompat
di celah reruntuhan gedung
membiarkan otak kita penuh fatamorgana
tentang kota raya bermahkota
kaukah itu di antara kerumun pengungsi
bayangmu pun tak kukenali
Jakarta, 1991/1996
399
Catatan Anak Perang IV
di antara serpih tulang
ada kenangan panjang
di antara kerak darah
ada keangkuhan menjarah
di antara bau mesiu
ada cinta ibuku
terkubur jadi satu
barangkali akan jadi penyubur
tanah negriku yang kini hancur
barangkali kelak di sini
tumbuh pohon paling tinggi
tumbuh bunga paling wangi
lambang-lambang kehidupan masa depan
tapi aku lebih ingin
ibu dan kakak lelaki ada di sini
lewati hari-hari sederhana
nyusuri lorong kota raya
dalam angan tiada bara
Jakarta, 1991/1996
400
Tanah Air dan Mosaik Peradaban
angin pagi bulan april berhembus di hutan cemara
kabarkan padaku cerita lama tentang para kembara
yang masih terus mencari pemukiman
seorang di antara mereka berhenti dan menyapa
apakah aku melihat bapanya
kusimak tajam matanya bersih biasnya
kukatakan, bapanya adalah sang waktu
bagaimana aku menandainya, tanyanya pula
kau harus menyelam dalam hatiku, jawabku sejujurnya
dan ia mencoba untuk mengerti
april terus dalam bias cahaya ketika mentari di tingkap rumah
menyihir alam tenang dan diam
para kembara terus berjalan
dan seorang tetap berhenti
ia bertanya kembali
apakah aku melihat ibunya
segera kukatakan padanya
menyelamlah di danau mataku
di situ engkau akan ketemu sang ibu
dan ia mencoba untuk mengerti
april terus mengapung di udara siang suwung
kembara yang tertinggal kini ada di segala ruang
ada di kebun, di ladang, di latar, di beranda
di mata, di hati, di rasa, di waktu
ia bagian dari dunia ghaibku
dan telah jadi satu dari urat nadiku
denyutkan tentang tanah air dan mosaik peradaban
Bogor, April 1996
401
Ekspresi Sungai-sungai
(Bagi Sitras Anjilin Penari Lereng Merapi)
sungai-sungai tak lagi menyapamu
dengan beningnya yang santun dan haru
sementara bebatu berkilatan
oleh cahaya matahari dari celah hutan
kota-kota telah mengusung keriuhan
menciptakan muara-muaranya sendiri
berhulu layar kaca dari pagi ke pagi
tapi sungai yang mengalir di lorong itu
masih setia simpan bayang kabut dan kilau embun
kulihat engkau masih menembang dan menari,
kakang Sitras Anjilin
kulihat engkau masih mengukir dan bertani
di tanganmu hidup bukan keluhan
topeng-topeng bukan kedustaan
sementara manusia terus menarikan karmawibhangga
engkau dan kerabatmu menarikan kehidupan
di lerengmu hidup tak dipelajari dari buku
di lerengmu hidup ekspresi sungai-sungai
segala benih cinta anak manusia menumbuhkan dharma
dan aku mendengar suara gamelan itu,
kakang Sitras Anjilin
irama kasih sayang bumi dan langit
Merapi tetap wingit
beri bara di jiwamu tetap bangkit
Bogor, Maret 1996
402
Ekspresi Amaq Indram
(Bagi Amaq Indram, penari topeng dari Sakra)
berapa lama rumah panggung simpan impian
berapa lama rumah panggung simpan kesendirian
dan topeng-topeng simpan legenda
pentas-pentas bukan lagi tembang nurani
Amaq Indram tak pernah mengerti
Amaq Indram melabuh mimpi
desa Medane masih bunga Sakra sederhana
desa Medane masih hampar ladang cinta
Lombok terus berubah
Lombok terus tercacah
Amaq Indram, Amaq Indram
hidup telah biru lebam
ramainya layar kaca kemas acara
sampaikan tembang nurani bahkan caci maki
Amaq Indram tak peduli
rumah panggung kian sunyi
topeng-topeng mengamati
tanganmu adalah dunia timur sejati
Bogor, Maret 1996
403
Ekspresi Sunyi Sang Paranggi
(Bagi Umbu Landu Paranggi)
melangkah seiring angin sabana
menyusuri ladang kehidupan tak pernah henti
banyak yang dicari dalam hidup ini
tak hanya secangkir kopi
berapa juta langkah harus dihitung
tapi siapa peduli
Malioboro sampai Bali luasnya sepetak hati
menembang malam-malam
tentang bayang kehidupan
hanya maya
hanya nadi
hanya kata
hanya diri
angin bersarang di hutan sisa peradaban
di sekeliling hanya ada gaduh gergaji
selebihnya galau televisi
kidung apa lagi
malam ini
meraja di sanubari
setelah usai meditasi
Sang Paranggi, Paranggi, Paranggi
rembulan purbani memanggili namanya
bunga sukla di pura-pura
mengambar wangi
Bogor, Maret 1996
404
Fragmen Hujan Malam
irama mistis kitaro menerobosi malam
tak mampu hentikan
tarian gelisah hujan
ada yang kita sepakati
malam ini lupakan mawar dan melati
keindahan kecil yang sering buat kita lupa
banyak kerja belum terselesaikan
musim terus memburu dan jejak tinggalkan paku
di luar jalanan sunyi mati
tapi jakarta tak pernah hilangkan peta kali
dan mimpi kita tentang perbaikan
semakin membunga di rerumputan
kian gelisah tarian hujan
seharusnya kita berdebat di depan tungku
atau sekadar tergoda menghitung waktu
berapa lama kita dipisah waktu
lalu kebersamaan itu
yang segera terlewati
semalaman kuselesaikan catatan program sendiri
dan suara langkah di antara hujan
ternyata desau angin
yang mencuri segala catatanku
Bogor, Pebruari 1996
405
Fragmen Hujan Pagi
Hujan pagi ini
membawa irama nyanyian bencana
lewati bubungan atap rumah kita
hujan pagi ini
ingatkan masa kanak yang hilang
kita coba menemukannya
lewat tempias di jendela kaca
hujan pagi ini
kirim warna kelabu langit
di jalanan ada tangkis orang kebanjiran
sementara langkah kita terjerat
di akar semak perdu kata
sementara hujan terus menderaikan igau
anak-anak yang rindu pelataran hijau
Bogor, Pebruari 1996
406
Fragmen Hujan Siang
tiada tersisa lagi di balik lembar kelabu
langit ditinggalkan serat-serat cahaya
luruh bersama hujan sesiang
dan orang-orang petualang
menyusuri kota lewat gang-gang
terlalu banyak yang harus diburu
dalam kehidupan ini
hujan siang tak menghalangi
telah basah pepohonan di halaman
bunga-bunga menggigil
berita kota terus bertemperasan di layar kaca
mengabarkan perempuan-perempuan korban peradaban
dan sebuah kesadaran yang terlambat
tentang pentingnya kawasan hijau
diselamatkan dari kerakusan manusia
pasti kita tengah merasa kehilangan
ada yang lenyap terampas dari kenangan
langkah-langkah masa muda
yang menyimpan getar dunia
Bogor, Pebruari 1996
407
Fragmen Tasbih Hujan
seuntai ayat terus diulang
menelusuri butir-butir tasbih
di rimbun hati ia bersarang
hasratkan jiwa salih
hujan menghantar doa malam
membasuh segala dendam
seorang ibu rindukan anak yang jauh
seorang anak berdoa trenyuh
hujan kini menasbih
menyimpan ayat-ayat putih
tiada kuasa kata berdalih
Engkau juga Yang Terkasih
Bogor, Pebruari 1996
408
Saat Menghitung Biji Tanjung
Aku datang ke istana purbamu
bawa bunga dalam eksplorasi warna
mencoba menarikan mimpiku
menghela langkah menjadi jangkah
menuju altarmu pemilik segala purba
Dalam kidung ada gema suwung
saat kuterima biji tanjung
hitunglah karna engkau telah kuberi
katamu dalam sandi
aku mulai menghitung dari kata siji
Sebuah gapura maya
menghela bayangmu sirna
aku semakin cepat menghitung
memanggilmu lewat mantra
pagi kutemukan biji tanjung di pangkuan
Kuta, 1996
409
Balada Sumini,
Perempuan Muda Hilang Mahkota
bocah cilik dari Sragen itu
tumbuh sederhana di kawasan pemukiman transmigrasi
angin sepanjang musim dusun Mulyasari
mengasuhnya setia jadi memanisnya Lingga
Sumini namanya sederhana obsesinya
bisa dapat pekerjaan
terentas dari kemiskinan
dijelangnya Tanjungpinang penuh angan
bekerja di rumah bupati betapa nyeni
pedih perih tentunya sirna ganti pelangi
Sumini senyumnya bunga mohon berkah Illahi
ketika ruas waktu berubah jadi pedang berkarat
petang legam dan Nopember berkhianat
seorang anak manusia lumpuh terjerat
dalam jaring sang bupati seharusnya penyelamat
sesalilah ya Sumini
kenapa penguasa tak berhati malaikat
kenalilah ya Sumini
seharusnya dirimu pintar bersilat
lelaki laknat mampu kaubabat
Sumini merenung panjang
hilangnya kembang cabiknya sinjang
terus lukai hati gamang
racun membusuk dalam bayang hari depan terparang
Sumini perempuan kecil sederhana
hanya bisa menangis
hidup terkais dan tubuh amis
seandainya ia tegas kokoh semangat bagai feminis
siapa berani melecehkannya
siapa berani melukainya
karena ia badai lautan
yang siap menerjang setiap penghalang
yang siap menumpas hati telengas
yang siap merajang hasrat terjerang
Sumini terus berpikir
jalan seperti tanpa akhir
Sumini terus mengigau
dulu Riau anggun memukau
Lancang Kuning sarat menghimbau
kenalilah para datuk dan para tun sri
kini tinggal dalam lembar legenda
di sekitarmu tersebar mosaik kenyataan
dan simpang siur pemberitaan
mengalir dari setiap kotak kaca
gemerisik dari aneka media massa
lalu aku harus bagaimana
tanyamu ngungun hatimu getun
tapi kuda maskulin telah terlanjur lepas kendali
menagih madu sekian hari sekali
Sumini kenapa tak mampu kau pasang kuda-kuda
lalu pilih lapar ketimbang serahkan dada
Sumini kenapa tak mampu berkelit
lalu mengirim musuh ke negeri wingit
Sumini meratap ulang berulang
di tahun emas negeri tersayang
siap menyongsong hari depan
yang kelabu adalah bayangan masa lalu
yang terang adalah lukisan masa datang
Sumini mengerang panjang
Riau, Riau, hidup siapa yang kemilau
Riau, Riau, hidup siapa yang jadi brayo*)
Riau, Riau, hidup Sumini nyata terlaso
ketuk hati segenap putri pertiwi ya Sumini
cari bara semangat jiwa
jika kata telah diubah dan nanah dikata fitnah
catatan agung tertutup bagi munafik
dari sang lidah yang meluncur batu akik
mari kubasuh lukamu ya Sumini
meski air leri terperas dari puisi
Bogor, Desember 1995
*) brayo adalah sejenis kacang polong yang rasanya sangat pahit
410
Bayi Perempuan dalam Impian itu
Kunamakan Kemerdekaan
Menjadi impian sepanjang musim
adalah sepasang mata bening
seraut wajah tanpa dosa
gerak lembut sarat makna
hadir dari rahim waktu
yang menyatu dengan rahimku
ketika hari-hari makin menjauh
terbangkan angan-angan dan segala
melihat luas lahan kehidupan
menyimak padang-padang perburuan
ke gemuruh laut arungan kubawa dia
ke Mendut langit berkabut kubawa dia
dia harus belajar tentang suara
anak manusia yang sarat beban
dari katarsis ke katarsis
dia kubawa
dari pencarian ke pencarian
dia serta
bayiku menyatu tanpa tangis
karena
dia ruhku, zatku, sepercik ujud
Kuasa-Mu
Mendut, 1995
411
Veteran Tua dan Bendera
Di langit telah berkibar bendera
tapi orang-orang masih bertanya
tentang kemerdekaan lain
yang tetap menjadi impian
:masalahnya sederhana
(kata seorang veteran tua)
:itu bukan untuk dijawab tapi dihayati
sepenuh jiwa raga sampai mati
kenapa orang-orang mesti gusar
membiarkan hati ngembara
dan jauh tersasar
Sebenarnya kita telah salah mengeja
dan makin salah memberi makna
:kembalilah ke dalam lubuk nurani
temukan butir-butir sifat Ilahi
(orang-orang tertawa)
:kalian tak percaya
(tanya veteran tua)
:di sini ada
ditikamnya dada
ditampungnya darah disiramnya bendera
warna merah mulai pudar itu
kembali nyata
veteran tua memeluk bumi
bendera memeluk angkasa
Bogor, 1995
412
Balada Putra Sang Fajar I
Setiap pagi bangkit di ufuk timur
sentuhan alam murni
melubuk di kedalaman nurani
fajar mengantar matahari merah
puja-puji kemuliaan Ilahi
alam, satwa dan imaji
menyatu pada bayangmu, bapa
abadi dalam ingatan masa bocahku
lima windu silam di kota kecil pantai utara
jiwaku menyapa jiwamu
mencari karismamu pijar
matahari bersaksi anak manusia bersaksi
:Ketika kau bangkitkan rasa berani
terus melangkah ke satu arah
gapura Indonesia merdeka
dan hasrat sejahtera
tatap pandangmu arah cakrawala
Rajawali dan merpati
seakan melintas di angkasa
kutangisi haru bangga
bunga tanjung melati dan gondosuli
kuronce dalam imaji buatmu, bapa
Bogor, 1995
413
Balada Putra Sang Fajar II
Saat tiba masa paling sulit
sejarah jadi padang ilalang tersabit
kutangisi diam-diam bias wajah buram
namun semangatmu kugenggam
musim bergulir sejarah kuak tabir
puji Tuhan karismamu utuh kembali hadir
kata-kata bernuansa
dan syair-syair dari getar sukma
kupetik dari kebun nurani
pengganti bunga tabur di pusara
angin ombak embun dan kabut
menyatu di hari ini
mewartakan baladamu Putra Sang Fajar
Aku mewakili
anak-anak Indonesia masa itu
langkah-langkahku datang
dari Aceh sampai Irian
nafasku angin pantai sampai pegunungan
suaraku mencari gema suaramu
kucermati mimbar putih itu
dengan pandang mata bocahku
jiwaku bernyanyi balada Putra Sang Fajar
Bogor, 1995
414
Prasetia Cucu Ki Suto Legowo
Dia mengaku cucu Ki Suto Legowo
lahir dari perempuan gapura bunda
namanya tersimpan sepanjang kurun
berada di antara ombak-ombak laut
berada di antara kampung tua merah hitam
cintanya tanah merdeka
meski kerap hadir bencana
Sampai denyut jagad menyatu pada hati
sampai cakrawala menyatu pada dahi
prasetia cucu Ki Suto Legowo
Bendera berkibar di mana-mana
dan berkibar di hatinya
janur kuning beruntaian di gapura
dan beruntai di lehernya
mega-mega berlintasan di langit
dan berlintasan di angannya
di depan istana usai upacara bendera
dia melihatmu dan beburung terbang ke matahari
Bogor, 1995
415
Tanah Air yang Simpan Mosaik Peradaban
Dia tumbuh jadi perempuan matahari
selalu berlayar dengan dayung besar
dihantar angin kembara
hasratnya dekap dunia
sambil memanggul kampak berkarat
Pantai-pantai disalami
dermaga-dermaga dipacak penjor
janur kuning dan umbul-umbul
dikikis segala pedih
langit berkaca di laut jernih
Dia mengaku anak pawang
di dadanya angin bersarang
urat nadi jalan setapak hijau pematang
hutan tropis merimbun di rambutnya memutih
tanah air kinanti simpan mosaik peradaban
Bogor, 1995
416
Prasasti Cinta Negeri Perempuan Sederhana
Angin pagi agustus ringan berhembus
kabarkan cerita lama tentang bapa
hilang bersama badai perang kemerdekaan
bapaku lelaki bukit padas
dari timur, semangat ruh jagad
lelaki dari langit
mulut simpan kata-kata wingit
kurindukan kehadirannya
setiap pagi agustus tiba
tapi dia tak pernah kembali
hati berkata
bapa telah menyatu pada bumi
Pagi berangin mentari di pucuk randu
bapa bicara pada semesta:
anakku perempuan cilik
mata bening hati akik
kelak dia kuat bak Kalinyamat
kelak dia mengerti bak Kartini
kelak kutitipkan hari-hari
getar nafas perjuangan
sejak itu bapa hilang
kutanam prasasti di padang-padang
sambil menghitung-hitung bintang
kukirim tembang
Bogor, 1995
417
Abstraksi Baru Anak Indonesia I
Ditatapnya lama-lama
genangan panjang membelah kota
mengalir lamban warna tak tereja
gelap kecoklatan
kelabu kehitaman
namanya entah sungai entah bengawan
Sementara angin menyapa permukaan
apungkan plastik, dahan dan
mimpi masa depan
terus menuju muara
sebentuk perahu daun
ada di tangan
membawa mimpi Indonesia
Bogor, 1995
418
Abstraksi Baru Anak Indonesia II
Anak kecil pinggir hutan sunyi
menatap langit Indonesia
ingin tembangkan hutan hijau kemilau
ingin renangi kaki bening berkeliling
o, hari merdeka
tanah merdeka
jiwa merdeka
semua luar biasa
Cuaca berubah redup temaram
burung kecil yang tertinggal
dalam sarang tersisa kaku
burung besar terbang nanar cari habitat baru
o, hutan merdeka
kini diburu
anak kecil menatap langit
mata basah senyum raib
Bogor, 1995
419
Pesan Bapa Sebelum Pergi Berjuang
Jangan sampai engkau henti
menabur benih di tanah perdikan
jika melangkah pantang kembali
jangan sampai engkau terlena
hari tinggi masih berdawai
jaga jiwa jangan lunglai
Bapa, bapa, aku berjanji
kata-katamu bunga melati
Jangan sampai engkau resah
jadi saksi kebenaran sejarah
tatap langit penuh gairah
jangan sampai engkau mundur
nanti bisa jadi jamur
aku ingin engkau jadi anggur
Bogor, 1995
420
Berlayar Sepanjang Pantai
Berpikir tentang Kemerdekaan
Sebuah tumbal paling mahal
bagi bendera di angkasa hari ini
adalah air mata tak pernah sudah
iringi kepergian tanpa kembali
saat mimis iris dada tipis s’orang lelaki
sementara orang-orang tak beriman
diam-diam lakukan transaksi pengkhianatan
kini kueja kembali makna kemerdekaan
di antara ladang bunga
dan kampung-kampung gusuran
anak siapa menangisi air matanya
tlah jadi genangan bekas galian
:mari berlayar spanjang pantai tanah air
akan kau mengerti kemerdekaan yang lain
angin berhembus di sauh kepucatan
ombak sentuh kakimu yang berjuntaian
lalu kau berseru ke arah matahari
seleret burung melintas tinggi
kebebasan yang hakiki milikmu
sementara perahu kita terus melaju
:jangan kembali ke daratan, pintamu
aku akan terperangkap dan menangis lagi
aku mengerti, ibumu laut bapamu langit
dan kita kuik elang sisa peradaban
Bogor, 1995
421
Kesaksian Seorang Istri Veteran
Sepanjang musim tak pernah berubah
suaranya itu matanya itu
pekik rajawali
kilau matahari
keduanya kekayaan langit
dia lelaki hati mimis
dari bui ke bui tak habis-habis
jenawi dan senapan sahabatnya
pernah musuh jadi ilalang olehnya
jangan ubah dia punya hati
cintanya satu hanya
tanah raya yang merdeka
dia lelaki kuda sembrani
jiwanya angin sabana dari tenggara
Mastodon-mastodon jadi fosil di nafasnya
pengkhianat jadi reptil di suaranya
pendosa jadi berhala di sentuhnya
dia ada di mana-mana dalam sosok lelaki
tabah, tak pernah sangsi kebenaran sejarah
Bogor, 1995
422
Menyusuri Lorong Kota
Mendengar Bocah Menembang Resah
Suaranya tak jelas di antara
lengking nyaring penjaja minyak
kaukah itu anak kecil dalam anganku
suaramu mewakili resah zaman
perjalanan masih panjang
mengantar abad dan musim
kubiarkan kaki melepuh
bunga rumput di baju lusuh
barangkali cinta sesiapa akan hadir
di antara bercak merah mentari petang
Suaranya kian mengambang
kulihat hutan terbakar kembali semi
kulihat sungai berlimbah bening lagi
setiap kupuja engkau Ibu Kemerdekaan
dalam niatan kuciptakan lahan-lahan
agar lembah penuh satwa
agar jiwa penuh taqwa
tapi aku hanya sendiri
di sekelilingku raung gergaji
Ibu kembalikan aku dalam rahimmu
Aku terpana di lorong kota raya
suara anginkah telah menerpa dinding tua
memantul lindap ke lubuk jiwa
Bogor, 1995
423
Nyanyian Zaitun Romanza Perdamaian
saat kau tembangkan syair zaitun
tumbuhkan benih rembulan
ditaburkan kepak merpati
dihijaukan cahaya matahari
tumbuh daun di rantingnya
di tanahmu terbentang lembah merdeka
orang-orang lembut perangai dapatkan
kiriman bunga di depan pintu pagi hari
lalu menyapamu sambil menawarkan harum kopi
adakah kau sahabat masa sekolah
seorang perempuan di seberang jalan lambaikan tangan
anak-anak berlarian di rumputan
sementara matahari
masih di balik pohon yangliu
di sini busur panah telah menyatu pada lengkung langit
gamang telah lama dikubur di bukit-bukit
mereka terus melambaimu
panggil angin yang bersarang di dahan rindang
seru seorang bocah matanya bening bintang
indahnya hari jika tanpa dendam sejarah
di jalanan orang lewat dan berbincang
Bogor, 1995
424
Monolog Seorang Anak Indonesia
Bendera masih berkibar di udara
peluru di dadamu ikut menebusnya
kuzikirkan doa-doa sederhana
mendesirkan Karisma-Nya
kemerdekaan bagai pohon tumbuh
kemerdekaan bagai plaza bermozaik
ada gerak, ada keindahan
meski musim jadi dataran berkabut
aku terus bersaksi tanpa ratap
akarku tak tercerabut
sesekali jika aku tak mengerti
pada kenanganmu jawab kucari
lalu menyusuri jalan setapak
hijaukan lahan-lahan dalam ingatan
birukan langit pada mata menyipit
utihkan kembang randu tanda kemarau
sambil mengeja makna kemerdekaan
sambil tengarai tahun-tahun perjuangan
Dan aku terus bersaksi
dan aku terus berdoa
kurasakan angin berhembus
bendera melambai menyapa
orang-orang selesaikan upacara
Bogor, 1995
425
Dalam Abstraksi Hujan Indonesia Merdeka
Seorang anak Indonesia
berdiri menyimpan ombak samodra
ada pesan di antara gemulungnya
‘lupakan segala kutukan
jika hati putih engkau Kekasih Tuhan
urat nadimu arus bengawan
apungkan harapan-harapan
simak langit simpan janji wingit
lingkar hijau abstraksi cinta
tanah merdeka
menghidupkan gunung suwung
menghidupkan harapan mendung
menghidupkan semangat terkurung
hitung upacara-upacara telah digelar
jadi merjan-merjan kehidupan
tapi jangan hitung nisan-nisan di makam
karena ia ujud kesetiaan
kau diberkahi untuk moyang
jantungmu penuh kidung kaya irama
hutanmu kan semi di mana-mana
mesin gergaji henti bekerja
sungaimu bening di mana-mana
limbah hitam kugulung sirna
dalam abstraksi hijau Indonesia merdeka’
Bogor, 1995
426
Ketika Angin Berhembus
Bendera Berkibar Semangat Mekar
Ketika angin berhembus bendera berkibar
terdengar pesan itu:
‘jangan henti wangikan negeri
Sudah melangkah pantang kembali
Sang Ratu ada dalam jantungmu
Pawang bumi mengasuhmu’
Ketika angin berhembus bendera berkibar
seorang anak berjanji
pada bapaknya almarhum
sambil menatap tiang bendera
di halaman depan istana
semangatnya mekar:
‘bapa janjiku ada
dalam kelopak umur
dalam lubuk kehidupan
dalam Berkah-Nya jua’
Bogor, 1995
427
Perjalanan 1
ada apa di lekuk jejak langkahmu, nang
kulihat orang-orang anak kurun
berjalan tanpa tinggalkan jejaknya
kau terhuyung lupa bahasakan arah
natap tanah warna perunggu
debu lekat di tumit
padang kembara selebar lampit
ada apa pada suaramu, nang
kulihat orang-orang anak kurun
susupkan pekik pada bisikmu
kau gelisah raba urat di lehermu
sementara orang-orang cendekia
cemaskan gelombang tanpa nama
lalu cipta bilik-bilik
amsal-amsal hilang dari ejaan
perjalanan itu sendiri
Bogor, Oktober 1995
428
Perjalanan 2
dunia terayun di ujung bunga, nang
impian rapuh terayun di mega-mega
orang-orang kubur kata perang di padang-padang
anak-anak menggambar merpati terbang
di dada telanjang, sementara angin berdesing
dan bencana mendera
kau terus melangkah
laut dan langit satu epigram
perjalanan tembangkan
harapan jangan sandarkan
dendam sukma redakan
murka jiwa baringkan
Bogor, Oktober 1995
429
Errata Sebuah Malam
anak-anak tumbuh di antara semak malam
diramaikan cahaya bertebaran pada mata
dinihari suara-suara terus mencuri hening
anak-anak berubah jadi boneka dungu
tiba-tiba malam hilang bentuk
bulan hilang warna
bintang hilang cahaya
angin hilang desir
malam-malam tumbuh di antara kutuk zaman
diramaikan doa bertebaran tanpa makna
udara bertuba para demagog racuni amicitia
orang-orang berubah jadi ganggang
tiba-tiba
kuda cari ringkiknya
malam cari kidungnya
keris cari lekuknya
hasrat cari bangkitnya
errata sebuah malam
ubah mimpi peradaban
saat terjaga kita ada di pelataran
tubuh berlumut urat bersemut
errata sebuah malam
Bogor, Oktober 1995
430
Surat Seorang Anak Pulau
seorang anak menulis surat kepada
malaikat yang pernah ditemui dalam mimpi
penyelamat pernah diceritakan gurunya yang penyakitan:
pulau ini kian sepi hari ke hari
sejak guru tambah sakit
segala apa terus membelit
ketika senja hilang nuansa
laut dan ombak tak menyapa
angin mengoyak udara
sekolah kami roboh
sisakan kenangan pahit dan senyum bodoh
anak-anak kembali melaut ikut bapaknya
perempuan merajut jala di teritis rumah
guru rindu pulang tanah kelahiran
di daratan, namun tak apa pun dia punya
sesiang aku menangis panjang di sisi baringnya
doa apa lagi harus kulantunkan
Bogor, Oktober 1995
431
Jakarta 95
manakala
bumi mulai buram hijaunya
manakala
langit mulai buram birunya
manakala
musim mulai tak menentu
penyair
temukan yang hilang itu
di lubuk
hati sendiri
manakala
kota merimba beton ke beton
manakala
bantaran sungai memadat rumah
manakala
musim mulai berdahak
penyair
temukan senyum mentari pagi
di hampar
jiwa sunyi
Jakarta yang dikejar
Jakarta yang empati ambyar
Jakarta yang janji tak mekar
Jakarta, Oktober 1995
432
Mengenang Serayu
Wajah-wajah mengapung di hulu
mencari muara
matahari coba berkaca
di garis-garis arusnya
lalu wajah-wajah dan matahari
menyatu dalam tembang serayu
Membawa orang-orang
hanyut ke masa silam
saat kehijauan simpan harapan
saat kebeningan simpan kesetiaan
saat kita saling menimang
suka cita masa kanak
Semua tlah menjadi bias-bias
tersisa dalam macapat Banyumasan
terasa sulit hadirkan kembali
saat Serayu ngalir dalam nadi
dan matahari hadir di hati
dan serulingmu hadir di serambi
Bogor, Oktober 1995
433
Tembang Risau Semak Bakau I
kenangan panjang
tujuh musim lampau
sempat kau apungkan
di celah akar bakau
teluk hijau kemilau
tumbuhan bunga hasrat
kini kau tatap risau
terhapus angkara niat
ada yang cepat berubah
semak bakau punah sudah
senja menjauh kian luruh
semak bakau jadi megatruh
Bogor, Oktober 1995
434
Tembang Risau Semak Bakau II
semak bakau tinggal kenangan
sejak itu kau kehilangan
kau untai merjan jadi impian
teluk hijau dulu harapan
lelaki muda pantai Utara
jiwanya kini angin kembara
sejak itu matanya bara
musim pun enggan bicara
langit senja kian buram
semak bakau jadi epigram
dendam hangus di persimpangan
hati sepi jadi tembangan
Bogor,Oktober 1995
435
Balada Lelaki Urban
di awal musim basah
tembang cintamu bersarang
dusun hijau jauh sudah
surau tua memanggil pulang
pelan merambat di tangga langit
harapan yang dulu bangkit
kini telah jadi elegi
hujan membasuh umur lelaki
lalu segalanya berulang
ada derap ada ratap
lelaki urban jaman tualang
usir bencana pukul tifa
lalu segalanya berulang
ada gerimis di pinggiran
lelaki urban jaman badai
anak angin yang terlalai
Bogor, Oktober 1995
436
Vibrasi Terumbu Karang
siapa masih menjaga malam
sendiri dan kedinginan
kaukah itu ya nelayan
menjala langit tanpa bulan
kau coba memantik api
rindu hangat punya negeri
namun hanya bintang sepi
memahami gemuruh hati
rimba beton tercipta sudah
terumbu karang menyusul punah
kau gelisah dalam gelepar
di antara kepak kelelawar
terumbu karang terumbu karang
di kaki ombak masih kau cari
terumbu karang terumbu karang
di palung hati kau tangisi
Bogor, Oktober 1995
437
Catatan Pagi I
jalan setapak
dan rumput basah
selalu sabar
nunggu langkahmu
di antara gerimis pagi
kau tangkah isyarat itu
gerimis terus memanggilmu
dengan bahasanya sendiri
langit simpan mendung
semak simpan perdu dan daun
kau biarkan alam murung
sepi bincang
sepi senyum
Bogor, Oktober 1995
438
Catatan Pagi II
siapa melambaimu
dari seberang
di antara gerimis pagi
ada yang hantar pembicaraan
kau dengarlah
kau simaklah
sebentar lagi kita tiada hutan
katanya sendu
terus berlalu
kau masih tertegun di pintu
sementara gemuruh mesin
mulai mengoyak pagi
mulai mendera hati Bogor, Oktober 1995
439
Semak Bakau Catatan Satu
masih ada tengaranya
bincang panjang itu
tersangkut di semak hijau
tumbuh jadi hasrat kita
teluk hijau kemilau
anak nelayan saling himbau
musim luruh
ada yang berubah cepat
di sekitar kita
akar bakau pernah simpan
perbincangan itu
tak lagi kita temukan
Bogor, Oktober 1995
440
Semak Bakau Catatan Dua
aku banyak kehilangan
sewindu ini
katamu sambil menahan
rasa haru tiba-tiba
jadi semak bunga ungu
di sela tulang igamu
muara angke
muara karang
kau susuri diam-diam
kau tetap kehilangan
ketika elegi
kau ubah jadi epigram
pandang suwung jadi buram
muaramu mimpimu
destarmu yang tercabik
Bogor, Oktober 1995
441
Perjalanan
ada apa di lekuk jejak langkahmu, nang
kulihat orang-orang anak kurun
berjalan tanpa tinggalkan jejak
mereka pasang kakinya pada jejakmu
kau terhuyung lupa bahasakan arah
natap tanah warna perunggu
debu lekat di tumit
padang kembara selebar lampit
ada apa pada suaramu, nang
kulihat orang-orang anak kurun
susupkan pekik pada bisikmu
kau gelisah raba urat di lehermu
sementara orang-orang cendekia
cemaskan gelombang tanpa nama
lalu cipta bilik-bilik
amsal-amsal hilang dari ejaan
perjalanan itu sendiri
Bogor, Oktober 1995
442
Percakapan dengan Angin
ceritakan tentang berita kota
yang membuat hati jelaga dan nafas bara
semusim ini aku tengah ngelangut
kau bawakah nafas anakku
ingin kusatukan dengan nafasku
seperempat abad aku kehilangan dia
musim-musim telah menyembunyikannya
perempuan yang rindang dedaun
aku angin dari silam kurun
di dalam catatan damba anak manusia
yang senantiasa mencari biyungnya
Bogor, 1995
443
Percakapan dengan Hujan
ada ritmis menepis-nepis kaca jendela
menyapa pagi dengan bahasanya sendiri
perempuan memang muara menjelang laut
segala tertampung awalnya hanyut
lalu kata-kata dan makna-makna
mengemas dirinya sendiri
memasang sayap-sayap untuk mengejar pelangi
ya, muara akulah itu
hujan semusim berkepanjangan
tak membuatku ragu nampung bebatu
hujan memahami dan terus menderas tanpa henti
Bogor, 1995
444
Catatan Sungai Jepara I
ketika senja dan warna
tak lagi beri nuansa
ketika laut dan ombak
pada pantai tak menyapa
seseorang masih bersaksi
di beranda rumah utara
coba tak anjak
saat matahari lunak
ketika angin dan burung
tak lagi beri suara
simpan gelisahnya
enggan bersarang
sungai sepi perahu
seseorang masih diam di beranda
sungai Jepara mengalir di mata
lubuknya sebuah arah titik Utara
Jepara, Juni 1995
445
Catatan Sungai Jepara II
anak siapa menyusuri
sungai Jepara senja-senja
bayang-bayang kota
menyatu dahi tembaga
dan langit sepi
kepak camar lintas kelelawar
geguritan tercecer di jembatan
selalu ada rasa yang hilang
setiap musim mengundang pulang
hiruk pikuk teknologi jadi api
membakar langit senja
membakar semak sungai
membakar jembatan dan kenangan
anak siapa menghitung
pohon-pohon tanpa suara
dan menidurkan Jepara
dalam catatan sungai
bisakah tenang meski
penjajahan kini catatan panjang
sementara kemerdekaan
lebih indah dalam tembang
perlahan menjadi bayang-bayang
Jepara, Juni 1995
446
Angin Utara Bertiup Lembut
di Jalan Lurus Kotaku
Di jalan lurus kotaku
pohon-pohon berjajar ayu
mirip lukisan dalam buku
bagian dari masa kecilku
Di jalan lurus kotaku
pohon-pohon tetap hijau
tempat hinggap burung berkicau
angin bertiup hilang risau
Di jalan lurus kotaku
angin utara masih setia
mengipasi hari gersang
mengipasi mimpi panjang
Jepara, Juni 1995
447
Abstraksi Jiwa lapar
laparku – bulan lapar cahaya
santri kecil pulang berisya
berikan binar matanya
laparku - matahari lapar sinar
gadis dusun di pancuran
berikan denyar jantungnya
laparku - bumi lapar kehijauan
penyair tua di pinggir kota
berikan semaian mimpinya
laparku - insan lapar kejujuran
rajawali di udara
berikan bulu dan sayapnya
namun laparku tak hilang jua
tak henti mencari dan nelangsa
karena temaha di jantung utara
1995
448
Aku, Muria dan Laparku
ketika IBU lapar
kuberikan jua
darah dan tulangku
ketika BAPA lapar
kupersembahkan
nurani dan zadku
ketika teknologi lapar
tiba-tiba aku gagu
ketika alam lapar?
Jepara, Mei 1995
449
Sajak Lapar 95
aku lapar
tapi tak bisa rakus
karena laparku sopan bagai hutan pinus
aku lapar
tapi tak bisa beringas
karena laparku lembut bagai daun adas
aku lapar
tapi tak bisa temaha
karena laparku anggun bagai mahkota
aku lapar
tapi langit jiwa terang
karena laparku bijak bagai pawang
aku lapar
tapi bumi hati wangi
karena laparku sederhana bagai melati
aku lapar
tapi ikhlas tahan lapar
karena laparku lurus bagai pendekar
aku lapar
tapi lapar dunia kembara
karena laparku embun lembah utara
Bogor, Mei 1995
450
Tentang Orang-Orang Cikal Bakal
cikal bakal Ujung Watu
ya moyangku
bertanya lewat isyarat angina Utara
apa orang-orang tak tahu
indah hidup jika tanpa rasa cemas
mengeram, dalam lubuk jiwa
yang menetaskan bencana
cikal bakal Ujung Watu
ya moyangku
hadir pada malam tanpa kalam
bisikkan naga kepala tujuh
sembunyi dalam rakus manusia
mencacah yang telah pecah
membatukan yang telah batu
cikal bakal Ujung Watu
ya moyangku
dalam kesiur angin abad
puja bumi lestari tak kan sirnakanmu
karena mata rantai kehadiran
ujungnya pada satu gapura
sangkan paraning dumadi
Bogor, Mei 1995
451
Sajak Pohon-pohon di Muria
adalah pohon-pohon hutan
yang tumbuh tak kenal musim
matahari pijar dan membakar
tak halangi bunga dan buah
muncul di celah ranting kehidupan
dan bayi-bayi suci
muncul dari rahim perempuan bersaksi
pohon-pohon hijau masihkah bertahan
jika kerajaan radiasi berdiri
matahari pagi masihkah bening
jika udara jadi sarang embrio bencana
reranting hijau di Muria masihkah semi
jika Lemah Abang bangkit meradang
Gusti pada-Mu jua kami memohon
selamatkan harmoni lembah Utara
Bogor, April 1995
452
Di Ufuk Timur
ia lahir dari rahim semesta
muncul dari lubuk kehidupan
tumbuh seiring putik mekar bunga
bersaksi sejarah sepanjang hayat
sentuhan putih Sang Pencipta adalah dia
senantiasa salami buana
berkidung tentang burung, jeruji dan gapura
bersyair tentang gunung dan samodra
gantikan kehadiran bintang langit tenggara
jadi kekasih kehidupan
dan padang rumput melembut
saat pandangnya menghapus kabut
dusun seni penuh janji
dan langkah-langkah mendaki
dari arah jalan raya
terdengar tutur dan tawa
:kita harus punya sikap pemihakan
anak-anak telanjang mendengarnya
perempuan-perempuan sederhana menyimaknya
lelaki-lelaki sahabat mengenangnya
seperti padi mengenang pematang
seperti bunga rumput mengenang padang adalah dia
senantiasa salami hatimu
berkidung tentang harapanmu
gantikan mesin dan pedang
dengan bunga kasih sayang
romanza kaum perkasa Bogor, Mei 1995
453
Doa Pertobatan 95
dhuh Gusti Sang Maha Asih
mohon ampun dan belas kasih
hamba telah jadi Durna
lupa arah dan segala
dhuh Gusti Sang Pemberi Hidup
mohon cahaya hati redup
hamba ini insan pendosa
ciptakan derita bagi sesama
dhuh Gusti Sang Maha Murah
mohon petuah jiwa serakah
hamba hanya ngejar nilai dunia
bikin poranda bagi Muria
dhuh Gusti Sang Maha Agung
mohon hamba tak terkutuk
di Muria hamba pusing duri
di Muria hamba merasa punya taji
Bogor, April 1995
454
Lemah Abang Teratak Agung I
Lemah Abang:
teratak agung
luka sejarah
Syeh Siti Jenar
antara kebenaran
antara keraguan
antara kesaksian
Lemah Abang:
nama tua anggun
hapus dari ubun-ubun
lama lumbutan
lama ambyar
merjan dan kemuliaan
terbawa Syeh di keabadian
Lemah Abang:
di umur-umurku
menjelma kisah baru
galau risau galau haru
Syeh di sini anak cucu
Syeh di sini ruh itu
Jawa dan mahkota bencana
Bogor, April 1995
455
Lemah Abang Teratak Agung II
orang hanya mencatat pembaruan
orang hanya menghitung angka jantan
rela merejam rahim ibu bumi
bapa angkasa natap diam di cakrawala
terpana aku
ya moyangku
dalam otakku
muncul naga kepala tujuh
siap menghordah
sisa sejarah
ya moyangku
terpana aku
kini ramai dalam bincang para bijak
ruh moyangku bangkit hilang hening
wahai Wong Suci penyimpan warna gadung
jangan batukan Lemah Abang di Ujung
Bogor, April 1995
456
Macapatan Lemah Abang
Teratak Agung dalam Bayang I
sebuah nama
seruas sejarah
sekuntum kebenaran
jadi luka dan darah seorang Syeh
tersembunyi dan teramat dalam
di semenanjung dan Utara
bersaksi gunung
dan ladang jagung
Lemah Abang teratak tua
sebentuk titik merah
di antara kehijauan
menyeruak berupa impian besar
tanpa hati nurani demi teknologi
ruh moyang bangkit dari gelap wingit
satu saat gunung ambyar langit pijar
jika ada hasrat yang ingkar
Bogor, April 1995
457
Macapatan Lemah Abang
Teratak Agung dalam Bayang II
Lemah Abang
teratak agung dalam bayang
kutuk purba sepanjang abad
sama-samar terdengar
suara Sang Guru
“sembahyanglah dengan hatimu
jangan sembahyang dengan lidahmu
lihat lembah dengan batinmu
jangan lihat dengan matamu
hitung bijak dengan nuranimu
jangan hitung dengan mesinmu”
suara-suara terus merayap
lewati gigir gunung ke langit suwung
tanah Utara hijau alami bersenandung
meronce musim
membuahkan kehidupan
saudara-saudaraku
meraciknya dalam macapatan
Bogor, April 1995
458
Percakapan Dahlia
Aku ingin tumbuh terus, di sini
atas nama segala yang lestari
seperti bukit tak pernah bergeser
dari ufuk timur
dan matahari bangkit dari balik
gunung hijau berkabut pagi hari
aku ingin hadir terus, bersaksi
pada musim, warna, rasa
smarak dami anak manusia
manakala kumekarkan mahkota
(dahlia mekar perdana bercakap
dengan pagi simpan harapan)
Aku ingin abadi dalam syair pepujian
disenandungkan anak manusia
selepas dini hari dan hati rindu
sentuhan Illahi dalam suaranya bening
aku ingin smaraki lembah raya
pada kanvas pelukis sederhana
senantiasa rangkum Kasih-Nya
dalam garis dan warna-warna
aku ingin abadi dalam kebun hatinya
(dahlia mekar tua bercakap
dengan musim harap takdir lemukjizadan)
Bogor, April 1995
459
Abstraksi Orang Salih
ketika sungai lupa arah surutnya
ketika hujan lupa bumi tampungnya
ketika rumah lupa pintu-pintu yang terbuka
ketika orang-orang lupa letak mata dan hatinya
orang-orang salih
kilau embun yang kau rindu di siang panjang
sementara angina mati dan teknologi merusak janji
orang-orang salih
biru gunung yang kau rindu di siang panjang
sementara alam satwa menjauhi manusia
orang-orang salih
beranda hening yang kau rindu aroma kemuning
sementara gempa porandakan kota-kota
ketika sungai lupa
ketika hujan lupa
ketika rumah lupa
orang-orang salih sebutir bintang di langit tuhan
Bogor, Maret 1995
460
Abstraksi Studio
Mimpi mimpi berlompatan dari bilik terkunci
orang-orang yang merasa terejam
mimpi tersangkut di topeng-topeng
bergoyang mengejek sukma yang tak suka tembang
dan saudaraku yang alpa
tiba-tiba seperti lelaki kehilangan baju di tengah kota
suara-suara berlopatan dari lidah terikat
orang-orang yang merasa tercekat
suara terhanyut di kali bening
lembak lembak mengejek hati yang masih bercabang
dan saudaraku yang setia
tiba-tiba menebusnya dengan air mata
dari abstraksi ke abstraksi
kita senantiasa mengemas kehidupan
tak perlu mencaci hujan
kita masih punya rembulan keinginan
tak perlu mencaci akik
kita masih punya pradhaning yang manik-manik
penari muda lereng merapi
lidahnya menyimpan aroma bunga gondosuli
Mendut, Maret 1995
461
Abstraksi Lukisan Kaca
siapa bersembunyi dalam lekuk-lekuk bening
raut wajah wajah wayang dalam pigura
kusaksikan terjemahan kesabaran
mengalir pada goresan
siapa pemilik kesabaran dalam ruang
kupahami terjemahan kehidupan
mengalir pada sapa pertama: mbakyu
mahkota bukan yang kau cari
aku bersaksi pada ruang
Mendut, Maret 1995
462
Abstraksi Jiwa Murka
lengan-lengan terpotong berdarah
sepatu larsa berdebu basah sendiri
dan senjata-senjata tak bertuan menangisi
induk lambing asal muasalnya
trauma panjang tak berkesudahan
menggilas bintang di langit hatimukah
hingga kegelapan tak terenyahkan
sementara matahari tetap bersaksi
seribu hening menebar di guguran bunga mahoni
balutkan pada luka jiwa murka
langit ruang merdeka
bagi jiwamu yang kembara
Mendut, Maret 1995
463
Bunga Sejarah
(bagi sang proklamator)
Di laut dialah badai
di langit dialah matahari
di tanah merdeka ini
dialah pohon yang akarnya
tak pernah tercabut
dari buminya
kita selalu memilikinya
sejarah telah memberi bunga
segala epos, ode, balada sampai elegi
tak sempurna merangkum perjalanan paling indah
karisma, cinta dan cita-cita
Suaranya masih di udara
menyulut bara di dalam dada
di laut di langit di tanah merdeka ini
dialah segala warna menyatu di bianglala
Bogor, 1994
464
Usai Peringati Proklamasi Kemerdekaan I
Senja bendera diturunkan dengan upacara
langit temaram lelampu berpendaran
Jakarta terus berderam
lalu lalang tanpa henti
sementara mulut-mulut terkatup
wajah-wajah tak mudah diterjemahkan
barangkali luput dari tatapan
sesosok jiwa kembara menatap di kejauhan
dia bukan siapa-siapa
yang menghadiri apa-apa
hilang bersama raungan kota-kota peradaban
yang mabok kemerdekaan
Dia hadir dalam warna hitam saudaranya
tandanya dia dalam cemas dan duka
sementara mulut serukan kata merdeka
dia usung derita peradabannya
namun semua harus terus melangkah
di antara pengkhianat
Senja bendera diturunkan dengan upacara
matanya buram jiwanya lebam
Jakarta kian berderam
Bogor, 1994
465
Usai Peringati Proklamasi Kemerdekaan II
Orang-orang bertemperasan di mana-mana
langkah tersangkut di umbul-umbul
pikiran lepas dari buhul-buhul
orang-orang mabok kemerdekaan
lupa ajaran hidup benar
jadi rakus dan temaha
memangsa segala
orang-orang makin mabok, berkeliaran
dalam rimba tercipta di angan sendiri
mereka bicara lupa gramatika
merdeka permainkan norma
mereka buat penafsiran baru
tentang makna kemerdekaan
Merdeka merebut yang bisa direbut!
(Tuhan, termasukkah air mata kami?)
Merdeka bikin yang baru buang yang lama!
(Tuhan, termasukkah warisan leluhur kami?)
Merdeka sulap huta beton di kota-kota!
(Tuhan, termasukkah tebang pohonan kami?)
Orang-orang bertemperasan di mana-mana
bendera-bendera di trotoar
belum semuanya habis terjual
cinta negeri ada yang ada yang kental
Bogor, 1994
466
Usai Peringati Proklamasi Kemerdekaan III
Antara mimpi tragedi kujejer parodi
sambil menatap langit
menyimpan kibas bendera
nyanyian sukma bangkit
bangun harapan jadi bukit-bukit
kemerdekaan ini, saudaraku
jelma panorama lain sepanjang windu
sepotong ambivalensi
digapit-gapit kontradiksi
Antara mimpi tragedi kujejer ilusik
kutembangkan dan kutangisi
sementara orang-orang sederhana
sesaat lupa hujan air mata
manakala pasang gapura
menulisi: Negeriku Jaya
kemerdekaan ini, saudaraku
selembar mosaik raksasa
orang-orang riuh percikkan warna
Bogor, 1994
467
Usai Peringati Proklamasi Kemerdekaan IV
Menikmati kemerdekaan
seperti melangkah tak berkesudahan
di antara manusia penuh temperamen
sesekali diri tertawa sendiri
sambil menatap arah Timur
puncak Rahtawu lembah Muria
mulai kuratapi diam-diam
saat teknologi lapar gelar cakar
kotaku daerah bahaya tiga
Menikmati kemerdekaan
seperti menarik langit ke dalam hati
diam-diam kusyairkan
diam-diam kupertanyakan
gunung-gunungku
lembah-lembahku
hutan-hutanku
sungai-sungaiku
bahkan kesetiaan petinggiku
Bogor, 1994
468
Monolog Nelayan Tua tentang Kemerdekaan
Perjalanan menghela mimpi besar
buah kemerdekaan itu
orang-orang saling menafsirkan
ada tak ada pertanda zaman
hari ini sebuah kenyataan
mosaik peradaban kilas berita rekaman
orang-orang saling bicara
dari mimbar ke mimbar
sesekali menerawang langit lepas
sesekali tenggelam dalam doa-doa
banyak sudah yang berubah
buah kemerdekaan itu
ada dalam saling rampas tata kota
ada dalam angkuh di jalan raya
ada pada orang-orang kehilangan rumah
yang berumah kehilangan makna
hari ini sebuah elegi, isteriku
kata seorang nelayan tua kehilangan laut
ingatannya melayang mengapung
di atas ombak-ombak laut suwung
kapalnya dulu ikut bebaskan tanah Irian
darah di nadi dulu jadi ikatan
lusa sebuah mimpi besar, isteriku
Bogor, 1994
469
Catatan Kota Seorang Pengembara
seorang kembara akhirnya pulang
ketika musim tak mampu menidurkan
rasa rindu kota kelahiran lama ditinggalkan
satu pencarian tak kunjung ia temukan
perubahan dan perbaikan
diam-diam membuat catatan
tentang lorong, kali dan jembatan
tentang pohon randu dan pohon waru
tiba-tiba semua telah berubah jadi sejarah
tiba-tiba semua hanya sepotong mimpi
saat kemarau memberi malam dengan suara galau
seorang kembara termangu di pinggir kota
dilihatnya kota tua telah penuh taman
kali bening telah keruh hitam limbah tahu
anak-anak sekolah berseliweran melewatinya
tak bicara tentang catatan guru
tapi iklan busana pemancing birahi
lastas sederet nama bintang Barat yang canggih
dalam baku tembak dan baku cinta
lalu mereka ketawa riang
mengingat lakon semalam
inikah bayi-bayi dahulu kucium dahi
saat awal keberangkatan
kembara terus termangu
seorang kembara duduk terdiam
bisiknya terenyuh perlahan
Ibu Bumi aku pulang
adakah Kau kenali anakmu
lalu sesenggukan mendekap rumputan
anak-anak sekolah menengok selintasan
mengiranya orang malang korban zaman
lelaki kembara masih sesenggukan
mendekap bumi tanah leluhur keringat bercucuran
waktu mengubahnya jadi cendawan
Bogor, September 1994
470
Sungai-sungai Tanpa Muara
mengalir dari berbagai arah
membelit-belit kota baja
mengalir lamban mengusung
mimpi para urban
mengusung hari-hari hilang warna
lalu membelit-belit wilayah hatimu
sungai-sungai tanpa muara
karena setiap rusuk tanah
telah masuk dalam
kepala yang menganga
sungai-sungai mengalir berputar-putar
sisa hutan mengisi diam-diam
barangkali saat angin mati
dan tasbih-tasbih suarakan barzanji
sungai-sungai temukan muaranya lagi
1994
471
Pohon-pohon Sisa Peradaban
pohon-pohon sisa peradaban
berebut lahan di hatimu
tumbuh dan tumbang
tanpa sentuhan angin
ranggas dan semi
tanpa suara burung pagi
pohon-pohon sisa peradaban
sebuah tangis sepi setiap subuh bangkit
rantingnya menerpa-nerpa dada
yang kerap alpa menyapa Tuhannya
seorang pelukis tanpa nama kaulah itu
mengabadikannya atas kanvasmu
setelah mengeluarkannya dari dadamu
pada hembusan nafas terakhir
pohon-pohon sisa peradaban
tumbuh dalam dada dan kemungkinan
1994
472
Anak-Anak yang Berubah
anak-anak telah tumbuh
oleh rabuk kimiawi
anak-anak telah pintar bilangtidak dari advertensi
siang malam layar kaca
menyita akalnya
menyita harmoni jiwa
anak-anak menyanyi dengan
bahasa tak tereja
bahasa tak dikenal nenek-neneknya
anak-anak tak lagi suka bicara
tak lagi suka diinterupsi
lidahnya, hasratnya, akalnya
telah dirampas tabung beradiasi
aku telah lama kehilangan mereka
keluh seorang perempuan sederhana
aku ingin senyum mereka kembali tulus
menyapa dekat wajahku
sedang apa ibu
tapi mereka bahkan tak peduli ketika
kupanggil namanya lembut sekali
seorang perempuan sederhana menangisi
perubahan anak-anaknya
1994
473
Sebuah Ingatan tentang Kemantran 1
pasti suaranya yang menyusup
celah mahoni di jalan manggarai utara
saudaraku, datang dan lihatlah
kuusung kawasan itu
yang selama ini menyibuki kepalamu
ketika aku membuka pintu
Wijati telah berdiri dalam sengatan matahari
di kedua tangannya
mengepul nasi racik dan teh poci
Kemantran ada di dalam sini
bagi yang lain, jangan habis buat sendiri
aku menerimanya
dan Wijati tersenyum lega
di mataku berkelebatan
orang-orang tercinta tersebar di Nusantara
1994
474
Sebuah Ingatan tentang Kemantran 2
Kemantran yang selalu muncul dalam ingatan
diam-diam menyeruak dalam impian
barangkali sudah saatnya kita memberi warna
lebih hijau walau hanya dengan kata
aku masih terus memimpikannya
aku masih terus memikirkannya
barangkali akan menjadi sesal
tak segera salami paginya yang kental
barangkali akan menjadi luka
jika tak kuketuk-ketuk gapuranya
kubayangkan lelaki sederhana itu berkata dengan repot:
ah, lupakan orang-orang yang ribut di mimbar
yang bicara gagap tentang pembangunan
nikmati saja hari yang hangat
sambil menuang pocimu nikmat
lalu Kemantran mengambang di udara
dan senyummu bertebaran
(-lho, senyuman kok bertebaran
Jangan begitu ah, bilangnya –
Wijati mengingatkan)
1994
475
Sebuah Ingatan tentang Kemantran 3
aku telah menyusuri pematangnya yang tersisa
lewat gurat-gurat di wajah Wijati
dan menyeruput aroma teh malamnya yang hangat
saat menyisir malam di motor Nurhidayat
semua telah larut dan mengendap
jika rasa ingin sua tinggal mengaduknya
Kemantran
di sana tak kan pernah kutemukan
perihal ontran-ontran
segala yang buruk telah dikubur di bulakan
(Wijati, Wijati, jalan setapak
jangan kau tinggalkan)
jika hari ini kau ke depan
jika lusa aku ke depan
jelas bukan karena asap menyan
tapi kerja keras meski jatuh tanpa matras
kita sama-sama merambah belantara
karena ibumu ibuku ya Ibu Bumi
karena bapamu bapaku ya Bapa Angkasa
Bogor, 1994
476
Catatan Kereta Malam Tegal-Jakarta
mosaik-mosaik kuusung dalam gerbong kereta malam
nuju Jakarta diam-diam tanpa luapan
terbawa serta penggalan sapa sempat hangatkan
udara malam di aula dan trotoar
segalanya mengalir bersama deru semakin barat
mosaik tercabik ingin kutisik dalam gerbong yang berisik
pal-pal tertinggal di ingatan ada yang tanggal
angin dari jendela membuat nafas tersenggal
seperti kudengar suara, apa yang kau cari Diha
harus tak harus menjawabnya karena setiap mengusapi
hati yang rindu segala serba tertata sesuai aturannya
terlalu banyak harus ditata sementara kaki terus
ditekukkan dan kereta terus dilajukan
tetap tak kan jadi sempurna karena seperti roda-roda kereta
hidup dan peristiwa menggelinding berputar dan tak henti
obsesi menjadi mimpi dan senyum mitra jadi pelangi
segalanya menjadi lebih dan rasa seakan tak pernah
tergusur waktu meski di sekitar kita gusur-menggusur
telah menjadi cerita lucu
sementara air mata ditelan kembali
dan ujung kebaya diremas sendiri
aku berpikir sampai di mana –tiba-tiba kereta berhenti
di stasiun yang aku tak merasa perlu tahu atau mengerti
aku tak ingin kehilangan segala tengah berseliweran
wajah-wajah yang tertinggal menit-menit yang terpenggal
seakan mengunci segala pintu dan jendela
kereta berangkat mengejar arah memburu pagi
di antara deru tiba-tiba aku mengerti
Tegal-Jakarta, Agustus 1994
477
Catatan tentang Rumah Tua
di terasnya tak seorang merasa terjajah
atau menjajah karena seni tak untuk saling jajah
di terasnya tak hati beringas atau telengas
karena seni tak untuk saling kepras
ketika kemarau pun atau tengah hujan badai
rumpun anggrek sedang tak berbunga dan
kembang bakung hanya umbinya sementara rumput
halus mengering oleh panas Agustus
tapi kutemukan anggrek dan bakung bermekaran
di kebun hati penghuninya
kutemukan hijau rumputnya di wajah-wajah mitra
sementara tangan-tangan mengulurkan jabat hati
bincang siang meneduhkan matahari
bincang malam sembuhkan radang oleh sikap tualang
kita tak harus kehilangan harum mawar dan melati
hanya karena manjakan ujung seringai mata belati
kita tak harus kehilangan harum mangga dan tanjung
hanya karena gugatan-gugatan yang manjakan tuntutan
tak sadar akan homo homoni lupus
ketika pedang menusuki punggung desa Muara Tua
dan darahnya tembus ke dada
rambatan panjang persaudaraan teranyam dari serat
ilalang yang dibawa Din Rayes
dari padang sabana tanah Sumbawa
sesungguhnya tak buat kita jera kerja dan
saling menyapa- primakah kau saudara
kita biarkan Tuhan tersenyum di Puncak Tangga
sementara pohon terus tumbuh dan berbunga
musim terus berganti hantarkan nyanyi di hati
Tegal, Agustus 1994
478
Bunga Kali Mati
bunga-bunga kecil
tumbuh sepanjang kali hitam
luput dari tatapan
anak zaman hutan besi
bunga-bunga kecil
hilang dari percakapan
sejarah mencatat
hanya mahkota
pertumbuhan kota budaya
bunga-bunga kecil
tumbuh liar di semak hatimu
mekar di sisi malam heningmu
setia menjaga kesepianmu
kali hitam tambah hitam
kali mati tambah mati
bunga menjadi kerak hati
sembunyikan tangis bumi
Bogor, Juli 1994
479
Jakarta Tiga Belas
mengalir dari mana-mana
mengusung beban kota
tembangkan keluh anak manusia
nuju muara, cing
mengalir dari mana-mana
sembunyikan seringai centeng
tembangkan Condet tersilet
nuju muara, cing
mengalir dari mana-mana
endapan dikeruk dan dikembalikan
ikan-ikan kegelapan
nuju muara, cing
tiga belas sungai Jakarta
membasuh mimpi lusuh
sembunyikan tangis urban
tiga belas sungai Jakarta
mengusung dosa-dosa
yang liar yang cemar sama-sama
tiga belas sungai Jakarta
baladamu gaungnya sampai cakrawala
luapanmu kemana-mana
Jakarta, Nopember 1994
480
Jakarta dan Orang-orang
mereka datang setiap musim
bunuh ingatan akan jalan setapak
hasrat menyatu lahan industri baru
tak beri kesempatan ikut bersaing
ke kota barangkali bisa
menimba apa saja
mereka terus datang setiap musim
di sepanjang kali Manggarai
tawa mereka berderai
hidup itu sederhana
selagi matahari masih ada
lalu rame-rame bertanam dosa
anak siapa berkeliaran
tanya petugas malam
anak zaman, sahutnya ringan
dihantar angin basah
hilang di tikungan
hilang dari tikungan
barangkali tersuruk
di bawah jembatan layang
barangkali mencari peradaban
esok Jakarta kembali membara
esok matahari kembali menyala
esok kehidupan diberi warna
meski tanpa smaradhahana
kelembutan tlah menjelma
jadi nada belingsatan Jakarta, Agustus 1994
481
Anak Rimba Beton
ia lahir di pinggir kali keruh
ia tumbuh di celah plaza
hidupnya bukan petikan gitar
tapi perburuan liar
ia lahir diantara deru kota
selalu menghirup udara cemar
hidupnya bukan irama pagi
tapi geriap laron di api
jembatan-jembatan penyebrangan
tempat ia bermain-main
terminal-terminal riuh nian
tempat ia simak kehidupan
Jakarta, Juli 1994
482
Jakarta dalam Segala
Pagi
kelabu di sisa kabut
menggeliat di awal kiat
bangkit di atas sakit
mengangin di celah ingin
siang
membuih di juice alpokat
mengapung di Ciliwung
menganga di Jatinegara
mengedan di riuh pertokoan
malam
membuncah di emperan
meliuk di gedung benderang
menggoda di sisa sadar
merunduk dalam doa awam
kusadari
Jakarta mengalir di nadi
Jakarta mencair di mata
Jakarta melendir di kecemasan
Jakarta mencari di purbani
Jakarta, Juni 1994
483
Ketika Kata Jadi Belati
(Buat Anggit, Ndra, Win dan Vi)
banyak yang tidak sejanji
ketika nurani ditinggalkan harum melati
digantikan mata belati
kata-kata menjadi tanda bahaya
wajah-wajah siratkan curiga
kemasan-kemasan mudah diubah
menjadi sesuatu sangat lain
angin siang kemarau panjang desa nelayan
angin malam simpan geram di aula
entah intro apa intermezzo
namun Anggit, Ndra, Win dan Vi
lebih mengerti dari kesiur angina musim
karena salam dan mata lebih bermakna dari sederet kata
lalu kuteduhkan gelisah bangkit tiba-tiba
kusandarkan dan kubaringkan
di beranda rumah tua
aku tak harus mencari ke mana-mana
karena tiga malam sangat ranum
membuat gemintang berpendaran dalam ruang
terima kasihku - Tuhan
Bogor, 1994
484
Penalaran I
anak-anak lahir dari rahim tercemar
dibesarkan mimpi-mimpi dalam layar kaca
tumbuh jadi benalu, parasit dan meangsa
anak-anak lupa wajah ibu
digantikan wajah-wajah iklan siang malam
seni hidup telah berganti bendera
berkibaran di angan-angan
warna-warna berkelebatan memenjara penalaran
malam-malam dijajakan dalam paket
dan ruang-ruang dalam rumah penuh suara-suara
deru mobil berkejaran
suara pelor berdesingan
dan pekik perempuan
lalu caci maki beterbangan
melompat dari tabung-tabung kaca
melekat di dahi di mata di mulut
syair-syair pujian terhela kemarau panjang
Bogor, 1994
485
Penalaran II
Bapa, betapa rapuhnya hati anak-anakMu
peradaban baru mengubah mutiara dalam jiwa
memasir dari malam ke malam
doa-doa tak seharum zaman moyangku
hidup menjadi sehampar laut
dan kami hiu saling buru
kami kenapa pilih gelap sementara ada terang
kami kenapa pilih serat sementara ada merjan
kami pilih murtad sementara ada iman
kami pilih lupa sementara ada ingatan
Bapa, betapa rapuhnya hati anak-anakMu
peradaban baru mengubah mutiara dalam jiwa
di mana-mana kulihat pasir semula padang impian
dan kami terhisap pusaran angin
sementara belum selesai pertobatan
Bogor, 1994
486
Catatan Sebuah Aula
ada orang-orang menangisi budayanya
Koran telah memindahkannya dalam kolom-kolom
Menjadi bagian dari komunitas paras-paras
Kehidupan hanya sejarah dari nama-nama
Kenapa tak kalian bangkit dan terjang nama-nama
(sebuah suara bikin bintang-bintang
rontok dari langit dan berjatuhan di sebuah aula)
dan aku menangisi sajak-sajakku tentang perdamaian
yang tertinggal dari kemasan
di aula orang-orang pilih sajak-sajak kenes dan arogan
terasa sebuah kehilangan menyapa persahabatan
malam-malam pulang dengan setumpuk titipan salam
Din Rayes jua slalu setia
menunggu datang kereta di setasiun tua
batuknya berirama ia tetap bertahan
(Bapa, berkahi saudara tuaku budiman)
Tegal, 1994
487
Malioboro Sebuah Catatan
menyusuri trotoar sepanjang siang
ketika malioboro diwarnai lalu lalang
lebih baik melepas beban sementara
membiarkan hati terbuka
dan mataharai mei menyiram cahaya
menikmati genggaman lelaki berwajah wayang
bicara tentang suka duka perjalanan diri
hidup padang terbuka dengan angin kembara
hidup etalase dengan lampu berwarna
hidup sajak pendek di piring hias
ketika sebuah ulang tahun napak tilas
malioboro sukmaku yang uro-uro
malioboro selembar mei asmorodono
matahari makin meninggi
kudengar tanyanya berulang kali
apa lagi yang kau cari
kereta kuda melintas
bis kota bergegas
Yogyakarta, Mei 1994
488
Angin Utara
di jalan lurus pohon-pohon tumbuh
berjajar seperti lukisan di buku
masa kanak-kanakku yang telah tenggelam
di jalan lurus kendaraan-kendaraan besar
pergi datang menyembunyikan keberuntungan
sedianya dinikmati orang-orang pemilik sah
kawasan utara negeri ini
semua berlangsung dalam kesiur angin utara
tanah Bandengan tanah kenangan
tanah Bandengan tanah impian
di situ kutanam bibit-bibit harapan masa depan
tapi nampkanya akan tertinggal jauh dalam pacuan
aku anak angin yang menyimpan banyak ingin
tapi tanahku semakin terbelah-belah
bagai derita masa lalu ibuku yang tabah
mimpilah selagi masih bisa bermimpi
angin utara masih setia mengipasi
sementara aku terduduk kehilangan
rencana-rencana yang telah direbut
orang-orang jauh dari seberang
pohon mahoni dan aku menyatu dalam bayang-bayang
Bogor, Mei 1994
489
Di Tanah Pekuburan
bahkan di tanah pekuburan nenekku
tak lagi kunikmati konsentrasi
lantunkan doa puja-puji ke langit Ilahi
karena di seberang pagar telah beroperasi
sebuah pabrik yang menggerungkan suara kerakusan
(tentu nenekku tak bisa lagi tenang dan mengheningkan
ruhnya di alamnya yang putih)
bahkan di tanah pekuburan nenekku
telah tercipta jalan setapak lalu lintas
orang-orang dan motor-motor
begitu panas jika ziarah siang
pepohonan telah banyak dibuang
sekitar muncul rumah-rumah menyemak
dengan suara-suara percakapan
(tentu nenekku merindukan perubahan di mana orang
kembali menghormati tanah pekuburan)
Bogor, Mei 1994
490
Saat Pulang
seseorang tersesat mencari jalan pulang
karena tak menemukan kembali tanda-tanda alam
pernah direkat dalam kenangan siang malam
rumah di lembah itu benarkah?
jalan menurun itu manakah?
semua jauh berubah
bahkan bayangannya bagai asing meruncing
tak nampak lagi di tikungan pohon trembesi
tak nampak lagi wora-wari bang di seberang
rumpun-rumpun telah hilang
dan sungai jernih sewindu lalu
sudahkah raib ke hulu
dan akulah seseorang itu
melayang-layang dalam arus waktu
menembus abad sementara otak tersengat
karena kehilangan jalan pulang
yang telah dikemas peradaban
o, tanah kelahiran dalam kenangan panjang
benarkah kau daerah bahaya tiga?
(Jepara yang tua tak menyahut saat kusapa)
Bogor, Mei 1994
491
Jala-Jala yang Tergantung
kampung nelayan masih mengirim bau laut di antara
kesiur anginnya semilir rendah di pohon bunga merak
dan bougenvile menyalami angan-angan yang mencoba
menangkapnya kembali dalam kemasan yang kau
dan aku memahami karena kita ikan-ikan kecil
oleh nasib perkabungan terjaring jala yang sama
lelah mencari jejak langkah ayah
terburai angin sepanjang musim
mencoba mengubah diri menjadi ikan-ikan kecil kembali
yang merindukan terjaring jala
tapi jala-jala telah tergantung lama di teritisan
nelayan tua saksi zaman
tapi jala-jala telah tergantung lama di kelopak mata
menjadi serat imajinasi bagi mereka yang tak punya lagi masa kini
kampung nelayan masih mengirim bau laut di antara
kesiur anginnya semilir rendah di semak hati kita
jala-jala pun tergantung lama
jala-jala pun menjaring umur kita
Bogor, Mei 1994
492
Sajak Muria I
Muria… Muria
macapatan
parijatha
Muria… Muria
megatruh
yang melepuh
Muria… Muria
Ujung Watu
yang sebatu
Muria… Muria
lubuk kenangan
masa silam
Muria… Muria
lambang baru
erang kehilanganku
Muria… Muria
Bogor, April 1994
493
Sajak Muria II
seorang perempuan sedehana
ditanya lelaki gagah
dalam sesatnya di kota raya
namamu siapa?
siti muria ya tuan
(lho, itu baru kudengar)
asalmu mana?
ujung watu tanpa sisa ya tuan
(lho, itu sudah kutahu)
sekarang mau apa?
benahi teratak muria ya tuan
(lho, aduh ampun nyai ratu)
seorang lelaki gagah terpanan
ditegur halus sang nyai danyang
menyamar turun kota
monolog:
kesabaran dalam ada batasnya
yang lelap tidur bisa terjaga
Bogor, April 1994
494
Catatan Perempuan Tua Kampung Nelayan
perempuan tua ceritakan
pada cucu lelakinya
tentang bahasa alam
seperti laut tak pernah hentikan
ombak, meski pantai penuh bengunan
laut juga selalu pelihara ikan
meski di mana-mana pencemaran
begitulah bukti kesetiaan
kita tak benar menodainya
sementara alam raya penuh cinta
meski hari-hari dosa
digelar di haribaan
sampai saat puncak durhaka
membuat anak manusia takabur
alam raya kirim peringatan
tahukah kau kisah-kisah bencana
itu hanya satu tegur sapa
jika murka?
(si bocah coba memahami
tapi manusia perkasa
bahkan enggan mengerti)
Bogor, April 1994
495
Radius Bahaya Tiga
petinggi datang siang-siang
pendampingnya garang
berkata,entah benar entah tiada
: wahai wargaku yang bahagia
(bahagia itu macam apa mak?
tanya bocah telanjang dada
pada perempuan sederhana
ya embuh le! jawabnya pelan)
:kalian kan pada rela?
jika dibangun istana teknologi
di hamparan gunung tua ini
ya, ini pengorbanan tanpa pamrih
untuk banyak orang
untuk bukan diri sendiri!
(jadi tak termasuk kita pakne?
tanya perempuan sederhana
pada suaminya lelaki dari utara
ya embuh mbokne, jawabnya parau)
bagaimana mereka tahu
ini daerah bahaya tiga
nilai pembebasan pun
entah benar entah tiada
Bogor, April 1994
496
Doa Orang-orang Sederhana
Tuhan Yang Maha Segalanya
dengarlah doa kami
jauhkan kami dari keangkuhan teknologi
di kota keratin ada seminar
kata orang kita tidak butuh nuklir
(Tuhan mohon maaf
kami tak bisa jelaskan apa itu
teknologi, seminar dan nuklir)
Tuhan Yang Maha Segalanya
berilah eling nurani para petinggi
kami bukan barang komoditi
kami telah kenyang sakit hati
menjadi tumbal selama ini
tawa bahagia kapan giliran kami
(Tuhan mohon maaf
kami tak bisa jelaskan apa itu
komoditi selain pedih dan perih)
sesungguhnya mereka orang-orang
sederhana, sering keplesed-plesed
akhirnya suka plesedan
di mana-mana yang dilihat kadal-kadal
hidup mereka jadi kidal
Bogor, April 1994
497
Jakarta 94
Jakarta
lampu besar pendar-pendar
senantiasa nyala
undang laron teperdaya
merubuh dan tersabung
Jakarta
kampung besar hingar bingar
senantiasa terjaga
undang orang-orang terperangkap
meraung dan lumat
Jakarta
hutan rimba beton baja
senantiasa angkuh
menggiring yang mengeluh
terjajar dan gaduh
Jakarta
coklat hitam kotak kaca
sarang mimpi-mimpi dunia
sudah penuh punggung luka
tak juga kita meninggalkannya
Jakarta
kemas ambivalensi anak manusia
pagi lidah berliur caci
malam menjulur leleh cinta
kita masih belum anak kandungnya
Jakarta, 1994
498
Percakapan Burung I
Di celah pohon-pohon zaman
ingin kusembunyikan kecemasan
manakala kudengar
siapa-siapa bicara
tentang pulau besar
yang akan dibangkitkan
adakah warna-warna akan berubah
hijau pekat pohon tinggi
putih terang buih pantai
biru jernih langit Wamena
harum semak lembah Baliem
Angin hutan purba
sahabatku setia
masihkah akan
menggerai jurai bulunya
(seekor cenderawasih
bercakap dengan kasuari)
Bogor, April 1994
499
Percakapan Burung II
Angin akan rindu kepak sayapku
tapi ia sulit datang
karena hilang hutan
jika satu saat
di sini segala dibabat
tanda-tanda sudah mendekat
kau dengarkah
anak manusia satu dusun
mulai mengeluh sungainya kena limbah
nampaknya tiada jua
yang tersisa
sementara anak manusia
masih terus berlomba
Angin akan sulit datang
mengantar suara sakti
genderang pada Ondoafi
karena anak manusia rakus
ciptakan perang yang lain
(seekor kasuari
bercakap dengan kasuari)
Bogor, April 1994
500
Doa Pertobatan
orang-orang pendosa bergerombol
di halaman bangunan tua bersejarah
yang siap dirobohkan parak siang
kami telah lakukan
yang tak mungkin dilakukan
kami telah mengubah
yang tak mungkin diubah
kami telah melangkah
melewati langkah-Mu
kami telah bermaha
melewati kemahaan-Mu
maka ampuni kami
atau hancurkan kami
amien!
Bogor, April 1994
501
Gumam Doa Lembah Utara
(cucu peladang tua yang menatap kehijauan lembah Muria)
matahari merah dan langit semburat menyatu
mengantar hadirnya Gunung Muria meniti pagi
antara kabut meriap di seluas padang hijau temaram
dan embun-embun siap mengusap dari rerumputan
hijau begitu sayup dan lembut
telah dipandanginya selama masa kanaknya
setiap pagi menjelang turun ke ladang
inikah kedamaian itu, -tanyanya sederhana
pada udara lembut menyegari peparunya
aki canggah dan aki buyutnya juga ada di sini
lelah damai menyatu dalam lembut bumi
ia tak pernah merasa kehilangan mereka
seperti setiap orang di lembah ini tak pernah
merasa ditinggalkan kehadiran ghaib para leluhur
mereka mendengarkan doa-doa keturunan
sementara Gusti Allah menurunkan rahmat sederhana
setiap pagi dini terasa menjadi berkah tak kunjung habis
berkah abadi kepada lembah lestari
damainya beranak pinak
tanpa hiruk pikuk cemar dunia kota
berladang dan bekerja berguyub dan bermitra
mengidungkan alam jika turun malam
lembah Muria damai tentram
sebagian alam murni yang tersisa
rahmat Allah tiada tara
Bogor, Januari 1994
502
Gumam Lelaki Berkafieh
telah dibakarnya pohon-pohon penuh ulat
telah disapunya padang-padang penuh granat
sejarah panjang mimpi perdamaian
sementara perang sporadis masih sesekali
seharusnya tak lagi layar kaca yang bicara
mengabarkan segala tentang kita-alam yang dijanjikan
dengan perempuan-perempuan berahim suci
yang siap melahirkan anak-anak kami
seharusnya semua sudah sempurna
air mata dan darah luka telah terlalu lama
seharusnya hari ini damai sudah di sini
Bogor, 1994
503
Sajak Bandung I
sebuah ruang dalam ruang
seruas waktu dalam waktu
serumpun kenang dalam kenang
semburat pada wajah-wajah
tanpa simpan lelah
yang kita tak perlu tahu namanya
selain menandai
detak-detak jantungnya
Bandung, 1994
504
Sajak Bandung II
adalah:
hiruk pikuk terminal kebon kelapa
hasrat kandas di cihampelas
tegur sapa kampus mahasiswa
ide-ide di kepala
dan:
langkah-langkah bergegas
di jalanan di angan-angan
ketika semua merasa berguru
ketika semua merasa berburu
lalu:
sejalur evaluasi
tercecar di serambi
ketika kutinggalkan hari
tatap mata tanpa dosa
menyangkut di mega-mega
Bandung, 1994
505
Salam Pagi dari Semenanjung Muria
(catatan duka bagi tanah kelahiranku)
rahimnya yang wangi dan menghijau
lahirkan aku dan saudara-saudaraku
kami tumbuh dewasa
telah mengerti duka dunia
telah mengerti makna merdeka
sambil mensyukuri karunia-Nya
menyusu dari sungai-sungai kecilnya
dari hampar kebun tebunya
dari harum kopi dan parijatha
mentari menyiram luas pantai utara
menyiram ladang dan kebun kelaapa
menyiram hari-hari sederhana
angin dari gunung dan laut menyatu
dari aromanya udara berbeda
dari geraknya jiwa berfatwa
tapi isu peradaban baru
selalu mencari dan meniru
kucemari hari ke hari
di tabir pagi kubayangkan
terejam rahim hijau ibu bumiku
tercemar biru dahi bapa angkasaku
tersayat semenanjungku
luka karat menggeliat
Bogor, 1994
506
Mosaik Surabaya
selamat malam Leo Kristi
perjalanan panjang melayari peradaban
mengayuh harapan-harapan
cita-cita lama suntingan jiwa itu
adakah yang berkerlip di sana
sebutir bintang di langit fajar
sementara hidup kian terpeta dalam mosaik
selamat malam Leo Kristi
ketegaran dalam lagu-lagu perjuangan itu
adakah senyum yang mengunci perbincangan
di plaza obor-obor nyala dan padam bergantian
wajah-wajah sahabat jauh di bawah bayangan bulan
di aula tikar plastik lelah digelar
menunggu orang-orang tak henti mencari
Surabaya memang bukan mosaik besar Darmahusada
Kalimas dan Jembatan Merah masih kulihat ramah
sementara perubahan terus membuncah
malam itu Blauran yang kusam
masih menyimpan lirik lagumu
Surabaya, 1994
507
Surabaya dan Topeng-Topeng
saudara tuaku masih setia seperti dulu
mewarnai hari-hari sepanjang musim
membiarkan uban semakin menyemak ilalang
membiarkan orang memekik dan menantang
dan topeng-topeng di panggung
dan nyala oncor di jantung
buang rasa keduwung
orang-orang lelamisan
mengambil topeng-topeng
panggung suwung
topeng-topeng ada di wajah-wajah
lalu semua menjadi sajak gelap
kukenali kejujuran
hanya lewat suara hati
Surabaya, 1994
508
Surabaya dan Nama-Nama
malam dan rembulan tak harus memabokkan
sementara hari lusa berpendaran
di antara nama-nama tereja dari lidah kita
nikmatilah karisma Surabaya
dalam semangat sajak-sajak tanah Madura
dan tetap Leo Kristi masih nyala
kita dengarkan nama-nama
terpanggil dari sejarahnya
jangan sandarkan pemahaman dalam bilik-bilik
yang memisahkan kita dari cahaya
kita ini orang-orang musim
lahir di setiap ruas buminya
pesisiran pedalaman perkotaan
senantiasa ada yang sama
gusti berkahi hasrat putih
Surabaya, 1994
509
Gumam Doa Perdamaian
(cucu lelaki tua Palestina yang menatap kosong
tumpukan puing rumah keluarganya)
sungai Yordan masih membawa mimpi bocahnya
mengapung mengalir sesekali tersangkut-sangkut
sementara musim berganti telah menghadirkan
berbagai statemen baru tentang tanah airnya
dibawa ke meja-meja perjamuan oleh para negarawan
yang tampil penuh pesona dalam siaran-siaran
begitu meyakinkan menjanjikan harapan-harapan
tak bisa dimengerti setiap hari masih terjadi
bunyi senapan, nenek yang mati tak kembali
sungai Yordan telah pula bersaksi
banyak orang berkaca di permukaan airnya
masih dengan wajah kelam dan mata menyimpan
kilat belati, petang-petang dan pagi-pagi
Gaza yang pagar luka tak pasti kapan sembuhnya
di antara tumpukan puing-puing tiba-tiba
melintas wajah kakeknya tua dan letih
jubah lusuh berkibaran mengajaknya berjalan
ke mana, -sahutnya tak sadar bicara pada
diri sendiri yang telah dibenam mimpi
membuktikan perdamaian, -gumam kakeknya
penuh kasih sayang dan meninalenakan di pojok jalan
Bogor, Januari 1994
510
Catatan Kawat Beduri
kawat berduri mencabik mata
tak leluasa menatap langit
barikade menahan dlengan
ingin meraih pejuang muda
luka terperangkap pongah dunia
kawat berduri mencabik hati
tak leluasa menjabat sesama hati
di antara gelegar artileri
siapa lagi kita tangisi hari ini
kawat berduri mencabik rahim
lahir anak zaman sebelum waktu
di antara dendam membara desing peluru
kawat berduri mencabik segala
kepala – rahim – dada perempuan
darah mengalir dari pusar dan bibir
merahkan kawat-kawat berduri
merahkan tanah limbah dosa penguasa
merahkan jarak yang terus nganga
perbedaan
kepentingan
tahta dunia
Bogor, 1993
511
Catatan Parit
panglima melepas aba
tak di balik parit
prajurit siap siaga
di dalam parit
anak kota perang tersungkur
mendekap parit
sementara berhamburan peluru
bagai turun dari langit
mengkoyak udara kota
mengkoyak punggung anak pejuang
yang lari bertemperasan
menuju parit perlindungan
parit
terus digali tangan-tangan sunyi
parit
terus untuk sembunyi hati-hati sunyi
parit
terus menyimpan doa-doa sunyi
samar-samar ada pencarian KASIH sunyi
parit
terus kirimkan ruh-ruh sunyi
parit
terus sebarkan bau dosa-dosa sunyi
parit
Bogor, 1993
512
Catatan Prajurit Perang
Barangkali ini mimpi paling indah
bagi orang-orang negeri terjarah
manakala lilin-lilin menyala di lembah
cahaya, hati anak-anak njelma mekar bunga
prajurit perang lepas senjata
wajah luluh lengan terbuka
manakala bunga-bunga kecil
terulur dari tangan-tangan mungil
tangan anak-anak masa datang
kalau saja prajurit perang
lupakan senjata tak hari ini
lupakan ajaran di medan-medan
manakala di depannya
tapak-tapak kecil bertebaran
nada-nada harap berloncatan
kami mau perdamaian
kami mau main dan makan
kami mau lilin dan kembang
Mulut-mulut kecil terus bernyanyi
di lembah penuh cahaya
prajurit perang berkata riang:
lihat sudah kulepas senjata
lengan siap dekap cinta
lihat ada air mata dan tawa
derai beriringan
Bogor, 1993
513
Catatan dari Rajabasa
anak manusia pejalan malam
memanggul kapak besar
ingin mendekap luas dunia
adakah kau
yang tersesat sendiri
di palung malam rajabasa
ketika mereka berada jauh dari raihan
kebersamaan menjadi proposal mahal
sederet angka tak pernah menjadi nyata
lantaran hidup telah penuh amuba
dan keangkuhan jadi berhala
adakah kau
yang masih menjanjikan ronce melati
kepada orang-orang jauh
dengan langkahmu yang sendiri
rajabasa sebuah sudut peta sederhana
di palungmu
kutemukan aksara-aksara
untuk dunia
Rajabasa, 1993
514
Metro, Sebuah Impian Raya di Musim Hujan
pertemuan-pertemuan menjadi merjan
dikalungkan pada siapa, tanyamu
pada leher dunia
dan kau nampak tak percaya
kaulah dunia itu
semesta penuh impian raya
melubuk di jantung Metro
selamat malam hujan
setiap kudengar orang berbincang
serasa musim-musim luruh di dada
lalu kembang-kembang tanah datar
dan pegunungan mekar bersama di relungnya
tak ada tanya tentang asal dan orang tua
karena kita adalah dunia itu sendiri
di dalamnya tersimpan segala
sungai laut bukit dataran sama memeluk awan
cacing naga kelinci singa sama meminum air telaga
Metro, jauhkan gaung salvo
Metro, jauhkan tali algojo
Metro, sawah muda ijo royo
Metro-Lampung,1993
515
Pesan Seorang Veteran
Ketika Menjelang Ajal kepada Anak Lelakinya
senapan lama sudah disandarkan
pinggir hutan dan ceruk lembah telah jadi sejarah
sahabat-sahabat mati muda
dengan nyanyian belati di hati
semua tak sempat kucatat
aku tak pernah berhenti perang oleh dendam berkarat
berdoalah untukku sewajarnya manakala
jiwaku telah melintasi pohon trembesi
tak perlu menyesali kepapaan hanya yang
sempat kuberikan
tak perlu mencoba mengurus belas kasihan
jalannya terlalu panjang
lebih panjang dari sejarah perjuangan
bapamu dan para sahabat
kau tak bisa bicara dekat dengan aparat
karna jiwamu burung yang merat
lebih baik kau jadi lelaki sederhana
bersahabat dengan wong suci
rembulan dan matahari
1993
516
Anak-Anak Taman Kota
Mengejar Layang-Layang Bendera
anak-anak tumbuh di taman kota
kau tak melihatnya
mereka berkerumun di embun-embun
berlompatan di ubun-ubun
mencabik-cabik matahari
melempari rembulan
mereka menyerang bagai kuman
menjerit bagai hewan
mencabik-cabik impian
melempari harapan
kau dan aku tertegun kehilangan ubun-ubun
di langit mengejek layang-layang bendera
mereka mengejarnya sambil mengejek kita
1993
517
Lelaki Tanah Rawa
Lelaki Rindu Nikmat Merdeka
semak bakau hijau pekat
satwa bebas dari pukat
pernah selalu diracik jadi geguritan
sambil menyusuri garis matahari
nafasnya aroma tanah rawa
hasratnya angin semak
laut lepas ladang bebas
Kasih Allah ada di mana-mana
musim berlepasan dari almanak
hari-hari bertemperasan
kalung merjan lepas dari rangkaian
semak bakau hijau pekat
satwa bebas dari pukat
tak lagi bisa diracik geguritan
tanah rawa telah ditimbun rata
di atasnya telah tumbuh pohon-pohon baja
laut dan ladang bukan lagi milik Tuhan
tempat menghirup kemerdekaan
tempat menembang kasih sayang
1993
518
Sajak Lapar 93
kudengar berulang
orang-orang senandungkan
laparnya sendiri
zaman terus berlari meninggalkan
yang menangis diam-diam di teritisan
:aku!
kudengar berulang
orang-orang menimpuki
laparnya sendiri
musim terus berganti membiarkan
yang tersakit mengenang Lemah Abang
:aku!
lapar telah menjadi sebuah unikum
lapar telah mekar berkuntum
lapar telah menyerigala
lapar yang amuk
lapar yang murka
:Giri Mahkota!
Bogor, April 1993
519
Bulaksumur Sebuah Catatan Oktober
menyalami pagimu dalam semarak jingga, yogya
kutemukan merjan-merjan pernah berserakan
manakala angin dan hujan
sembunyikan rekaan di tahun-tahun yang jauh
di antara wajah-wajah semringah
kutemukan wangimu dulu, yogya
bincang pagi mengalir mencari muaranya
menyalami malammu dalam semarak rembulan, yogya
kutemukan kata-kata adalah kekayaan
dan perjalanan ke segala arah adalah hikmah
ada nada-nada di aula
dan ekspresi segala makna
saudara-saudaraku tengah membuat warna pada malam
menata mosaik bagi kehidupan
tawa siapa masih tertinggal di teras wisma kagama
sementara oktober kulipat perlahan
bersama bunga putih beruntaian
yogya, sungai dan laut menyatu di muara
Yogyakarta, 1993
520
Bunga Mawar di Pucuk Senapan
(bagi perempuan Bosnia)
hari-harinya tercecer antara
tebaran kelongsong peluru
tawa dan tangis hangus
oleh serbuk mesiu
yang sisa luka jahanam
yang indah kini sejarah
seni hidup porselin yang pecah
bunga mawar siapa dikirim
lewat pucuk senapan
seorang lelaki perang
barangkali lama lagi
bisa kutanam sendiri
mawar-mawar perdamaian
jika perang mulai reda
dan pagi mulai jingga
Bogor, Nopember 1992
521
Doa Pagi Sebuah Kota
(bagi Agus Djaja)
Pandeglang masih simpan erang perjalanan
pada hijau pohonan
pada akar-akar di kedalaman
dan pada palung jiwa lelaki tua
Pandeglang masih simpan kilau kenangan
menisik-nisik hari yang tawar
lelaki tua berdiri sendiri
menghitung pohon dan ilalang
menghitung semi Pandeglang
mengelopak hati yang tanjung
menisik-nisik hari yang tawar
Pandeglang masih simpan kenangan
dan pada palung jiwa lelaki tua
pada akar-akar di kedalaman
pada hijau pohonan
Pandeglang masih simpan erang perjalanan
Bogor, Nopember 1992
522
Tembang Duka Perempuan dari Larnaka
(bagi Benazir Bhuto)
bunga-bunga sedang tak tumbuh dalam musimnya
Rawalpindi fragmen pagi
hanya menyusup di urat nadi
perempuan anak buminya
pohon-pohon sedang tak buah dalam musimnya
Islamabad masih melekat
hanya sebuah kegetiran
berkepanjangan
doa-doa sedang runduk di fajarnya
Larnaka tembang duka
langit saja yang bicara
wangikan lidahmu
Bogor, Nopember 1992
523
Yamdena Mimpi Bencana
Yamdena yang kau sapa
bayang perempuan Saumlaki hilang tifa
ketika angin laut tak lagi
bersarang di lebat hutan
rimbun hijau tinggal tanah bebukitan
Yamdena yang kau sapa
Yamdena sama getirnya
Yamdena yang kau tatap
bayang lelaki Saumlaki hilang keringat
mengusung keluh anak pulau
mengusung irama bencana ke seberang
barangkali ke pulau Larat
barangkali ke pulau Selaru
barangkali ke Wuliaru dan Selu
cari mawar buat jantung Tanimbar
terbabat gergaji rancangan anyar
di antara suara hati terluka
kata-kata menjadi mimpi bencana
Tanimbarku dengan lelaki hati akar
Tanimbarku dengan luka yang terbakar
kubawa dalam setumpuk kata
mengetuk langit Jakarta
karena hutan menjadi musim perkabungan
karena hijau dikelupas dari tanah sejarah
Bogor, Juli 1992
524
Senandung Tanah-Tanah Dayak
percayalah kepada musim di tanah ini
percayalah kepada adat turun-temurun
percayalah kepada darah ibu dari hulu
kesetiaan dan kejujuran selalu satu
sementara orang-orang berdatangan
menyebar kepongahan merenggut lahan-lahan
dan seorang ketua adat dari daerah pedalaman Ketapang
bersaksi pada satu hari
sertifikat kami adalah pohon durian
dan tengkawang yang
sudah berumur ratusan tahun
alam bersaksi kehidupan bersaksi
tapi beraninya orang-orang yang datang
bicara sambil membunuh rasa cinta tanah merdeka
katanya : di Kalimantan tidak ada tanah-tanah adat
lalu Rifin Ivon ketua suku dayak punan
bersaksi: lihatlah hutan-hutan kami
dengar senandung dan tangisnya
sungai-sungai penuh endapan lumpur
air yang dulu jernih oleh rimbun hutan kasih
menjadi air mata perih
di mana-mana pembersihan
Kalimantanku menerawang dalam diam
dibawa arus sungai Ambawang
Bogor, Juli 1992
525
Rumput Laut Nusa Lembongan
Tembang Tradisi Telatah Bali
laut pasang laut surut
Beli Wayan cintanya tak pernah susut
Nusa Lembongan dalam tembangan
bertahun-tahun melukisi ucun-ucun
rumput laut diurai
mimpi akan hari sejahtera digerai
sementara dolar bergemerincing
berjatuhan di sepanjang Sanur, Kuta dan Legian
beli Wayan tetap menembang
Nusa Lembongan, Nusa Lembongan
sampai kapan duduk bertahan
bunga sesaji bunga sukla
telah lama dipersembahkan pada leluhur
lewat sanggah lewat sembah
tarian mekar di banjar banjar
rumput laut terus dirunut
Bogor, Juli 1992
526
Kepada Perempuan Gisik
ketika legenda tak lagi
cerita santun di dusun-dusun
panggil badai meruntuhkannya
ketika mata lensa tak lagi
memberinya mahkota tapi garis paha
panggil gempa untuk menimbuninya
karena dia ibu segala ibu
karena dia penyerang Melaka Portugis
tutunya tombak hasratnya mimis
lalu dunia kita yang amis
melumuri boreh birahi
hilangkan citra sejati
pualam tertutup legenda buram
hanya perempuan gisik hati akik
membesut titik keris
membalut luka linggis
Bogor, Mei 1992
527
Yang Melipir
digelarnya kelir
dipasangnya belencong
angin berhembus segala arah
lalu dahinya kaca
lalu dadanya baja
lalu darahnya laya
lalu dia bukan kita
tak henti dia mencari
mosaik tersembunyi
lembah moyang dusun danyang
dikemas dalam paket
kerabat melipir menjadi kampret
o, perempuan mata lindri
o, lelaki wajah sumantri
o, pendapa agung yang direncah
prasetya telah jadi sejarah
dalam mimpi yang getah
dalam kopi yang darah
Bogor, Mei 1992
528
Pengaduan Mei, Sebuah Syair Doa
berbincang dalam diam paling diam dengan-Nya
di puncak malam paling malam
manakala pohon dan rasa budi hilang hijau
selalu pada-Nya kulubukkan hening diri
Kuasa-Nya yang Mahkota
Asihnya yang Bunga
Penerimaannya yang Langit
membuat setiap kejatuhan selalu bangkit
:hari-hariku dalam Kuasa-Mu
ketika langkah lamban Kau membimbing, orang diam
ketika hati gelap Kau mencahaya, orang lupa
ketika kusyairkan Kau lapar, orang protes
di sekeliling satwa dan alam telah berubah
fatwa dan orang telah merebah
nilai dan urai telah dicacah
Arif-Mu abadi
zikir dan doa buah hakiki
syairku di Mata-Mu tak pernah jadi haram
:jalanlah di jalanmu, perempuan-Ku
sapa-Mu menggugah sukma letih
ya Bapa, ya Bapa, pohon segala biji asal
langkahku panjang sambil menabur benih
terus dan lurus meniti waktuku
laparkan aku agar terus niatku
apikan aku, apikan aku, Amin
Bogor, Mei 1992
529
Ruh dalam Rah
di mana-mana telah kulihat berkah Allah
menjadi uang dan keuntungan
tanah kubur nenek moyangku
tanah warisan ibu bapakku
bakal-bakal saudaraku
kecantikan kerabatku
tersingkirnya lelakiku
gendhuk Gandasuli, gendhuk Gandasuli
moyangku membujuk protes basi
perempuan lebih baik sederhana alami
diam senyum dalami ilmu dan laku
gemi, setiti, taberi, ngati-ati
begitu pitutur adi Ki Aji Bawono
tapi langkahku tak bisa surut kembali
api telah pulang ke matahari
isi kendi telah pulang ke lubuk kali
kembara telah garisku
barangkali
tanah kubur kakek moyang
tanah warisan ibu bapa
bakal saudara
kecantikan kerabat
tersingkirnya lelaki
ruhnya kata kesiur angin kembara
Bogor, Mei 1992
530
Sajak Lapar 92
laparku
bulan lapar cahaya
santri kecil pulang berisya
berikan binar matanya
laparku
mentari lapar pijar
gadis dusun di pancuran
berikan denyar jantungnya
laparku
bumi lapar kehijauan
penyair tua di pinggir kota
berikan semai mimpinya
laparku
insan lapar kejujuran
rajawali di udara
berikan desir sayapnya
namun lparku tak hilang jua
tak henti mencari dan nelangsa
karena temaha di jantung utara
Bogor, April 1992
531
Cemasku Cemas Jepara Cemas Muria
kota tua dalam kesiur mahoni
rumah tua dalam kesiur kenari
diam-diam sembunyikan dalam-dalam
cemas langit hujan asam
karena satu siang orang bilang
kota ini daerah bahaya tiga
Jika Muria kehilangan sakral abadi para wali
Jika Muria kerajaan teknologi
sesiapa mengisi lembah kopi
sesiapa menggoresi dada sendiri
wajahku ada di wajahnya
Bogor, April 1992
532
Kesaksian Anak Lanang Bagi Ibu Bumi
tembangkan keluh bumi, anak lanang
dengan segala rahmat dan pahalanya
tembangkan dendam bumi, anak lanang
dengan segala dosa dan kuwalatnya
tatap dari lubuk rasa ibu kehidupan
pohon-pohon hijau tumbuh di kawasan harap
sungai-sungai jernih ngalir
di belahan angan
keangkuhan kita menjajah era-era
menimbun derita sebata-sebata
asapi wajah hari dengan jelaga teknologi
dari fajar ke fajar hilang sadar
beton-beton melukai jadi cadar
keangkuhan kita melelang cinta
ibu luka lahirkan lava dendam
ibu luka muntahkan gugur tanah
ibu luka bangkitkan murka badai
terbata anak lanang janji bersaksi
putihkan jiwa bersekutu kearifan
rindukan dekap ibu kesayangan
dalam senyum, tangis, kehijauan
Bogor, April 1992
533
Ladrang Buram Solo Bengawan
sungai panjang kali bengawan
telah jadi kerut lelaki tua
perahu-perahu sarat tembang kehidupan
telah jadi sejarah terlipat dalam
kenangan anak-anak kota
tumbuh oleh kemas peradaban
tumbuh biakkan jasa dan dosa
orang-orang bersaksi trus berjalan
anak-anak hadir lupa kapan lahir
barangkali dewasa oleh asuhan angin
barangkali arif oleh balada tua
dan rembulan hilang dari bengawan
lelaki tua bicara ada kegetiran
: keluhkanlah lewat tembang
pahit manis kehidupan
limbah-limbah kini di bengawan
bocah-bocah kini tlah lupa kail mainan
menandak-nandak tanpa mengerti
irama baru menghentak negri
semusim ke semusim – ya dhenok
hijaukan saja jiwamu
jika tak bisa hijaukan bantaranmu
Bogor, April 1992
534
Mrica Waduk dalam Suluk
barangkali masih tersisa
keramahan hulu sungai serayu
barangkali masih menyapa
lereng Dieng henti kirim erosi
barangkali waduk Maung masih
nampung Merawu murung tersisih
12 juta meter kubik lumpur
tak perlu melulurmu waktu ke waktu
anak lanang anak gunung anak hutan
kau tangisi lupa langkah hasrat lari
selalu ada yang terlewati
sesudahnya baru ingat angka proyeksi
barangkali masih tersisa
kasih alami ceruk Mrica
barangkali masih menyapa
angin danau hentikan petaka
barangkali masih menampung
halimun dari balik tabir sadar
anak ladang dahi ilalang
12 juta meter kubik lumpur
henti menimbuni selama ini
Bogor, April 1992
535
Muara Angke di Satu Siang
Muara Angke wajah kita hari ini
Muara Angke nafas kita hari ini
Muara Angke harapan-harapan kita tersimpan
dari berbagai siang mengambang
musim datang musim melenggang
masihkah kau bersaksi
lalu musim pergi dan berganti
wajah bocah di balik kisi jendela
entah menatap siapa
sementara perahu motor meluncur tiap hari
dengan ceritanya sendiri
barangkali menatap kita
yang melintas baru pertama kali
Muara Angke tiba-tiba menjadi cermin retak
yang bingkainya sajak-sajak
sementara tahun-tahun menimbun
kisah turun-temurun
lumut pun menebal di teritis bambu
air kuning kecoklatan selalu
mengguyur tubuh-tubuh bocah dimandikan
dan parabola-parabola di balik sana
tak lebih fatamorgana
tapi bocah-bocah masih tertawa
sesekali mendongak angkasa
tanpa sempat lagi membaui udara
karena tiap hari terasa sama saja
Jakarta, Desember 1991
536
Catatan Harian Anak Perang
ada yang mengalir di sungai musim
harapan-harapan anak perang
ada yang melantun di udara malam
doa-doa anak perang
ada yang menyentuhi detik waktu
mimpi-mimpi merpati terbang
ada yang lama dirindukan
berzikir, barzanji dengan tenang
ada yang harus ditinggalkan
mencari, berkejaran di jalanan
ada yang membubung ke rumah Tuhan
nyawa-nyawa anak perang
Jakarta, Februari 1991
537
Catatan Tanah Merdeka
Gelisah acara di layar kaca
gelisah jiwa di tanah merdeka
gelisah langkah pencari makna
baur dalam kota terbakar
ini catatan sejarah
mestikah ditulis dengan darah?
inikah tanyamu
sambil menyepaki angan-angan
anak-anak yang tertawa pada plaza
anak-anak yang marah pada rumahnya
anak-anak yang memanjati menara mimpi
baur dalam kota nanar
inikah tanyamu
sambil nelan darah di lidah
sementara sejarah diselewengkan
sementara jiwamu terus meradang
mata merah senyum hilang
o, anak lanang cobalah nembang
ingat pesan bapakmu di awal perang
pahit getir kemerdekaan
setia dikumandangkan
Jakarta, 1991
538
Nyanyian Hidup
Anak-anak Indonesia tak pernah lalai
akan tugas hari yang hampir lusa
tahu setiap langkah dimulai
tersaji angka-angka dan realita
siap menghadang tak hendak bincang
Anak-anak Indonesia tak pernah sangsi
hidup bukan nyanyian siap tembang
tapi kata yang harus diberi makna
lontar hasrat yang harus diberi nada
apa yang didapat dari buku
tak lebih awal ajaran
apa yang disimak dari layar kaca
tak lebih mosaik dan retorika
apa yang didapat dari kehidupan
kearifan dan kebijakan
anak-anak Indonesia tak pernah alpa
pengalaman bukan kamar yang dikunci
melainkan hati yang terbuka
pahami kehidupan seutuhnya selalu di sanalah ia
Jakarta, 1991
539
Senandung Air Tanah
mendengar senandung murung
mengalir di bawah lahan-lahan
hanyut lewati banyak jembatan
ada yang hilang tak terbilang
mengental dalam warna-warna hitam
sungai limbah dan genangan
:yang cemerlang hijau kuning
tinggal dalam mimpi anak kota
berupa sketsa-sketsa
padang rumput ladang bunga
arus tenang di muara
burung terbang di angkasa
mendengar senandung murung
mengalir di bawah jembatan-jembatan
antara Muara Angke dan Kampung Duku
Betawi lama hijau maya tersua
hanya senandung air tanah
hitam-rawa-kutuk zaman
kita mendengar orang-orang berkata
apa yang dapat kita lakukan segera
apa yang dapat kita lakukan lusa
Jakarta, Desember 1991
540
Sajak Ikan Pari dan Orang-Orang
ketika ikan-ikan pari dihela
di lantai basah pasar lelang
orang-orang ikan tak pernah hirau
udara busuk rasuki peparu
dan prosentase pembagian sama busuk
seseorang ingin bicara kali pertama
orang-orang ikan perlu masker
orang-orang ikan perlu sarung tangan
orang-orang ikan perlu sepatu pengaman
ikan-ikan pari dihela setiap hari
basu menyengat semakin padat
nasib-nasib ditimbang tanpa saran
karena angka telah ditetapkan
5 orang 1 kelompok 20% - titik
sang juragan 80% - koma
di rumah para istri bersungut
pada para lelakinya
banyak ikan pari hari ini
dapatnya empan hanya begini
ini kutukan dewa laut barangkali
tiap hari prajuritnya ditangkapi
bagaimana jika nanti laut sepi hari mati
Jakarta, Desember 1991
541
Sungaiku Sarat Beban
yang sebening kaca saat diciptakan
yang menyemai segala mula kehidupan
yang hadirkan nuansa keindahan
kini menyapa dengan dendam
anak manusia membuatnya berubah
jadi musuh yang mengintai diam-diam
tanpa semua menyadari
racun-racun yang selama ini diserakkan
kini pada kita dikembalikan
dalam keruh sungai-sungai kumuh
dalam rapuh tanah-tanah melepuh
dalam lamban sungai sarat beban
dalam mata air bercampur hujan asam
kenapa kita lakukan
tanya anak-anak pada generasi bapaknya
yang menyebar pencemaran
kami tak bisa lagi berenang
tak bebas berkejaran dengan matahari
mata air dan sungai-sungai
telah menjadi sejarah duka
sepanjang hari yang dilalui
tak lebih elegi
Jakarta, Desember 1991
542
Tenda-Tenda di Bantaran Sungai Manggarai
tenda-tenda yang bukan rumah
tenda-tenda yang bukan kemah
tak perapian tak api unggun
tenda-tenda adalah:
ruang suram yang bersaksi
hidup rawan yang terbantai
tubuh redam yang tergadai
sungai mengalir di bawahnya
angin menerpa di atasnya
sungai Manggarai yang diam
endapkan segala beban
endapkan sari lelaki air kehidupan
tenda-tenda selalu menyapa
para pejalan alpa
dalam tenda-tenda di bantaran
mimpi-mimpi asing singgah dan lintas
dari malam ke pagi sampai malam kembali
panorama tua nunggu kebijakan baru
Jakarta, Desember 1991
543
Di antara Tali-Tali Penyeberangan
Sepanjang Muara Angke
rumah-rumah panggung manusia air
masalah yang telah jadi rutin
harapan yang telah jadi canda
melambai terapung-apung
enceng gondok bunga ungu
palem air yang menyemak
hutan lindung yang dikemas
pada selembar papan bertanda
semua melintas nampak bebas
di wilayah habitatnya
perahu meluncur susuri Muara Angke
dengar bapa – mereka masih tertawa
mereka terus melambai
mereka terus berseru: potret kami!
bakteri merubung di mana-mana
ini kehidupan seadanya
lihat, kami masih begini jua!
tak laik hidup tapi tak mati
seringainya gembira
ah, pemikiran terkemas di program itu
ah, penjabaran di transparan itu
rumitnya, seperti ada tapi tiada
Jakarta, Desember 1991
544
Sajak lapar 91
aku lahir
oleh lapar dunia
untuk buang lapar
tak mau kumakan apa-apa
sebab laparku
bersumpah akan menjadi
lapar abadi
jika aku buang lapar
aku makan gunung dan hutan
aku makan sawah dan lahan
aku makan pulau dan isi lautan
aku makan petani dan nelayan
aku makan kota dan nasib saudaraku
ketika aku lapar
kumakan laparku sendiri
ketika Tuan lapar
kuberikan keringat kerja
ketika Tuhan lapar
kuberikan dzikir dan doa
ketika teknologi lapar
haruskah kuberikan gunung Mahkota?
1991
545
Salam Bunga Kopi dari Puncak Rahtawu
langit merah
matahari merah
Rahtawu senyum diam
kirim salam hijau alam
desir angin hutan kopi
untai parijatha merah kesumba
adalah dongeng tersisa
salami hatimu yang kini alpa
mega-mega pagi semarak
lembut menyaput Rahtawu
murninya bagai nafas ibu
pada proses kelahiranmu
tembangkanlah puncak Rahtawu
dengan hati harum bunga kopi
tanpa keangkuhan teknologi
yang senantiasa menghantui
petik parijatha ranum
berikan pada istri terkasih
maka janin dalam rahim
kelak jadi insan terpilih
Jakarta, Mei 1991
546
Berita dari Kaki Gunung Muria
menyusuri jalan setapak nini
senyum mekar di kaki gunung
gulir embun di celah daun
simpan cinta moyang sepanjang kurun
kudengar sabda Sang Pemangku:
satwa gunung
sahabat alam sejati
enggan berbagi hati
dengan racun pembunuh
semayam dalam jiwa angkuh
nini bersaksilah hari ini
selalu setia menjaga waktu
tembangkanlah desir air terjun Montel
berkah alam penuh kasih
alam kaki gunung Muria
betapa banyak kan terambil ya nini
wajah hutan punggung gunung
desir angin geriap embun
semua akan berganti rupa
beton-beton baja nusuki angkasa
pilar-pilar kilang merejam bumi
bapakmu khadam sang Wali
kan mati dua kali oleh ruh barat
tanpa kendali, dan semua jadi abu pasti
Jakarta, Mei 1991
547
Angin Kembara Antara Kota
Jepara-Kudus-Pati Juwana
disapa hatimu yang tak lagi
kenal warna hijau alami
karna siang malam pandangmu
terpancang pada layar gelas
taburkan geriap warna-warni
muncul dari kabel-kabel elektronika
angin kembara menyentuhi dedaunan
sepanjang jalan luar kota
kau tak lagi mengerti maknanya
anganmu tak lagi sentuh keluh
kota tua siang malam memacu doa
agar terhindar dari bencana
yang siap kau bawa
siapa masih dengar desir semilir
antara pepohon tua pinggir sungai
sejarah masa bocah setiap mereka
yang kini jadi pemikir negeri
angin bersiul sepi sendiri
batuan dalam kali tak mampu menyahuti
karena menanggung beban zaman
hanya terekam tembang
hitam sungai jawa dalam diamnya
angin kembara terus menyapa
dari musim ke musim usiamu
Jakarta, Mei 1991
548
Sajak Lapar I
Kubungkam laparku
dengan mengunyah batu-batumu
meminum ombak-ombakmu
menghisap –hisap deritamu
kubungkam tangisku
dengan mecucup keluhmu
melulur tulangmu
melantun tawakalmu
Kubungkam dendamku
dengan diamku
suntukku
karena habis segala pada dirimu
ibuku
ibu dari segala penderitaan
lahir matinya kampung harapan
549
Sajak Lapar II
ketika Tuan lapar
kuberikan keringat kerja
ketika Tuhan lapar
kuberikan dzikir doa
ketika cinta lapar
kuberikan kata setia
ketika teknologi lapar
ingin kuberikan gunung Muria
550
Sajak Lapar III
aku lahir oleh musim
yang menyimpan lapar dunia
karena laparku bukan lapar siapa-siapa
maka kumakan laparku
agar aku hilang lapar
laparku bersumpah akan menjadi lapar abadi
jika aku memakan bukit dan hutan
jika aku memakan pulau dan lahan
jika aku memakan laut dan nelayan
jika aku memakan kota dan kilang
aku dan laparku
‘kesetiaan’ sederhana
Jakarta, 1991
551
Balada Nelayan Pantai Srandil
laut pantai Srandil mengirim ombak-ombaknya
mengirim harapan berkepanjangan
mengirim ikan-ikan
mengirim senyuman hujan
lewat mimpi nelayan
lelaki-lelaki anak laut
lelaki-lelaki cucu angin
sahabat musim-musim
ganas ombak laut pantai Srandil
tak pernah membuat lelah
semangat orang-orang laut
dunianya bentang laut
harapannya hanya laut
Jakarta, 1991
552
Aung San Suu Kyi Bunga Perdamaian Myanmar
dialah Aung San muda
pahlawan legendaris Burma
cintanya pada hidup merdeka
tak pernah berubah sepanjang sejarah
tak peduli negeri berganti nama
Myanmar-Myanmar
selalu dia bisikkan nama itu
selalu dia ulang kata itu
gambaran perjalanan sejarah diri
gambaran perjalanan sejarah negeri
apa artinya dikurung dalam rumah
bila perjuangan terus kumandang
apa artinya menang tanpa memerintah
bila semangat tetap hidupkan harapan
merdeka ngembara di luas benua
kabarkan cinta damai negeri permai
hasrat melawan ketidakadilan
dialah Aung San muda
pengemban amanat segala penderitaan
tapi Myanmar tak akan pernah tenggelam
meskipun setiap kurun bertambah beban
itu keyakinan Suu Kyi yang mengapi
Myanmar-Myanmar
pagoda pagoda tak akan pernah tumbang
gemerincing genta adalah doa abadi
dunia timur percaya dan bersaksi
setiap saat selalu lahir anak matahari Jakarta, 1991
553
Anak Baghdad yang Mencari
Saudara Lelakinya
awan hitam mengapung di udara malam
kota awal mula peradaban
taman dan jalanan tempat berlarian
makin hari penuh lubang
gerincing rebana dan deru pesawat
apa bedanya ya bapa
seru tangis dan raung sirine
apa bedanya ya bapa
setiap fajar bangkit
debu Baghdad mengapung di sungai Eufrate
setumpuk garis berlapis-lapis
hanyut perlahan di sungai Tigris
mimpiku tentang Karbala dan Basra
telah terhapus angka-angka
semua pun berlangsung semua pun berkabung
tapi aku harus gantikan kakak lelakiku
karna tanah ini denyut jantungku
masih adakah yang tersisa
di antara puing Amriya
kulihat hanya tulang yang kenangan
langit pun keriput wahai
karna hujan tlah habis jadi tangis
karna suara begitu galau muncul dan hilang
seharusnya kau tak pergi
selama bapa ke selatan belum kembali
masih adakah yang tersisa
di antara puing Amriya
kulihat hanya darah yang mosaik
menjadi simbol-simbol keangkuhan perang
seharusnya kau bersamaku hari ini
menyusuri lorong-lorong tua
mengumpul warta bagi yang tua
sambil melompat-lompat di celah reruntuhan gedung
membiarkan otak kita penuh fatamorgana
tentang kota raya bermahkota
kaukah itu di antara kerumun pengungsi
bayangmu pun tak kukenali
Jakarta, Februari 1991
554
Seorang Perempuan Menatap
Reruntuhan Kota Terbakar
Eufrate dan Tigris yang legendaris
mengalir di kerut wajah
menjadi bayang-bayang sejarah
terbayang Karbala syahdu kota Syuhada
terbayang taman Babilonia
terbayang wajah Nebuchadnnezzar Sang kaisar
di langit Irak penuh bintang
pada suatu malam peringatan
hari jadi negeri hari kemerdekaan
betapa buram hari dan langit sekarang
badai-badai mengoyak usai
burung nazar berdawai-dawai
rindunya kepada ibu segala kemukjizatan
rindunya pada bunga segala prima
obsesiku membangun kembali kota ini
lewat tangan anak-anakku
jika kelak mereka telah jadi lelaki
dan asap terus mengepul
dan api terus berkobar
dan kota terus terbakar
dan doa terus mekar
pada Mu yang Akbar
Jakarta, Februari 1991
555
Mendengar Kata Anak Alam
bunga-bunga rumput di padang
mekar sepanjang musim kehidupan
mestikah kupindahkan musim kehidupan
mestikah kupindahkan di dada ibu
jika di sana muncul kerajaan raksasa
kemana kerajaan raksasa
akar umbi dan daunan
kemana kerajaan obat diselamatkan
jika di sana muncul kerajaan raksasa
kemana nanti akan dibuang
ampas-ampas penuh rahasia maut
di laut – nelayan dan ikan mati
di pulau – satwa dan damai halau
di bawah tanah – bumi terluka
cerobong-cerobong tumbuh
jadi naga kepala tujuh
koyak cakrawala bumi dan angin
dengar kata anak alam siap lahir
aku ini embrio sedang tumbuh
dalam rahim bumi penuh rahmat
aku ingin berkasih dengan alam
aku takut maut bukan dari-Nya
aku ngeri mata mulur tulang lentur
aku mau kita memuja Dia
dengan kepuasan yang samadya
di sini rahmat tersedia nyata
Jakarta, 1991
556
Sajak Lapar 90
kubungkam laparku dengan
mengunyah batu-batumu
melulur tulang-tulangmu
menghisap-hisap deritamu
kubungkam dahagaku dengan
meminum ombak-ombakmu
mencucup keluh-keluhmu
mengulum-ngulum tangismu
diamku adalah rakusku
diamku adalah bukan suntukku
ketika habis sudah
segala pada dirimu, ibu
ibu dari segala penderitaan
hidup matinya kampung halaman
Jakarta, Nopember 1990
557
Sajak Burung-Burung di Hutan Murung
burung-burung menyiulkan
kerinduan tonggak semi
dan angin yang setia mengabarkan
geriap hari saat pagi
burung-burung menyiulkan
kerinduan suara sendiri
kicaunya tlah masuk kaset rekaman
para bijak tak lagi ungkap yang tersirat
dan burung-burung trus murung
dan hutan-hutan terus kehilangan rahasia
telur-telur netas di sarang angan
piyik-piyik tumbuh di semak ingatan
tanda-tanda zaman berkelebatan
burung-burung sahabat hutan
yang masuk dalam kurungan global
burung-burung dan hutannya
mengerut jadi sebutir koral
suratkanlah tembangkanlah
siulnya dalam cemas pagi bertahan
yang sempat tangkap getarnya
hanya jantung kembara kesepian
inikah parodi sebuah era?
Jakarta, Nopember 1990
558
Senandung Hutan Kayu Perupuk Kalimantan
burung-burung hutan tropis
bersarang dalam gerungan mesin
telurnya tetaskan bibit dendam
menangisi kesetiaan pohon-pohon
suaranya luruhkan dedaunan berdarah
hutan-hutan kayu perupuk
pulau Mandul sungai Pimping
angin membawa senandungnya jauh
sementara kita tak sempat mencatat
burung-burung hutan tropis
bersarang dalam kerakusan kita
membiarkan lelaki perkasa
tak pernah henti tertawa
hitung angka di langit di para
Jakarta, Nopember 1990
559
Lembah Lontar Ketika Langit Terbakar
orang-orang dari kaki bukit padas
menelusuri jalan setapak
mencari ladang bunga, tempat peparu
rindu hirup udara dengan aroma
pohon menangisi renggasnya sendiri
lantaran langit hati manusia terbakar
mercik bakar langit sesama
mimpi bayi-bayi dalam palung rahim
sia-sia, dan menangislah penuhi hari
pertama, gaungnya tak lagi melodious
nyusup mengalir ke lembar lontar
ketika langit tengah terbakar
di balik aneka bendera berkibar
sampai merangsak layar-layar kaca
suara moyangku kini samar
tersisip antara nyanyian bisnis
dan nafas keangkuhan yang amis
sementara langit terbakar
sementara perempuan manja jender
moyangku – datuku -dayangku
benarkah hidup hanya
imaji yang mekar
dalam khaos umur ke umur
Jakarta, Nopember 1990
560
Ketika Bunga Ditabur Atas Pusara Tak Bernama
hari ini kita melangkah satu arah
gagah bagai tembok-tembok makam
wajah sekeliling serius penuh janji
menatap nisan-nisan putih
perekam berita ziarah
resapkan cinta tumpah darah
ketika bunga ditabur
atas pusara tak bernama
“Ibuku lahirkan manusia utama
batu dasar dan pilar penyangga
kokoh nusa kokoh bangsa
tiupkan nafas putih padat kasih
lewat pori tanah di tapak kakimu
antara doa-doa terucap
pada hari-hari begini
rindu kesejatian”
seorang prajurit muda tak bernama
menatap antara kerjap
lewat bayang pohonan rindang
kesiurkan angin makam hari ini
ketika bunga ditabur
atas pusara tak bernama
dan kita selesai diam-diam
melangkah pulang berpencar arah
Jakarta, 1990
561
Elegi Indramayu
dalam elegi tembangnya
pernah dibawa merantau bocah lanang nama Badri
luluh dalam satu sajak di aula rendra
pada satu hangat bulan februari
ketika hidup jadi satu kesimpulan
bukan sepiring nasi putih
eligi indramayu kembali hadir pagi ini
dibawa merantau lelaki muda nama Tarwadi
sayang hasratnya hitam
walau demi cinta istri
dan mulut-mulut empat bocah
sementara umur belum lewat dua puluh lima
tentu lantaran kawin muda karena
cinta kelewat membawa
dan iman tak sekukuh menara
Indramayu citra perjuangan hidup
lewat keringat bocah Badri
pagi ini dirusak Tarwadi
sesalilah, tangisilah
jauhkan hasrat hitam dari perjalanan panjang
sementara anak-anak butuh kesetiaan
sementara Indramayu tak pernah memberi hukuman
anginnya masih semilirkan tetembangan
Jakarta, November 1990
562
Tembang Duka Sungai Jawa
yang hitam dan terancam
yang anyir dan lebih mengalir
yang kehilangan bayang pohonan
yang kehilangan sapa bocah dan ikan
kota-kota tumbuh dan siap membunuh
orang-orang berbiak kurun ke kurun
membawa racun-racun
hari dan tahun terkemas dalam program
tanpa menyapa kehadiranmu
sungai jawa tembang duka
Jakarta, September 90
563
Kabar dari Teluk
pada siapa kutitipkan pagi ini tadi
begitu tergesanya aku membawa lari anak-anak
dari menantu yang terjebak dalam terungku
padahal matahari belum sempat kubasuh dengan doa-doa
agar Tuhan memberkati anak-anak manusia
yang menciptakan kunci-kunci penjara bagi hasratnya
siapa yang melintas cepat itu
di antara bayangan kapal-kapal dan barisan serdadu
kalau saja dapat kutangkap jubahnya
akan kutahan langkahnya agar kami saling bicara
tentang daun zaitun dan oase-oase yang menjanjikan
kenyamanan dan kenikmatan tiada hitungan
Sheik, Sheik, kulihat tanah leluhur
telah tersiram air berkumur
Jakarta, September 1990
564
Perempuan yang Berjalan di Arus Zaman
aku berjalan meniti windu
memunguti luka para saudaraku
luka abadi dari era waktu
yang membusuk oleh racun
berhembus dari mulut manusia hilang cinta
mosaik luka kutata jadi apa saja
bagimu ia pertanda-pertanda
baur dalam lagu fals dan air dalam gelas
pemusik arif mengambilnya
memberi warna dan nada
anak-anak datanglah sebelum masa dewasa
memenjaramu dengan berbagai macam aturan dunia
pagi ini hati bocah sahabat dunia ramah
terjemahkan dengan terang
banyak lagu yang muncul dari liang kehidupan
karena orang-orang bijak kini banyak hilang kebijakan
aku berjalan meniti windu
menyapa anak-anak berhati bunga
tempat harapan dan mimpi masih semayam
tempat fajar dan senja masih berwarna
di mana mencium luka masih memungkinkannya
memberangus cinta masih diharamkannya
sampai arus zaman membuatnya dewasa
Jakarta, September 1990
565
Antara Rimba Beton dan Rel-rel
orang-orang yang selalu memikir kebenaran
adalah milik dirinya dan kesalahan milik yang lain
pernah menertawakan dirinya yang mengaku mampu
mengubah warna langit, laut dan cakrawala
jika layar kaca, mimbar dan corong-corong
tak lagi boleh bicara
mendengus pada kota ia bahkan mengaku
aku anak rimba beton
zikirku mengental dalam adonan semen
meleleh atas gusuran tanah garapan
yang siap jadi kampung industri
aku anak rimba beton
selalu rindukan perbaikan tanpa rutin perngorbanan
azanku mengayun pucuk menara
yang rindu matahari baru tanpa ampas teknologi
siapa menatapku, siapa menyahutku
sedang udara kian terbakar
sedang rasa cinta kian ambyar membentuk jurang lebar
improvisasi adalah permainan langkahku
pohon-pohon dan waktu saling berpacu
bagai panorama dari jendela kereta
sedang aku kereta itu kencang melaju
sampai meninggalkan rel-rel tapi akhirnya
selalu kembali ke kota terbakar dengan stasiunnya
yang dipenuhi mosaik wajah-wajah beringas
Jakarta, September 1990
566
Antara Qom dan Basra
roh-roh menyerbu langit
melepuh oleh gelombang api dendam
roh-roh memberati udara bertuba
tinggalkan dosa di puing-puing Qom dan Basra
“Tuhan bukakan pintu rumah-Mu
masih saja peluru mencabik-cabik matahari
sepanjang tahun di tanah ini
masih saja erang menyayati gurun-gurun
kamp-kamp dan reruntuhan kota
perdamaian tersisa dalam kepak burung-burung
gema azan lama aib oleh debu
Qam dan Basra luluh dalam deru
“Tuhan bukakan pintu rumah-Mu
di bumi serdadu perang mengunci nurani
merpati molek terbang sendiri
berlumur darah netes atas lembar Al Qur’an
ratapi bayangnya di kanvas Picasso
Qam dan Basra pun terus memanggil anak-anaknya
mereka dendangkan prahara
dengan peluru dalam mulut
peluru dalam mata
peluru dalam sukma
dan roh-roh terus meniupkan dendam
mesti habiskah cucu Sang nabi tersayang?
Qom dan Basra semakin telanjang
1990
567
Di Antara Warna-warna
aku telah menyadarinya
cukup lama sejak perjalanan pertama
Kau beri warna-warna
Kau beri suara-suara
langkah memberi buah
hasrat memberi darah
lalu perjalanan panjang
di antara pertempuran-pertempuran
warna-warna-Mu tak pernah pudar
suara-suara-Mu tak pernah tawar
langkah terus menuju padang
orang-orang mencari, mendapat dan kehilangan
rahim perempuan alim berbuah sepanjang zaman
teknologi telah menjadi kembang plastik
hadir tanpa ruh
sambil mengayun pedang pembunuh
mimpi perempuanku telah melepuh
tapi siapa mau henti berkayuh
sementara Kau masih setia memberi warna
Jakarta, September 1990
568
Kidung Awal Musim
ketika hari-hari tak bisa lagi menghitung hujan
dan lalang mulai menyemak di kebun kita
katakan pada segala satwa pernah kautangkap
bunyi pesan sepanjang musim
hidup ini – ya kenang
cerita yang dikemas sehari-hari
lewat berita koran-teve dan puisi
cerita flora dan fauna membuat mimpimu manis
meskipun pengap pikiran manusia
o, carilah lembaran Tagore dan Rumi di antara
jerami umurmu – ya kenang – yang kenang
ia akan bangkitkan putih di antara hitam
sementara hari-hari tak bisa lagi menghitung hujan
kita tak bisa lagi menghitung kesalahan
Jakarta, Desember 1989
569
Perjalanan Anak Musim
kau yang selalu menghitung batu koral
dan guguran bunga mahoni sepanjang jalan setapak
di kota tua hilang nuansa
memungutinya satu-satu sambil menyebut nama ibu
lalu hari terasa lebih panjang dari sebelumnya
manakala orang-orang tua mulai membuka
pintu rumahnya, mengundang pejalan kaki hilang arah
kau menyimpan dalam kenangan paling panjang
gambaran kebijaksanaan
meneruskan perjalanan sambil terus mengukir
nama-nama yang kaya makna
kau terus berjalan menghitung bayang-bayang
pohon di hutan-hutan jauh
menghitung angan-angan mulai melepuh
tapi jangan pernah berhenti, wahai
anak musim bernafas angin
anak musim berpeluh darah
Jakarta, Desember 1989
570
Kedung Ombo, Getirmu Saara-Ara
anak lanang, anak lanang
menangis panjang sepenuh siang
Gusti Pengasih – ternyata kenang
kehilangan berpuluh kandang
mimpi-mimpi indah masa bocah
kudengar tembangnya nada lirih
di antara genangan
tapak-tapak hilang jejak
dosakah mencari makna
lewat silir angin budiman
sementara gebyar cerita Jratunseluna
kudengar lewat berita koran
hari ini jaring langkahku
anak lanang, anak lanang
pada siapa kau berbincang
sedang angin musim pun
menelan tembang dolanan
saat panggil angin kencang
‘tuk terbangkan layang-layang
Jakarta, Maret 1989
571
Kedung Ombo yang Dekap Gigil Sendiri
ara-ara adalah bercak kenangan
hidup berkampung hari kemarin
ara-ara adalah lenguh ternak dalam bayang
mengatruh daun jatuh di air keruh
dan Kedung Ombo dekap getirnya dalam doa-doa
Kedung Ombo menatap diam
bocah-bocah bermain dalam kecipak
dan percikan, entah senang entah dendam
pada satu siang tanpa matahari
bocah coklat berdendang sendiri
“ara-ara kutembangkan
Jratunseluna kumimpikan
Kedung Ombo hari ini
bagaimana kukatakan?”
siapa mendengarkan
sementara langit diam mengerang
bocah coklat terus berdendang
tak peduli angin mati
tak peduli matahari mati
“Kedung Ombo, Kedung Ombo
getirmu saara-ara
getirku sapira?”
Jakarta, Maret 1989
572
Sajak Sebuah Piramida
(bagi Romo dan angkatanku)
sebuah piramida
dibangun dari batu putih
keringat luka doa-doa
batu-batu dibongkar dari
tebing-tebing semangatmu
manakala ia mulai membaluti
lengan kaki selalu terluka
piramida yang kurang pucuknya
adalah kesepakatanmu
Jakarta, Maret 1989
573
Sajak di antara Doa Novena
cinta kasih mekar kala usia senja
bukan kepada primadona bumi semesta, bunda
adalah putik lili paling suci
kulabuhkan dharma sedrhana
lewat getar karisma tiada tara
dalam selaksa musim tergenggam
bunganya di tangan-tangan keangkuhan
dalam galau sisa peradaban
akulah hewan terluka itu
yang jeritnya pernah didengar
penyair tercinta tanah airku
dia berdoa sepanjang usia
Jakarta, Maret 1989
574
N’Kosi Sikele Afrika
anak bumiku
anak-anak hitam tumbuh di luar tembok tembok penjara
perempuan kerabatku
perempuan perempuan bunga mekar
di padang terbuka antara Soweto - Lusaka
dan hutan hutan
dan gurun gurun
dan getar tam tam
bersaksi atas nama segala cinta
aku tetap belum bisa tenang
menghitung kalender di kursi goyang selama pembebasan
permainan mimbar sebagian sebagian
Walter Sisuluu aku punya sembilu
Neville Alexander aku punya keker
Andrew Masando aku punya loso
racun tuba masa-masa paling pahit tlah menulang
musim-musim datang dan pergi
dari Robben Island sampai Pollsmor
semua jadi nyanyian kekuatan tak terbilang
rentak-rentak kaki berirama lagi
getar tam-tam nyala api
dan gigi-gigi putih
dan wajah-wajah ekspresif
sekarang kutatap tiap hari
Soweta kudekap, Lusaka kujabat
matahari kan kutangkap kalian tahu
buat bakar mimpi buruk kalian tahu
buat lebur sisa belenggu kalian tahu
Jakarta, Maret 90
575
Nyanyian Pembebasan
Pimperpel hitam berbunga biru
tanaman kecil yang muncul di ladng jagung itu
telah tumbuh jadi pohon lebih tinggi dari harapan
bunganya aroma udara segala musim tanah Afrika
Rolihhala Dalibhunga bapak dari segala anak
telah tercatat hari-hari paling mashur dalam umur
dan banyak tangis, getir para martir
pada dinding-dinding penjara Robben dan Paarl
dikatakannya pada anak-anak yang tinggal jauh
tahukah kamu tiada tiada pengadilan mampu
memasang getar harapan dan denyut jantung
karna sungai darah bermuara pada
masa kanak penuh harmoni di silamnya Transkei
sebuah koral putih di tanah hitam
senyum langit telah turun
semburat pada wajah lelah kembali rekah
bahkan mortir dan bayonet tak mampu
meredam suara angin bangkit
di jalan-jalan kota
di ladang-ladang tua
di hutan-hutan purba
Afrika smarak merah kesumba
dalam binar mata orang-orang yang mengalirkan cinta
perjuangan dan kesaksian
dalam warna hitam hijau keemasan di tubuh
perempuan dalam hujan menyanyikan :
lelaki kami telah pulang! Jakarta, Feb 90
576
Catatan Seorang Anak Kota
sebuah penjara telah dimasukinya
ketika pintu-pintu dunia lelaki
rasa tertutup oleh perkawinan
ia mencoba bebaskan diri
tinggalkan kampung halaman
kota kecil kesayangan
dan seorang bocah si anak lanang
Jakarta, tunggu langkah pengembara
yang bermodal jiwa tualang
lelaki sederhana menatap Jakarta
di mana-mana seringai serigala
o, keramahan di dada siapa masih tersemat?
adakah di cucuran atap rumah kardus?
depan rumah putih gaya sepanyolan?
lelaki sederhana rindu tegur sapa
sebuah penjara telah dimasukinya
ketika pintu-pintu kebebasan semu
tak memberi sesuatu selain deru
Jakarta luruh dalam terminal bus kota
ketika seorang kawan lama menemukannya
mengipas luka diri oleh sayatan Jakarta
apa kau cari di hutan bangunan ini?
sedang aku siap kembali
kata sang kawan bagai tikam belati
1988
577
Jakarta dalam Catatan
musim mengirim angin
ke setiap sudut kota
selamat pagi Jakarta
dalam deru kereta
dalam gerung bus kota
dalam cepat langkah sepanjang trotoar plaza
dalam musim mengirim debu ke taman-taman
selamat siang Jakarta
dalam semangkuk mie pinggir jalan
dalam denting gitar pengamen Ardan
dalam mataku mulai rabun oleh perjalanan
Jakarta kita saling menyatu
dalam nafas dalam langkah dalam gairah
Jakarta, kita saling mencari
makna jati diri makna kasih insani
Jakarta, perjalanan masih panjang
kita sudah kepalang
tahun-tahun muncul dan tenggelam
meninggalkan banyak beban
kita sama-sama penuh luka
sedang mencoba mengobatinya
lebih indah jika saling dekap
sambil hitung nuansa di tingkap-tingkap
memahami liku-liku perburuan di dalam rimba betonmu
melelahkan tapi tak ingin kutinggalkan
kita sama-sama berangkat tua digiring zaman
kita dalam persekutuan 1988
578
Jakarta dalam Suaraku
orang-orang kamar menatap dunia
sambil pejam sementara
aku pacu angin kembara
di ladang-ladang bunga
di bukit-bukit padas
di gisik tanah kelahiran
di jantungmu bahkan
tragedi tercipta dari rasa yang
lumpuh oleh belulang tanpa kuasa
“kota penuh bakteri
aku harus bentengi suci”
orang-orang kamar pandang dunia
tak pernah binar-seminar
padahal nuansa selalu kubangun
siang malam dari debu di tubuhmu, Jakarta
aku tertegun di kaki lima
sementara degub jantung bertemperasaan
di pucuk-pucuk angsana yang
bertumbangan demi terlintang jalan layang
o, perang dan damai saling bentur dalam jiwa
tak hanya di lorong Baghdad dan Basra
o, merpati dan darah tak pernah menyatu warna
di langitmu Jakarta karna hakiki
putih dan merah adalah
nafas yang salih dan sang angkara
maka aku tak hendak jadi orang-orang kamar
meski musik dan anggur mengucur dari
ilusi tercipta oleh langit teknologi
aku pejalan kaki yang sesekali masih mencari
cecer melati di antara petak betonmu, Jakarta
1988
579
Jakarta dalam Ketika
Jakarta,
ketika bulan merah kulihat
wajahmu tersangkut di atap-atap
rumah kampung Condet yang
tersilet-silet
Jakarta,
ketika musik-musik berderam
kudengar suaramu menyatu
dalam doa sabar polisi-polisi kecil
berpanas-hujan sepanjang jalan Sudirman
Jakarta,
ketika bunga-bunga ulang tahun
cantik memanjang gedung kapitol
kulihat dirimu tak henti
menggoyang angan-angan para urban
yang tak pernah lelah mencari
sementara terus kehilangan
Jakarta,
ketika forum-forum cantik
bicara tentang profil kota ideal
kulihat dirimu sabar mendengar
sesekali menatap air Ciliwung
di mana bayangku limbung
dan Harmoni penuh bunga imajinasi
Jakarta, Juni 1988
580
Sebidang Tanah Luluh dalam Geguritan
sebidang tanah, daging bapakku
atasnya ngalir sungai airmata ibuku
udaranya, kesiur angin desah nafasku
berlaksa cacing munculkan kesuburan
para kerabat lalu bertanam
dan bertikai sepanjang waktu
daging cabik, bapa lubuk kediaman
sungai dangkal, ibu belik kearifan
nafas terengah, udara seguci tuba
sebidang tanah terus diperebutkan
bapa ibuku luluh oleh kemunafikan
lembah telanjang tanpa warna bunga
kasih Tuhan membuka seribu pintu
angkara kerabat nutup kembali pintu
sebidang tanah kini traumaku
mengoyak malam-malam heningku
lorong-lorong gelap cari cahaya sendiri
dalam hening dan laku hanya ada aksara
sebidang tanah purba akhirnya kumengerti
cangkuli dia dengan hati kasih sayang
cangkuli dia dengan hati lulur tembang
daging bapaku kan makin harum aroma
airmata ibuku kan makin bening kaca
anginnya kan makin ramah menyapa
bunga memusim mentari kemilau
Jakarta, Juli 1988
581
Nyanyian Cinta
jangan pernah tidurkan semangatmu
jeruji besi juga tak pernah tidur, lelakiku
Soweto masih seperti dulu
ada tangis kanak-kanak di luar rumah
ada isu berkeliaran di jalanan
ada pekik orang-orang penyimpan sayang
ada kembang dalam kenangan panjang
jangan pernah baringkan harapan
umur buka jangka pengukur, lelakiku
agar selalu rasa hanyut kota kulit hitam
walau mengubah sand-wich jadi sekam
untuk sebuah kesaksian siap kau telan
di mataku hutan Afrika keriting rambutmu
di mataku langit Afrika kerut dahimu
musim-musim dan perjuangan
kunyanyikan
merjan-merjan
di leher kuat
sesungguhnya impian merdeka
bincang dunia
tengok keluar setiap cintamu lapar
di langit kulukis merpati terbang
di paruhnya kusemati ranting zaitun
berdaun kuncup cinta anak-anak Soweto
yang bermunculan dari rahim waktu
anak-anak yang tak henti mencari bapa
anak-anak yang tak henti menggapai angkasa
Jakarta, Juli 1988
582
Percakapan dengan Angin
di Telaga Kedokan Parang Gupito Wonogiri
ke Kedokan Nok, ke Kedokan
kau basuh debu tubuhmu
kau basuh luka musimmu
kau basuh matahari Wonogiri
(angin kering menyisiri jalan setapak
bekas jejak perawan banyak kehilangan)
ke telaga tanpa warna
aku Dhenok memotong senja
matahari membakar bianglala
kusembunyikan di celah dada
(siapa memperhatikan suaranya
selain angin bukit kapur tanah leluhur)
senandungmu lirih
adakah perlambang sedih
telaga kian menyusut
Tuhan tetap Maha Kasih
(angin menggugurkan debu di udara
hinggap pada bulu burung dan angsa)
ke telaga tanpa warna
kubasuh wajah letih
bunga kecubung Parang Gupito
air telah bercampur lumpur
menjadi boreh dan lulur
air telah bercampur kencing
manusia dan sapi serta segala
kusapa Gustiku Maha Cinta
(di keruh telaga Dhenok mencoba berkaca
musim hanguskan kulitnya)
Jakarta, September 1987
583
Mimpi Seorang Lelaki Urban
tentang Lahan dan Bulan
kutulisi langit dengan debu kota
menggugat nasib tak satu perjuangan
saudara lelaki lama lupa
hanya memikir geleng-geleng di lengan istrinya
sudah kucari makna-makna
dalam setiap sujudku
akan sanepa datang pergi
mimpiku tentang bulan dan lahan
mengeras pada wajah istri dan anak-anak
rontok oleh keterbatasan
kuhitung langkah-langkah
masa depan tanpa pensiun dan rumah
kesadaran, kesadaran
kau muncul setelah luka hidup membuhul
dan karisma tercangkul
peraturan membakar mimpi-mimpi
langit kutulisi dengan apa lagi?
Jakarta, September 87
584
Parang Gupito, Luka di Busur Langit
ke Kedokan, Nok, ke Kedokan
kau kubur mimpi musim padi
kau kubur mimpi pengantin lelaki
bagai persik di pandan duri
angin kering menyapa
setiap langkahnya
di keruh telaga Kedokan
kuulur-ulur harapan
kukukur-ukur wawasan
kujaring-jaring cinta atasan
Dhenok berkata muram
matahari meleleh di celah dada
telah cair jantung perawan
menyatu pada telaga kubangan
seseorang menabuh gamelan
senja-senja, mencoba mengusir lara
di atas telaga langit kesumba
angin njemput anak musimnya
senja kian menuba, di udara
ada yang nari berpasangan
Gusti Pangeran, itu kembang
Parang Gupito, di telaga tanpa warna
orang-orang memekik panjang
senja mengerang
Jakarta, September 1987
585
Hari Terakhir Perempuan Mardiyah
dirujaknya hati perempuan
bagai ramuan buah di meja sajian
saus gula lelehan cinta
menyeret lelaki malam ke malam
mata sebelah perempuan Mardiyah
sisakan warna sedikit manis
lebih-lebih oleh isi koceknya
lelaki ketengan tak lagi peduli cacat matanya
Mardiyah hanya mau secuil kasih
saat umur mulai berjamur
perempuan berumah malam
sesekali sandar di kursi tontonan murahan
lalu hari-hari menuju usai
bangkrut diri menjadi bangkai
kawan bersuka para lelaki
menengok mayatnya pun tak sudi
Mardiyah belum maria Zaitun
tapi Mardiyah yang terabai
ibarat kue kena hinggap lalat wilis
hanya perawat-perawat manis
dari rumah sakit kecil kota tua
membawa Mardiyah pulang buminya
pohon-pohon kasih sayang
hari ini tumbang di halaman kota
getarnya sampaikah
di sorga apa neraka?
Jakarta, September 87
586
Nyanyian Pergulatan
bulan meleleh di langit
menebar warna-warna
adakah mimpimu itu bocah?
bulan meleleh atas kilau
sepatu di pangkuan
ramuan coklat hitam
adakah nyanyianmu itu bocah?
bulan meleleh dalam saku
basah uang recehan
tembus ke dada tembus ke rasa
meresap dalam gema di udara malam
dari nyanyiannya sederhana
jangan kata perjalanan ini menjemukan
bunga kanak penuh warna
bumi kanak penuh merjan
langit kanak penuh bulan
saku kanak penuh jajan
punggung kanak penuh keringat pergulatan
jangan kata perjalanan ini memuakkan
semua selalu kunyanyikan
aku bertutur aku pun berlalu
langkahku menyeret malam
bulan meleleh terhempas-hempas di jalan
Jakarta, Februari 1987
587
Nyanyian Perempuan Malam
hujan petang menerpa jendela kamar
rumah bunga pinggir jalanan
jarum-jarum hujan berjatuhan tak terhingga
cerita ini masih berapa lama?
selembar daun luruh lagi
setiap angin menerjang pohonnya
seorang lelaki mampir lagi
menyiramkan dosa tak berkesudahan
hujan petang menerpa ketabahan
malaikat telah terbang jauh ke sorga
tinggalkan anak bunda penuh luka
mana lagi melati-melati pernah kutanam
di kebun masa kanakku?
Romo, mungkin tercemar dari genggamanmu
ketika Tuan melintasi halaman gereja tua
Tuan pernah menerimanya dari tangan kecilku
sebelum ibu sempat memetik buat sebaran
meja riasnya yang selalu menggodaku
jadi pesolek kecil dan akhirnya penjaja malam
hari-hari tak bertuan
Romo, khotbah Tuan kurindukan
ah, Tuan telah pangling tak mengenaliku
wajahku telah pucat dan tua dihisap beban dunia
aku si kecil yang telah berpaling dari padamu
dengarlah nyanyianku memanggilmu
di malam hujan yang tak kan kuperpanjang
Jakarta, Februari 1987
588
Tembang Kemarau Rakit-Rakit Sungai Balangan
menghilir hari-hari sepanjang sungai
menghilir perjalanan nasib di sisir pisang
susutnya sungai susutnya harap
mengendap-endap kemarau panjang
selalu berulang kembali tanpa keluh
pak Utuh tak pernah rapuh
menyusuri sungai balangan
dari halong menuju amuntai
rakit pisang milir-milir
diiringi angin kemarau semilir
menghilir hari-hari sepanjang sungai
antara halong sampai amuntai
anak musim dijaga musim
anak nasib dijaga nasib
pak tua ada di hulu
pak tua ada di hilir
pak tua ada di siang
pak tua ada di pagi
ditembangkan kemarau panjang
ditembangkan rakit-rakit mengambang
ditembangkan senyum isteri di sisir pisang
ditembangkan tanah merdeka tanah kelahiran
kekasih Allah orang-orang tak kenal lelah
diburu nasib tak kenal pasrah
kekasih Allah orang-orang sederhana
merdeka dan bencana dianyam sama-sama
tanpa dendam dan penyesalan
anak cucu dan kesetiaan memang ada di mana-mana
di sepanjang sungai
di bilah rakit
di pohon-pohon
di musim-musim
rakit-rakit milir tenang
pagi siang menawarkan keheningan
Jakarta, 1986
589
Anak-Anak Kota Kelahiran
laut menagih ombaknya
lama kau simpan ikut langkah
pengembaraan, musim ke musim
menunggu angin bangkiti dari nafasmu
pohon-pohon tua penjaga gerbang kota
lama tak lagi gugurkan daun dan bunga
segalanya telah dibekalkan dulu
saat matamu membakar langit
begitu langkah tinggalkan kota
kau ada di mana-mana
di bukit-bukit dan di langit
sementara laut dan gerbang kota
masih menunggu berita tualangmu
Bintaro, 1986
590
Anak-Anak Air Api
anak siapa nyanyikan syair sumbang
membuat malu bintang-bintang
suaranya makin parau
anak siapa mencari perhatian
mengajak berpacu terbang
matanya merah nafasnya meradang
perdamaian itu
hari ini dalam liurku
sementara pemusik terus berdendang
dan bom imperialis berjatuhan
Jakarta, 1986
591
Bukit di Bawah Matahari
yang menyimpan batu-batumu
yang menyimpan hijau-hijaumu
yang menyimpan tegar-tegarmu
yang menyimpan harap-harapmu
bukit di bawah matahari
anak manusia tak henti memanjati
mencari anginmu
mencari puncakmu
mencari rahasiamu
beribu jejak menjadi iga-igamu
garis-garis pergulatan
nafas-nafas tak sepikan hening
makna-makna pencarian
bukit di bawah matahari
hari ini mungkinkah
kita berbincang sendiri
ada rahasia di antara kita
dalam lipatan kampung tua
padahal kesederhanaan
membenci benalunya
Lampung, Oktober 1986
592
Suara-Suara dari Lembah Code
selamat pagi Romo
selamat pagi mbakyu kakang
selamat pagi lembah padat cerita
matahari muncul di antara daun-daun
anak-anak tumbuh dalam asuhan alam
yang sisakan keramahan tata kota
anak-anak menghitung umur
tiap tahun upacara hari merdeka
bapa biyung coba kubur segala murung
malamnya jauh terang Gedung Agung
selamat malam Romo
selamat malam mbakyu kakang
selamat malam lembah padat cerita
di cakrawala saling kejar berlintasan
bintang-bintang dan satelit buatan
lembah code bersaksi tenang
suara gambang nyelinap dalam ruang
perjalanan, perjuangan, makin panjang
langkah menyusuri jalan Ireda
natap musium perjuangan
langkah menyusuri trotoar harmoni
natap menara kota
suara-suaramu ada
Jakarta, Oktober 1986
593
Sajak Pohon-Pohon
kita adalah pohon-pohon hutan yang
tumbuh tidak mengenal musim
matahari jajar dan membakar pun tetap
tak menghalangi bunga dan buah muncul
dari celah ranting kehidupan
begitupun anak-anak bermunculan
dari berlaksa rahim suci pun yang tercemar
sama-sama menyapa Tuhannya
kita adalah pohon-pohon yang
tumbuh dan lenyap tergantung perencanaan
selaksa akar-akar elektronika dalam
saluran-saluran kota membuang batang
terbakar, sementara udara penuh racun
membuat layu daun-daun dalam kealpaan
kita adalah pohon-pohon yang
tumbuh dan mati seiring perjalanan
bintang-bintang, mengalirnya sungai-sungai
kelahiran bayi-bayi, mengganasnya hama-hama
merayapnya dosa-dosa
kita adalah pohon-pohon yang
menjadi bagian dari pahala dan dosa
Jakarta, Agustus 1986
594
Doa Seekor Katak Kala Bulan Agustus
Tuhan, Ruh segala makna kemerdekaan
jangan hujankan langit
sementara anak manusia
menghitung puncak-puncak karunia-Mu
Tuhan, Ruh segala makna kedamaian
jangan rontokkan bumi hangat
tak peduli surat kolamku di hutan-hutan
lihat mataku yang besar
sebesar jiwaku yang sabar
jika pun hari lebih panjang dalam kering
karena anak manusia berpesta kelewat lama
matiku bukan apa-apa
seekor katak tengah berdialog dengan alam
di antara gemuruh suara penebangan hutan
langit buram turun dalam kolam
katak-katak pun bermunculan di otakku
berdialog sepanjang waktu
ditatapnya dunia lewat mataku
didengarnya tembang merdeka lewat telingaku
dibisikkan doa lewat mulutku
katak-katak berkembang biak dalam sukmaku
berdialog sepanjang waktu
Jakarta, Agustus 1986
595
Bincang Sebuah Jembatan Gantung
selamat pagi anak manusia
tapak-tapak kaki kecil menyentuh
kuakrabi berbilang windu
ada yang patah ada yang menyulam
tak sampai goyahkan kesetiaan
20 tahun aku selalu menyapa
menghantar kalian
ke kebun karet di seberang
20 tahun aku selalu menjaga
kalian pulang dari pasar dan ladang
rinduku
pada pilar-pilar penyangga
rinduku
pada terang lampu di atasnya
rinduku
pada cantik kampung Mangkahayu
rinduku
pada riak-riak sungai Balangan
adalah bisik peladang
di seberang jembatan
adalah bisik perempuan
mendekap anak tersayang
selamat pagi anak manusia
aku masih setia menjaga Mangkahayu
selamat pagi masa depan kebun karet
selamat pagi masa depan pasar ladang
saku tembangkan
hari-hari kalian dibawa angin
menyusuri pinggir Mangkahayu
menyusuri atap rumah camat Paringin
mengusap lembah hati orang kota
mengusap janji lama orang tetua
kelak di sini
tak lagi kau dapati
kayu patah di rentangku
tali plastik pengikatku
jika kawat rapuh oleh karat
tak ada cemas mengusik
langkah melenggang tenang
percaya pada kebijakan Sang Pemangku
satu saat tiba juga
cantik semarak di Mangkahayu
di sini setia
langkah-langkah anak Indonesia
di sini setia
bisik-bisik cinta merdeka
Jakarta, Agustus 1986
596
Sosok Sang Nyai Danyang
kau takkan pernah mengenal suaraku
kau takkan pernah mengenal langkahku
kau takkan pernah mengenal warnaku
aku nyai danyang yang tinggal di setiap
lorong tanpa penghuni dari sukmamu yang
tak pernah henti rindu desir keindahan
aku kelelawar yang muncul dari malam paling
pekat, melepaskan dahan-dahan kemalasanmu
aku jejak tak tinggalkan bekas di jalan
setapakmu pada hari berkabut dan kau
kehilangan kasut dalam hidup
aku nyai danyang yang menjagamu dengan caraku
bagai pandan duri di pesisirku
bagai warna merah pada capung musim ikan
bagai tajam mata pada pena sang penyair
aku nyai danyang yang menjagamu tetap merdeka
Jakarta, Agustus 1986
Catatan:
nyai danyang adalah lembaga, jasad halus yang bersifat baik.
597
Pesan Seekor Induk Burung Kepada Anaknya
kemerdekaan yang tumbuh di sayapmu
adalah jantung kehidupan
terbanglah jauh
bukit-bukit dan lazuardi
adalah kekasih dalam hidup mati
kaulihat jua
hijau lumut padang rumput
telah melekat di kanvas para pelukis
harum aroma mata air
kini menetes di kalam penyair
kilauan mutiara manusia
telah disumbat dalam botol-botol aqua
kauterbanglah jauh-jauh
sebelum musim berbunga pestisida
kaungembaralah jauh-jauh
sebelum pemburu menyalamimu dengan peluru
o, jaga sayapmu yang merdeka
setialah berkisah tentang kehijauan
saat manusia kehilangan pohon-pohon kecintaan
dan menggantinya dengan plastik-plastik
tanpa urat kehidupan
Jakarta, Agustus 1986
598
Kabar Sepanjang Musim
seorang anak berjalan di kaki ombak
memunguti buih-buihnya
menaburkan ke matahari
menjadi mimpi-mimpi
kampung pesisir tanpa lendir
seorang anak berjalan di matahari
memunguti pijar-pijarnya
menaburkan ke bumi
menjadi jarum-jarum
di mulut si emak yang melepuh
seorang anak tersedu sendiri
kehilangan buih dan matahari
dan kampung tiba-tiba sunyi
bapak emak tubuh telah penuh duri
pergi ke kota sendiri-sendiri
tahukah dia anak sahabat luka
kota penuh buih dan matahari
membuat orang tua pada mimpi
hari-hari terus mengalir
hitam putih merah ungu
dan angin mengabarkannya sepanjang musim
Jakarta, Agustus 1986
599
Tembang Sebuah Kota Raya I
kota yang berangkat tua
lebih menumpuk
di setiap sudutnya
orang-orang dungu
kehilangan pintu rumahnya
angsana sembunyikan angin
di bawah setiap lembar daunnya
kota yang berangkat tua
bayangnya megah
dengan mahkota matahari
orang-orang urban
selalu punya lapar
disembunyikan gerimis
diam-diam kusutkan kota
siapa kita?
siapa mereka?
siapa kau?
siapa aku?
Jakarta, Juni 1998
600
Tembang Sebuah Kota Raya II
di antara bongkaran jalan
sepanjang musim
dera nasib dan sejata tajam
aku langit disayat hujan
di antara barut-barut hitam
anak-anak coba punguti
sisa angan-angan
di teratak hari depan
tembang kota saat petang
nyusup antara gerbong-gerbong jingga
o, ada yang masih tersimpan
sejarah perjuangan
anak-anak siapa
melempari matahari
melempari mimpi-mimpi
tak berkesudahan
Jakarta, Juni 1996
601
Tembang Padang Ilalang
dilihatnya rumah bambu Romo Mangun
berubah jadi pendaringan rindu
insan kota yang banyak kehilangan
saat segala pun hilang
selagi lintasi padang ilalang
kerabat tua berdialog dengan bintang
kehangatan itu api kecil
tercipta dari kristal nurani
muncul saat bumi penuh melati
kehangatan itu sapa lirih
seiring tumbuhnya benih
saat terdengar derik pedati
sibak mendung langit musim basah
tepis debu udara kota musim resah
nyanyian itu menyusupi kisi jendela
Jakarta, Desember 1985
602
Tragedi Sebuah Strata
mereka menyerbu kota-kota
meluruk bagai gelombang hitam
dalam kibaran jubah warna kelam
membunuh suara-suara
membunuh nuansa-nuansa
membunuh benih-benih sedang dipilih
sungai-sungai penuh limbah dosa
pohon-pohon penuh ulat durhaka
tersisa jadi keangkeran hari ini
sebelum luluh dalam gemuruh
gelombang pasang selaksa kutukan
o, putuskan belenggu
dari karma nenek moyang
sebuah suara menguak kabut
adakah kita mendengarnya
di antara gemeretak api merata
di antara gemeretak hati meraja
adakah kita mendengarnya
selagi iblis mengancamkan linggis
Jakarta, Desember 1985
603
Duka Sebuah Hutan, Duka Burung-Burung
burung-burung hilang sarang
mencari lebat rambutmu
hutan lindung sepanjang musim
sisa zaman penuh hijau usia muda
akar-akarnya yang mulai rapuh
dikaisnya ‘tuk bangun sarang
paruhnya rapat
kehilangan risik dendang
kudendangkan kerjanya sang setia
dengan lidah yang mulai kelu
burung-burung sisa hutan bencana
mulai bertelur satu-satu
Jakarta, Juni 1985
604
Sajak dari Ladang Garam
tuangkan air laut dari timba opeh
tuangkan air laut dari peluh
tuangkan air laut dari mata
tuangkan air laut dari mulut
tuangkan ke ladang garam
tuangkan antara Juwana – Rembang
ratakan dengan silinder gelugu
ratakan dengan tapak kaki
ratakan dengan angin gisik
semua adalah nyanyianmu
nyanyian dari ladang garam
saat lenggang perawan pesisir
lenyap di balik dinding berdesir
saat bocah-bocah ikut berburu ombak
saat perempuan-perempuan kecoklatan
senandungkan putaran ritmis gelugu
kelimis-kelimislah ladang garam
beri kerak-kerak putih nafas kehidupan
di situ tertumpah
hari-hari bebocah itu
senyum-senyum gisik itu
mimpi baju putih merah itu
mimpi sepatu bertali itu
mimpi tiang bendera upacara itu
Jakarta, Desember 1984
605
Nyanyian Hutan Tropis
bagai lelaki tanpa rompi
biarkan dada telanjang menyambut angin
biarkan peluru serdadu sombong
tak tahu lagi nyanyikan pohon hutan
selain meniup ujung senapan
berjalan dia lelaki pencatat kehidupan
dengan globe di kepala
dan dengus kota-kota bencana
menyumbat nafasnya
dirindukannya nyanyian hutan tropis
cerita panjang tentang perdamaian
anak-anak aman bermain sepanjang jalan
perempuan-perempuan nyisir rambut
dekat jendela terang
anak-anak, domba kecil penuhi padang
perempuan, bunga rumput penuhi lembah
dia terus berjalan, lengan bergoyang
dahi tanpa kerutan oleh auman perang
dia terus berjalan, globe di kepala
nyanyikan hutan-hutan
anak-anak dan perempuan
nyanyian hutan tropis
mendayu sepanjang nadi dan langkahnya
Jakarta, Desember 1984
606
Elegi Jakarta
langit kota tak sajikan
bintang malam ini
langit kota tak riapkan kabut
menguap dari kolam-kolam
ada tatap menusuk langit
menetes darah
menggenang kehitaman
di jalan-jalan
di taman-taman
di atap-atap rumah
di sudut-sudut hati
di titik sunyi
diri jadi ciliwung
kehilangan langit berkaca
saat dering-dering jahanam
mengoyak siang mengoyak malam
mengoyak langit kota
mengoyak langit sukma
mengembang sisa lagu duka
Jakarta, Nopember 1984
607
Nyanyian Ombak Pagi Agustus
laut-laut yang selalu ramah
berikan padamu debur semesta
bangkitkan nyala dari padam
bangunkan pagi dari malam
kau dengarlah, anak tersayang negeri kembang
laut tak mau kau tanam pohon karang
timpa kuburmu di kurun datang
karena laut berikan ombak
bagai tahun berikan pagi Agustus
lihatlah, anak tersayang negeri kembang
setan nada di kaki ombak
siap bantaimu sambil terbahak
dan pada laut ia tuang arak
pada punggungmu ia siap ombak
dengar nyanyi ombak pagi Agustus
palingkan semangatmu dari belenggu emas membius
mumpung hari masih pagi
mumpung ombak pagi Agustus
peraslah warna-warni sakti
tuang pada laut hancurkan arak
tuang pada sukma dengan semarak
dan Agustus semakin harum dalam ratus
dan Agustus semakin merah oleh darah
dan Agustus semakin marak oleh ombak
dan Agustus leburlah dalam sejuta gerak
Jakarta, Agustus 1984
608
Sebuah Iring-Iringan
perjalanan panjang di celah-celah gunung
memikul keranda hari kemarin
di pucuk langit matahari
biarkan iringan lalu dalam sengatan
tak ada nyanyian lagi, Sarinah, Atun, Umi
tak ada celoteh santri-santri kecil langgar tua
di pucuk hari harapan
biarkan nurani berdialog sendiri
sementara siang membakar cakrawala
hari ini awal penyiksaan kehidupan panjang
lalu henti di satu ufuk
mana itu tiada orang tahu
timur barat utara selatan
tiada beda dalam rasa
Tuhan mungkin di puncak cakrawala
mungkin di bentang samudra menjaring angin
nabur-nabur rizki pada anak cucu Hawa
lalu keranda makin berat-berat jua
cecep, Udin, Wayan
hari kemarin, hari ini, hari esok
menyatu dalam usungan terbungkuk
menggumpal dalam empedu tanah airku
Jakarta, Juni 1984
609
Nyanyian Granit-Granit
lama-lama kudengarkan
kelelawar-kelelawar hitam
ujung-ujung sayapnya menusuk bulan
sambil saling cericitkan makna dahan
bangunkan orang-orang penidur
kehilangan cerita malam
lama-lama kudengarkan
dayung-dayung warna wulung
ujung-ujungnya menusuk laut
sambil saling desahkan
nafas-nafas nelayan muda
milik tersisih kampung tanah air
sekarang kudengarkan
nyanyian granit-granit
muncul dari hari yang rumit
gaungnya menusuk langit
sekarang kukirimkan
nyanyian granit-granit
pengganti harum kopi wedang
dan suara gambang kesayangan
kepada bapa dan semua orang tersayang
yang tak sempat nikmati hari terang
Jakarta, Nopember 1983
610
Burung-Burung Gagak di Atas Tanah Retak
Colo, Colo, seribu duka
jadi warna merah di langit
matahari jadi kepingan bola api
pijar dan keji
Una Una Pak Tua bungkuk runduk tersuruk
sempat ditelannya segugus kesombongan
anak negeri tanah ini
Colo, Colo, sisa keangkeran
cengkeramkan orang
perut-perut merangkak dalam otak
diburu burung-burung gagak
dan ‘rang kota kirim doa-doa retak
dan ‘rang kota kirim rasa-rasa koyak
dan eak-eak jadi kerak
lidah-lidah bengkak
kelopak mata bengkak
bayi-bayi bengkak
jompo-jompo bengkak
takut dipatuk burung-burung gagak
sementara di jantung kota
pekik merdeka menggema galak
Jakarta, Agustus 1983
611
Danau ke Toyabungkah
yang berkabut dingin kelabu
menabir bumi beku sukmaku
nawarkan kebebasan
nyelam ke dasar tak bertepi
perempuan, di sini jantung sang bali
tiba-tiba kearifan kugenggam
segala purbasangkaku
kubasuh dengan airnya diam
yang berkabut dingin kelabu
lama kusimpan dalam mimpi
betapa kebebasan
telah membunga di nurani
1993
612
Sajak Ketut Tua, Pemahat Dusun yang Frustrasi
dia bernama Ketut
orang dusun panggil Ketut
Ketut tua sederhana
Ketut tua limbangan cinta
turunan ke tiga penghuni banjarnya
banjar tua dengan Ketut sama tua
banjar cinta dengan Ketut sama cinta
banjar setia dengan Ketut sama setia
sepanjang musim
ya sepanjang musim
Ketut memahat dengan rajin
bersahabat dengan miskin
Ketut tua telah memahat umurnya
roh moyang titisan ilhamnya
matahari langit Bali adalah semangatnya
tapi tahukah Ketut berhati sederhana
kini seni tak miliknya sendiri
jaman angker kakek moyang lama lewat
seni Bali telah dijejal rapi di toko suvenir peni
dan siap sangkut pergi
pengagum berkocek tebal manca negara
Ketut malang perlahan langitnya bergoyang
mereka tak lagi mencarinya di kampung tersembunyi
Ketut sepi memahatlah hati nurani
Diramaikan hentak kaki para cucu main sendiri
Ketut tua apa nian kau gumamkan?
kebikjasanaan baru?
ada itu disebut di koran koran
tapi langka di keseharian
Ketut tua termangu lama lama lama
Kampung hijau geresek kayu tawa para cucu
tiba tiba mengental dalam bayang
tiba tiba mengental dalam genang
kali kecil dusun bali di gigir pipi
Jakarta, Juni 1982
613
Perempuan dari Utara
bukit donorojo
kebisuan wingit di mulutnya
debur doga dendam abadi ratu kalinyamat
mengeram pada erang jantung malam
dipujanya kebisuan
dendam orang jadi pijar logam
dipujanya pijar logam jadi mata panah
dalam diam dia panah matahari
dia panah langit birahimu
dia panah mata hatimu
dia panah rumah kardus tepat pintu
Jakarta, Maret 82
614
Bali dalam Sesaji
segugus mantera melayang
dari arah Pura Agung
sesaat rinduku mendarat di dermaga
buah-buah sajakku
dari seribu pohon matang di mantera
tersusun di talam putih
sesajiku dalam imajinasi
salam pagi kepada matahari
saat itu penyair sahabat berkalang
kerja dalam genggaman
1981
615
Malam di Pura Kecil
kau merenung dalam kehitaman
sebuah kiamat kecil tiba-tiba
menjadi awal punahnya kepongahan
yang lama bergantungan
di pohon buah kehidupan
kau berpikir antara dogma dan dialektika
adakah kita semua yang tinggal
suatu benih atau pupuk perimbun siksa
kau merenung dalam kehitaman
sebuah kiamat kecil tiba-tiba
menjadi awal perjalanan baru
pura kecil pura kenangan
purnama dan doa jadi tembangan
1981
616
Tuak Bali Tuak Kehidupan
meleleh dari guci pecah
Putu, jangan sentuh itu
mari kita susul mereka yang menuju Pura
sekuntum kemboja putih enam kelopak
jatuh dalam tuak di tanganmu
putu, buka genggamanmu
berikan untuk kutuang
di wajah pucat
:mari berpagut dalam kenangan
biarkan ia tumpah dalam tawa si bule di pantai kuta
sendiri kita menerobosi malam dari seribu pintu
1981
617
Balada Lelaki dari Tanah Laut
angin dan bulan
bulan dan angin
kota Tanah Laut
menimpan gemerisik
2000 batang pohon cengkeh
milik lelaki tua
transmigran Jawa
dia kaya tapi sederhana
dia sederhana tapi kaya
dia kaya sederhana
batu lahan telah menjadi tulang-tulangnya
bulan lahan telah menjadi tembang-tembangnya
angin – batu – bulan
kota Tanah Laut
liat terpaut
menyatu pada setiap kerut
1981
618
Sajak Desa Bulak
ombak ombak ombak ombak
ombak ombak ombak
ombak ombak
ombak
menyapu desa bulak
patah tolak balak
desa tua
musim tua
matahari tua
bertahan rapuh
dalam keluh
dalam keruh
bertahan desah
sesaji tumpah
tak terjamah
ombak menyapu desa Bulak
iblis bergelak
roh-roh mengoyak
bayi-bayi mengeak
Jepara tambah tua, tua juga
Jakarta, 1981
619
Condet Secabik Net
terbata di antara hiruk pikuk kota
memeluk diam hijau yang sisa
atau hilang selamat datang pembaruan?
tersendat lewat atap-atap
rumah bertingkat
mengenang sendiri rimbun pohon salak
dan jawara kekar memapah gadisnya
dari cengkeraman centeng kompeni
lantas berdengang pelan
tentang cagar alam nina bobo yang kelam
Jakarta, Pebruari 1981
620
Betal Sebuah Fatal
matahari hitam
di atas bukit padas
menghantar kota lama
terbenam tuntas
Betal, batu kecil yang hilang
matahari hitam
meluncur ke dasar waduk
langit pun sepi sendiri
penghuni telah lama pergi
membawa sejumlah hari nanti
matahari hitam
menyimpan gaung balada
kenangan sirna
sembunyi yang sempurna
Betal, batu kecil yang hilang 1981
621
Toba Sepotong Senja
dayungku
mesti berkisar
hati-hati
ketika
sisa matahari menerpa
pohon-pohon di tepi
dan wajahmu
yang menciut
setiap hari
bercermin
dalam elegi
Jakarta, 1981
622
Ketika Matahari Meleleh
bekerutlah hati kecil di pinggang kulit
bersalam pada sabana kehilangan kuda
apa kabar, padang perburuan?
Hening panjang tanpa sahutan
sabana lengang bagai lelaki mtua di huma
menatap langit menyala
di situ baur dendam dan pesona lama
ketika sesekali Yosef, Stefanus dan yang lain
memburu sisa-sia gairah sabana
walaupun mereka tahu
yang ditemui hanya angin kembara
Jakarta, 1980
623
Risik Angin Kawasan Hutan Salatri
ketika ayun cangkul tiba-tiba berhenti
Pak Koko, apa kalian kerjakan hari ini
tanya pengembara dari kota
‘kenapa Tanya lagi kepada kami?
menunggu warung di samping istri
ada lebih aman dari cacian
kau lihatlah, saudaraku orang kota
musim bahkan pejabat pada kami tak bersahabat
selain risik angina atas padang alang-alang
kawasan hutan Salatri’
dan sesudah esok adakah rencanamu?
Pak Koko dan istrinya senyum lembut saling pandang
lalu katanya sambil menatap awang-awang
‘selamat siang, saudaraku orang kota
risik angin di padang sana mungkin
lebih sopan dalam cerita
yang pantas kau catat buat Jakarta’
Jakarta, 1980
624
Sang Penjelajah Kota
banjir kota terhenti sementara
di antara berisik gossip dan desau pohon angsana
ketika dia datang dan beritakan
tentang rimbunnya bayang kemegahan di seberang selokan
lantas dia memasang sederet hari perjalanan
menjadi kancing pada bajunya
mengajak bersalam
ternyata dia memiih sebuah terminal
yang menunggu kehadiran setiap waktu
dalam berlusin Tanya mereka yang lewat :
adalah dia hari ini
maka sosok bayangnya kekar di ujung dinding
yang muncul sebelum wajahnya
menjawab segala tanya
dan setiap mereka semakin pasti
ketika awal tatapnya menggaris cakrawala
1980
625
Nada Minor
bernyanyilah para sosiawan
dalam suatu acara penutupan rapat tahunan
lagu tentang keprihatinan
di antara gebyar lampu gemerlapan
nada-nada biarkan lepas mencari cakrawala
merdeka berkabar pada penjaga menara sorga
nada-nada biarkan lepas bersahaja
menyusup di antara pojok kampung dan desa
di sini nyaman AC menghantar kenikmatan
sementara nada-nada berhamburan
bersama riuh tepuk dan arif senyuman
Jembatan semanggi kekar janji tertanam di kakimu
nada-nada mencari ujung pohon angsana
sementara malam berdesah-desah tanpa hirau yang risau
Jakarta, 1980
626
Sajak tentang Citra Sebuah Kota
gemerincing genta pahimu, kota
tak lagi menambatkan sukma pada masa-masa tanpa nama
selain cerita tentang budaya yang baur dalam bisnis
dan rintih tentangmu yang mulai kehilangan citra
malam-malam sepanjang jalanmu
sepi tanpa Umbu Landu Paranggi
tapi ramai oleh celoteh dara-dara kenes pejalan kaki
pernah ku bayangkan di setiap mana ku temukan kerabatku nyatanya aku harus menjelajah kampung
sebelum saling berpagut dalam inspirasi
dan mengejar cerita malam bersama kepak kelelawar
Jakarta, 1980
627
Selamat Malam, Cakranegara
Malam bersalam lewat ketipak kuda
andong tua menawarkan keramahan
mengantar lelaki yang bosan kegaduhan rakyat
Lelaki memikir dan beridentifikasi
disalaminya kusir tua menyimpan hari dalam keluhan
yang menggenggam kendali dengan setia
seratus rupiah saja, pak, sampai ke Bale Murti
segala souvenir bisa anda nikmati, katanya
lantas berangkat dan bicara bagai sahabat lama
Kusir tua terhenyak dalam renungnya
inilah warna baru kehidupan?
senyum lega dan perut istri identik lembaran uang
semoga Gusti tahu saja, bisiknya
dan selamat malam Cakranegara
Jakarta, 1980
628
Sajak tentang I Mawit
mungkin saja kau tak lihat sosok bayangannya lelaki tua
pernah kehilangan kemerdekaannya
yang tetes keringatnya dirampas untuk negara
saat luluh penyesalan demi penyesalannya
mungkin saja keluhmu ada dalam keluhnya
I MAWIT tua yang tak sadar akan haknya
insan sederhana yang berucap dengan hatinya
"saya bodoh, tidak tahu harus berbuat apa"
bah, cita-cita sederhana
ternyata tak sejalan dengan tatacara
dan itulah salah
dan itulah pelanggaran
I MAWIT menebusnya masuk lembaga pemasyarakatan
hari ini pak tua tak lagi menyapa
matahari yang rindu seribu upacara kampungnya
yang ada hanya resah
"sakitlah bila sakit karunia bagi istriku,
berhentilah sekolah bila jalan tergampang
bagi penghematan keluarga",
dan I MAWIT menatap kosong persada BALI nya
remuk menimbun nasib
makan dan hutang, liar perburuan
"BATHARA, aku rindu keadilan itu".
tapi itu tak diserukan!
Jakarta, 1980
629
Sajak tentang Seorang Ibu di Kamp Jijiga
Somalia menjadi kerudung duka dikepalanya
ketika ia berdiri sepi dikelilingi anak-anaknya
tanpa matahari di wajahnya
tanpa angin sabana di rambutnya
dalam diam disapanya dunia gemilang
disapanya menara-menara kota yang jauh
suara-suara telah tertelan kembali
bersama sepi dan kelaparan hari-hari
mengeram dalam Afrika jantungnya
Somalia menjadi roti direruntuhan harapnya
ketika ia berdiri ngeri dikelilingi anak-anaknya
kakinya masih menapak kuat
di tanah yang tak memberinya rahmat
"ini sorgaku,
Afrika darah dagingku"....
gumamnya luluh pada debu di bawah kakinya
Jakarta, 1980
630
Bulan dan Lelaki Urban
di langit kota bulan bundar berpendar
menyapa fakir di pinggir taman Chairil Anwar:
selamat malam lelaki penjelajah malam
ucapkan mantera
aku datang dalam anganmu
menjadi sepotong roti dalam genggam
menjadi keeping duit penolak sakit
selamat malam lelaki urban
di langit desa
bulan jua pemandu cengkerama
dengan istri dan kerabat
yang menanti lama
kuceritakan pucukpucuk hutan
jauh di pedalaman
kuceritakan harapan
kau pulang tahun depan
pada mereka kutawarkan kedamaian
berbaringlah di kaki tugu
hitung sampai seribu
kan kusatukan cintamu yang poranda
di kaki lima, kepada perempuan setia
di pinggir rawa-rawa
fakir tersenyum tipis memeluk dada
bayangkan kedamaian yang paling damai
lelaki urban telah kehilangan bulan
pada awal lelapnya, sukmanya terbang
tak peduli apa, bulan tengah bertengger
di puncak Istana Merdeka
Jakarta, Agustus 1980
631
Pada Satu Sisi Jalan Antara Menara Istiqlal
dan Puncak Kathedral
yang lepas dari tatap mata
yang lepas dari sentuh suara jemaat
yang terlalu dekat
yang asing
dia lepas dari tatap batin
dia lepas dari kehangatan
dia terlupakan
dia diam
malaikat tak mencatatnya
saudaranya terlalu sibuk urus yang lain
sengaja tak sengaja membiarkannya
kehitaman mengalir dari sungai nasib
mendamparkannya seolah titah
penyadap dosa semua saudaranya
yang semakin jungkir balik berpacu
di gurun waktu
lantas sepi dan
keasingan menghantar tanya
buat siapa doa para pembaharu dan teknisi
buat siapa doa para jemaat setia
buat penghuni sisi jalan sunyi adakah
dia tak peduli
dia tanpa yang lain
berdoa sudah sendiri
Jakarta, Januari 1980
632
Tinggalkan Lorong-Lorong Lusuh Itu
glamour hari ini hanya di jantung kota
di jantungmu, desah belukar desa
tapi tidak harus diterima ucapan mereka:
kalian orang-orang lapar kaki lima
adalah alas sepatu, kaleng apkiran di tanah ini
nyanyian hari ini, hanya dalam aubade saja
hari-harimu sederhana yang tercabik
cuma dengus nafas anyir tanpa suara
tapi tidak harus kalian cuma tanya-tanya:
siapa-siapa berani dan peduli
membawa kami serta dalam barisan panjang perjalanan
kami ini produk jaman atau apa lagi?
kalian orang-orang lapar kaki lima
yang bukan kaleng apkiran atau alas sepatu
tinggalkan seribu Tanya di ujung tumitmu
tinggalkan saja lorong-lorongmu yang lusuh
berbarislah penuhi jalanan kota
bernyanyilah, beri salamlah, dengan sopan dan ceria
kepada segala Tetua Nusa dan ikrarkan pada mereka
kalian setia sampai sorga mau pun neraka
menjadi perjurit mau pun tukang negeri ini
yang bukan gombal tapi pijat lelatu
tapi mintalah janji: sejahtera sama-sama!
Jakarta, 1980
633
Surat Anak Kepada Ibunya
yang Ditinggalkan di Suatu Kampung Nelayan
pada hari kukatakan aku mesti pergi
ibu, kau cari-cari dusta dalam mataku
tapi ketika tak kau temukan itu di sana
selain bara dan api yang menyala
kau sembunyikan tetap dalam kelopak mata
dan bicara seperti pada diri sendiri
“mengapa melihat dunia orang mesti mengembara
duduk di belakang meja
buku-buku akan bercerita padamu
bila letih tinggal kau angkat gelas susu kambing tuamu
dan kita tak perlu berperang melawan rindu”
ibu, kusimpan heran di balik senyumku
kau yang perkasa yang tak goyak oleh derita
tiba-tiba hari ini bicara tentang
rindu dan sembunyikan mata
tapi aku tak ingin membaca laut-angin-gunung-hutan
dari buku di lemari tuaku
aku ingin menjadi buku itu yang bercerita pada dunia
biar mereka membaca lewat mataku
lewat senyumku, lewat debur jantungku
mungkin ini kelewat berat untuk hari ini
tapi lebih berat bila aku hanya menghabiskan hari-hari
menghitung debur ulang ombak di pantai
dan bila berita ini kau baca dengan tatap yang letih
aku sudah jauh darimu.
Jakarta, 1980
634
Pada Hari Jadi
suara-suara semula menggema
suara-suara kian mereda
suara-suara diam menyatu sukma
empat roh saudara menyalami
kelima, roh pancar menyantuni
dibawahnya api, air, angin, tanah
api, air, angin, tanah dibawahnya
ku jilat api,
ku reguk air,
ku hirup angin,
ku kunyah tanah,
sempurnalah aku menjadi kehendak NYA
yang bermula dari nafsu luluh dalam doa
suara-suara yang diam
suara-suara kian bergumam
suara-suara jadi bergema
kuberikan kembali api, air, angin, tanah
lewat nasi berkalang arang dan sebokor kembang
di situ menyatu tentang lahir dan usai
dan roh putih menjagaku dan roh hitam menjauhiku
tak lagi hanya terbatas pada diri
Jakarta, 1980
635
Ada Sebuah Ketakutan
di sebuah pedalaman terdengar doa sederhana
ibu bumi bapa angkasa jagalah kami jua
aki pakukuhan nyai pakukuhan
berikan tambah kekuatan
aki rejasari nyai rejasari
berikan pengayoman
dan tiada lain semua tadi karena kehendah Allah jua
hari ini semilir angin menghantar badai
hari ini nyanyi ombak menjadi gemuruh laut
hari ini hijau hutan-hutan tak lagi
tempat burung pulang bersarang
hari ini sawah-sawah tak lagi
tampak menggoda pipit tuk singgah
bukan kami tak melihat cahaya gemerlap jauh di kota
atau tak mendengar meisn-mesin besar melagukan
derap kerja membangun segala tercinta di negeri ini
bukan karena berpaling wajah
sebelum menyatu pada debu-debu tanah kelahiran
tapi kami yang jauh dari segala gemerlap itu
kami yang terasing di tanah sendiri
kami yang tak mengenal Kalpnax dan Wrinkle Zero-O
kami yang tak pernah mendengar tentang penetrasi
dan kami yang terasing dari bayangan Ibu Theresa Tua
atau pun segala resep Ibnu Sina
hari ini kami dalam bencana
ketakutan pada bayang diri sendiri!
Jakarta, 1980
637
Di Pinggir Dermaga Tua
di pinggir dermaga tua
memadat nasib sekelompok nelayan dalam mantra
manakala menghantar sepasang kepala kerbau
bertudung kembang sesaji seribu isi
matahari dan ombak pun saling bersambut
begitu desah menguncur di setiap geletar mulut
berikan-berikan-berikan
rahmat kepada kami
selamat kepada kami
nikmat kepada kami
kepada penguasa samodra doa dironce doa
angin menyambut asap dupa menyambut suara-suara
semua semakin khusuk:
laut jagalah pasang surut
ombak jagalah laut
Neptunus, Aquanus, jagalah ombak
biar selamat kami melaut tujuh turunan
gelegarrr!
dinamit membunuh doa membunuh nyanyi samodra
semua pun tercengang m,enatap ke laut lepas
ada apa-apa-apa-ada apa
sesaji dan tumbal hanyut sendiri
di pinggir dermaga tua tinggal gebalau caci maki
ketika sebuah trawl asing mencuri ikan-ikan tenggiri
Jakarta, 1980
638
Sajak tentang Sebuah Misteri
pada saat kepongahan bertahta
dan bumi pun kehilangan damai
pada hutan, bukit, laut, bahkan gema doa-doa
kita masih mencoba menebak misteri malam
romantika cinta berbulan
sementara musim-musim di tanah ini
membuat kita tak bisa bikin kecambah selain bakteri
kita lambaikan guman-gumam kekanakan
pada ronta hidup menggelincir di bebukitan
yang tak lagi berikan warna kehijauan
dan, adalah misteri dalam kontradiksi kehidupan ini
kita biarkan
santri-santri makin tekun di tikar sembahyang
pendeta-pendeta tambah setia mengagungkan dewa-dewa
lantas cuma berseru-seru saja:
Gusti Allah, Tuhan, Bathara, dan Yehowa
adakah aku dan saudara-saudaraku yang setia
pilar-pilar, granit-granit, tonggak-tonggak milik-Mu
atau buih-buih, debu-debu, batu-batu, milik diri sendiri
soalnya kepongahan telah membuat kami
menjadi misteri tersendiri
Jakarta, 1980
639
Balada Buat Indira
saat dunia menatap dan bicara tentangmu
dan para pengagum setia menunggu di bawah mimbarmu
Indira, saatnya kau tampil menyingsing sari
karena masa depan bukanlah
mega-mega yang terpintal di langit
pernah ditatqap Rabindranat dalam renungnya
tapi butir-butir peluh yang senantiasa menetes
dari balik helai rambutmu
dan buih-buih cinta yang tegas senantiasa bersabung
pada luasnya samodra jiwa
seribu kejatuhan tak menodai namamu
seribu lawan tak melukai perisai jiwamu
sumber segala kasih bagi mereka yang tersisih
mereka yang selalu damba akan welas asih
dari ibu pada siapa mereka berseru dan mengadu
buktinya, kau bangkit dan memacu langkah
bunga-bunga yang berangkaian di mana pun kau datang
pasti bicara tentang semua itu
tapi tatap mata yang tulus dari
bocah-bocah kecil kurus di bagian paling dalam dari India
pasti lebih menarik untuk kau cium dan kau sapa
mereka adalah rumput-rumpu yang terbakar kering
mereka adalah sapi-sapi kecil yang rindu induknya
hanya keanggunan citra dan kharismamu
Indira kekasih segala kasta yang ada
sanggup membasahi ladang dan dusun
sanggup bicara tentang perlawanan,kemerdekaaan, setia kawan
dan bila angin tenggara bertiup dari arah samodra Indonesia
tangkaplah juga pesan wanita-wanita sederhana (Jakarta, 1980)
640
Satu Matahariku Mataharimu
satu matahariku mataharimu
yang paling awal dari yang tersembunyi
yang dinanti dalam baurnya suara-suara
yang tak jelas, yang mengambang, yang meninggi
satu! satu! matahariku mataharimu
manakala brkas demi berkas cahaya putihnya
membangunkan daun-daun di ladang kecil
membangunkan rumput-rumput di pinggir
kandang sapi malang
membangunkan keletihan kulih-kuli pelabuhan agar segra
bergulat kembali dengan hari, dengan debu, dengan angin
masuklah intro dan segra
nyanyikan matahariku mataharimu
jangan tersendat dan jangan terhenti aku berdiri di sisi
tetap cakrawala lantunkan suaramu sampai jauh di baliknya
angin-angin membantu nafasmu
elang, pipit, dan belalang saling terbang
melintasi bukit, ladang, mengejar jatuhnya suaramu
yang ternyata terus mengambang menuju matahari
satu matahariku mataharimu
Jakarta, 1980
641
Mimpi Rahayat Sebuah Kampung
desah-desah angin antara dua gunung
menidurkan para lelaki tanpa padi di lumbungnya
melelapkan para perempuan tanpa kebaya
dan janur-janur pun sepi dari [ura
sesaat lupalah mereka
pada gersangnya musim kali ini
mimpi tentang negeri wangi bermatahari
tanpa dosa tanpa durhaka
dilulur mantera-mantera:
hong wilaheng
santunlah sejahtera di kaki Dewa Dewa
hong wilaheng
santunlah eka prasetya panca karsa di sumping Bathara
Jakarta, 1980
642
Imaji Seorang Pejalan Malam
bulan cabik malam tadi
dalam tatap pejalan malam pemburu ilham
luruh menutup separo wajahnya yang keriput
membayangkan buih-buih hitam meleleh
menenggelamkan kota senantiasa bersolek
dalam bisnis pantai Kuta
bulan cabik malam tadi
tersangkut di pundak pejalan malam pemburu ilham
memberati langkahnya yang beringsut
membayangkan malam hitam anak istrinya
tanpa bulan di mesin tulis tanpa bulan di piring
Jakarta, 1980
643
Keranda Nenek Tua
Tuhan, tlah kami siapkan dupa-dupa
Roh pun pulang kepada-Mu
Ibu Bumi, tlah kami siapkan air suci
jasad pun kembali padamu
Amien, Amien, Amien
lengkaplah duka-duka anak cucu
ketika menerobosi bawah keranda
sempurnalah bakti sederhana
ketika ujung-ujung kenanga berjuntai sisi keranda
Innalilahi Wainnalilahi Rojiun
Jakarta, 1980
644
Sajak Sebatang Pohon
daun-daunnya menyembunyikan rahasia
menyembunyikan cahaya dan mentera tetua desa
lupa Tuhannya yang sabar
menanti di puncak ufuk
pohon kekar tumbang pada saat badai
menghimpit sang tetua tengah bermentera
sebuah keesaan terlambat dikabarkan
mentera telah jadi cendawan
Jakarta, 1980
645
Sajak tentang Kelelawar dan Manusia
saat tumpah warna merah kesumba
kelelawar bergegas terbang sembunyi
dalam gelap saling merasa heran ternyit-nyit
mengapa tak lagi berwarna hitam
dan kelelawar kehilangan langitnya
dalam hitam gelak menggebrak cakrawala
manusia telah itam sampai pada bayangnya
dalam gelap kelelawar saling bernyit-nyit
ataukah membiarkan diri kehilangan warna
ataukah memburu manusia merebut semuanya
lantas semakin tumpah warna merah kesumba
semakin padam cahaya di mata
bagaimana bisa, mereka saling tanya dalam nyit-nyit
bangsa kelelawar tak pernah menjadi raja dunia
bangsa kelelawar hanya tukang kepak-kepak saja
lantas satu-satu mereka runtuh dan mati
bertumpuk warna merah kesumba
di atasnya manusia saling meneliti
Jakarta, 1980
646
Sajak Seorang Penyair
awal sebuah perjalanan manakala pagi
membuka gelap bebukitan
dan doa siap dalam lantunan
awal sebuah pengertian manakala penyair
tak lagi bersajak tentang bulan
bulan telah lumat terkunyah fakir di pojok taman
akhirnya satulah nafas hutan nafas kota
akhirnya satuah desah alam desah sukma
dan berkabarkanlah langit kepada gagak yang melintas
tentang perjalanan panjang
pemimpin salon dan penyair jalanan
memburu bulan perlambang kebahagiaan sendiri
tanpa peduli isi mulut fakir di pojok taman
yang menyatu dalam liur dalam dengkur
sang sadar datang terlambat
esoknya orang dapati
sang pemimpin naik mimbar
memperbarui janji dan mengangkat panji-panji
sang penyair pingsan terkapar
tanpa janji tanpa panji-panji
Jakarta, 1980
647
Berita dari Ladang
angin cerita damai di ladang
jagung dan rumput tumbuh berdampingan
kecapi dan gerit pedati pagi-pagi
kabarkan lahirnya bayi-bayi
belum sampai berangkat dewasa
mereka telah kehilangan rumputnya
mereka telah kehilangan hijaunya
mereka telah kehilangan burung berlintasan
mereka telah kehilangan tembang
derek-derek perkasa
telah merambah sampai ke desa
lumat rumput, jagung, lintas burung
dia masih juga telanjang
dengan pusar mencuat di perut
emaknya masih Cuma berkutang
dengan jejamur di punggung
bocah dan emak tak tahu makna hidup
selain menatap dengan ujung mata
akhirnya mereka menyerbu kota
tanak nasi di bawah pohon sambil blingsatan
tapi masih bilang; nyaman!
angin kini enggan berkabar
kejangkitan penyakit manusia kota
tak peduli, datang dan pergi
ladang yang ditinggal sepi mati
Jakarta, Agustus 1979
648
Laut Dibakar Matahari
inilah kebohongan paling besar hari ini
tentang laut yang dibakar matahari
tinggal dasar gosong keropeng
ikan-ikan menggelepar
manusia hingar bingar
matahari
ada di mataku ada di matamu
Jakarta, 1979
649
Jakarta, Kaukah Itu
menggigil dalam desah kereta
memanggil dalam keruh sungai tua
dan menggenggam pedang berkarat
adakah kau itu
yang pernah ku rindukan
kala duka-duka mengucur
membasuh hari dan umur
Jakarta, 1979
650
Gambilagu, Seribu Cerita Jadi Satu
ceritakanlah pada mereka
lelaki-lelaki ingkar yang jahanam
di sini pusat pasar jual beli
manakala bulan jatuh atas tilam
menggeliat dalam nafsu yang mengental
dan bisikan-bisikan jalang:
slamat malam, manisku sayang
ceritakan pada mereka
perempuan-perempuan sopan dalam rumah
di sini terjalin kerja sama pada satu titik batas
begitu harga harus dibayar lunas
peduli itu dosa atau bencana
dan hari-hari menyadap dosa abadi
ceritakan pada mereka semua di tanah ini
tentang biaya eksploitasi
tentang injeksi yang bikin alergi
tentang rindu dan nafsu
yang terkubur, ada di situ
Jakarta, 1979
651
Sajak tentang Mutiara dari Utara
yang bicara lewat ombak-ombak pantai utara
menindih deru angin yang berhembus
dari arah benteng kuno barat penjara
yang berseru tentang belenggu dan gelap itu
juga tentang kebebasan dan surya benderang
kau juga adanya, kau juga adanya
ibu berbunga putih di kenangmu
yang menatap tanpa kerjap
adalah kami di sini masih bernyanyi hari ini
adalah kami di sini masih berbaris hari ini
ada api ada melati
dalam mata dalam hati
kau lihatlah, ibu mutiaraku
tangan-tangan kami bergenggam dalam padu
hari ini kembali kenangan kami menyatu
tentang ombak-ombak yang menyapu kota kecil itu
yang menebar galau duka-duka wanita
yang menjadi cungkup nasib sekian lama
betapa itu pun tak membuatmu sembunyi
di balik pilar-pilar puri Jepara
tapi menghela langkahmu mencari
kami, perempuan-perempuan rindukan cahaya
Jakarta, 1979
652
Sajak Merah
ada apa di kaki bebukitan?
biri-biri dan petani saling peluk
membagi duka sepanjang musim
bicara cuma dengan kedip mata :
oi padi, oi rumput semi
berpeluklah bersama kami
merah langit hari ini
merah pula matahari
merah bebukitan
merah pula tubuh keringatan
adakah karena murka Tuhan?
di kaki cakrawala
perahu dan nelayan saling pagut
membagi tangis sepanjang tahun
berberkayuh cuma dengan nafas keluh :
oi ikan, oi bayang pelangi
berpeluklah bersama kami
merah langit hari ini
merah pula matahari
merah cakrawala
merah pula duka-duka
adakah karena sesaji kurang lengkapnya?
hari ini biri-biri dan petani pulang baring
di otaknya hari-hari pun berpusing
hari ini perahu dan nelayan pulang hening
di pintu rumah si bungsu yang lapar jatuh terguling
merah bebukitan
merah cakrawala
merah-merah-merah
di pelupuk mata menggenang darah 1979
653
Sajak Diam
diam laut
ada damai di hati penghuni kampung nelayan
diam kota
ada gelisah yang menjaring bara-bara
diam dusun
ada resah di kerut kening petani muda
diam bukit
ada rindu bocah-bocah telanjang akan satu perbaikan
tapi diamku dan diammmu,saudaraku
ada malam panjang tanpa kepak kelelawar
ada kelumpuhan yang menggelepar
ada gelas bening yang jatuh ambyar
datanglah ke kamarku yang putih
jangan sendiri tapi bawa kerabatmu
kita duduk berhimpitan di lantai yang dingin bersih
setelah mengubur diam di belukar sana
kita nyalakan api di tungku kecil yang temaram?
atau kita hidupkan neon agar benderang?
dan kita saling senyum-saling jabat-saling pandang
kau lihatlah
diam tak ada lagi di sudut paling kelam dari hati
diam tak ada lagi di ujung jari saling genggam
diam tak ada lagi di ujung kaki saling sentuh
diam tak ada lagi di pelupuk mata saling kerjap
diam tak lagi berarti emas:silent is gold
diam tak berarti mati : silent is death
malam ini kita nyanyikanlah
sayonara dan aloha oe
kepada diam sang penjara sukma Jakarta, 1979
654
Sajak tentang Kemelut
manakala matahari membakar laut-laut
dan ikan-ikan sembunyi di pukat harimau
manakala matahari membakar gunung-gunung
dan petani sembunyi transmigrasi
manakala matahari membakar kota-kota
dan manusia hangus dalam polusi budaya
manakala matahari membakar cinta
dan perempuan-perempuan manis menjadi pedang bermata dua
siapa menangis-siapa tertawa
siapa bernyanyi-siapa berdoa
maka menyatulah debu dan asap dupa
maka menyatulah lumut dan buih laut
maka menyatulah prahara dan angina kembara
di bawah putih kaki NYA
di bawah ufuk pandang NYA
siapa-siapa memberi makna
Jakarta, 1979
655
Anak
berikan nafasmu pada nafasku
berikan darahmu pada darahku
berikan niatmu pada niatku
berikan sucimu pada suciku
maka kembalilah Hawa ke tulang rusuk Adam
maka menyatulah Adam ke pusat benderang
malam menyembunyikan beritanya
adalah sepasang sayap malaikat menyusupkan sukma
dan adalah anakmu anakku, anakku anakmu
penyangga firman abadi
lalu batinku
cucu Adam yang bermahkota tabularas
sakitku bahagiaku
sempurnalah benih di ladang iman
sempurna, sempurna, sempurna
Jakarta, 1980
656
Ketika April pun Usai
nyanyi-nyanyi telah terekam dalam hati
dan melati segar telah telah sempurna dalam puisi
adakah masih tergetar di hatimu, hai
ikrar dan setia tempo hari
manakala Kartini menatap dengan senyum abadi
o, derita hidup yang selalu membuatmu merengut
Sarinah dan Siti yang wajahmu cepat nian keriput
jangan biarkan itu menghelamu menuju mata pedang
di tanah ini terlalu banyak saudara yang kasih dan sayang
yang tahu dan paham makna dunia wanita, datang, datanglah
kembangkan lenganmu yang indah
mumpung matahari masih hangat bergairah
tak perlu cemas kehilangan arah
tajamkan batinmu arah utara
dari mana pekik Kartini membahana
Sarinah dan Siti, jangan jongkok mari berdiri
bersama kami berbondong dan bernyanyi
April pasti datang dan datang lagi
Jakarta, 1979
657
Ilusi Pebruari
illusi yang hanyut kala air menggenang kota
lalu mengendap bersama duka-duka
tentang mimpi hadirnya matahari
di situ pun sempat jatuh dan diam
butir-butir nostalgia itu
yang biru, yang kelabu, sampai pun merah jambu
keluh perempuan-perempuan yang menyebrang itu pun
yang berdesah dan baur dalam galau kota
tak juga bisa menghapusnya
illusi Pebruari
dan manakala air surut membuatnya mengeriput
katakan apa mesti frustasi
atau menertawakan diri sendiri
Jakarta, 1979
658
Sajak tentang Seorang Perempuan
adalah aku yang tergelincir di batu-batu hitam
dari sungi-sungai MU yang bening namun licin
adalah aku yang tenggelam lalu menyatu
dalam sepi MU yang mengubur waktu
adalah aku juga yang masih mencari mahkota
ketika sungai MU meluap
membongkar diriku dari lumpur yang pekat
terima kasih atas hitam yang pernah KAU berikan
dari hitam kulihat jelasnya bayang
pada warna batu intan dan bulan
satu darinya pasti mahkota
Jakarta, 1979
659
Suara-Suara Pagi Putih Buat Kartini
ada risik angin di ladang ketika pagi belum datang
dan nafas hangat bocah dusun dalam pelukan
mimpi tentang mandi dengan sabun wangi
dan sarapan pagi yang bukan ubi
sementara perempuan-perempuan ibunya
siap menyalakan api
ada lengkingan di dalam hati :
“datanglah matahari
berikan kehangatan dan harapan hari ini
untuk diriku, untuk anakku, untuk kerabatku
kata orang, Kartini pernah datang untuk kami
kata orang, Kartini juga telah menyalakan api
lantas membakar gelap yang menyelubungi umat
hari ini di pendapa desa konon ada sedikit pesta
dan bu lurah akan bicara tentang Kartini
datanglah matahari
terangi jalan setapak di ujung rumah ini
ke sana pula aku mesti pergi
bukankah aku juga anak Kartini?”
…………………….
Kartini kau dengarlah suara-suara
kala pagi putih di sudut desa
buminya perempuan-perempuan sederhana
yang sampai sekarang masih selalu rindu cahaya
Jakarta, 1979
660
Tapak-Tapak
yang memijak dan berdetak
yang melonjak dan mendesak
ketipak-ketipak di malam retak
diceritakannya pada pejalan kaki yang kesepian
letih dan rindu pada sebuah terminal Tuhan
dibisikannya pada pemimpi yang kehilangan dini hari
nostalgia sehari-hari
ketipak-ketipak beriring sedak
malam kehilangan doa tersumbat dahak
siapa siapa malam itu mendengarnya
katakanlah
mati-cinta-duka Tuhanlah punya
katakanlah
aku-kamu-dia-mereka tak lain gema
ketika tapak tapak semakin letih berketipak
Jakarta, 1979
661
Berita dari Ladang
angin-angin bercerita tentang damai di ladang-ladang
tentang jagung dan rumput yang tumbuh berdampingan
tentang kecapi dan gerit pedati pagi-pagi
yang mengabarkan lahirnya bayi-bayi
tapi tidak terlalu lama
belum sampai anak-anak berangkat dewasa
mereka telah kehilangan rumputnya
mereka telah kehilangan hijaunya
mereka bahkan kehilangan burung hutan berlintasan
mereka telah kehilangan tembang
derek-derek perkasa telah merambah sampai ke sini
melumat rumput-jagung-dan lintas burung
bocah-bocah bertanya dalam kebodohan sendiri :
“adakah semua untuk kami nanti”
dia masih juga telanjang
dengan pusar mencuat dari perutnya
emaknya masih juga cuma berkutang
dengan cendawan-cendawan edan di punggungnya
bocah yang tak tahu tentang nasibnya
perempuan yang tak tahu makna hidupnya
selain menatap dengan ujung mata
gila!
akhirnya pada pusing dan rame-rame pergi ke kota
menyerbu kehijauan di taman-taman
membikin nasi di bawah pohon sambil blingsatan
toh masih bisa bilang : “nyamaaaannnn ! “
dan angin pun telah enggan berkabar
angin kota telah kejangkitan penyakit manusia
tak peduli, datang pergi dan datang pergi
ladang yang tertinggal sepi dan mati
dalam ramai yang lain lagi.
Jakarta, 1979
662
Sajak tentang Seorang Lelaki
sukma gemetar pada malam-malam jadi liar
oleh kehilangan sapa tuhan
bayang-bayang pun sembunyi dari segenap sisi
sendiri,
mencari cakrawala mencari surga
lantas tersungkur dalam dekapan yang asing
dari doa semakin berpaling
saat itu dari kepalanya
lepas sudah mahkota Allah
lelaki penyangga amanat ibu bumi
yang mencoba membodohi hati sendiri
gelisahnya, gelisah angin tenggara
rindunya, rindu sungai yang menanti matahari berkaca
akhirnya pada padang tanpa batas
jatuh bangun mengejar bayang-bayangnya
sebuah sesal tertuang tuntas
Jakarta, 1979
663
Dari Sebuah Perjalanan
ketika kau tinggalkan padang di kaki bukit
membawa segala warna yang telah melekat
membuat tubuh menjadi arang rapuh
pada rasamu pejalanan menjadi semakin panjang
terlalu meletihkan
tetapi tidak, ketika ada yang datang
membawa untukmu pohon-pohon cemara
lalu menanamji sepanjang jalan dengan setia
tanpa mengumbar kata
itulah sebuah kesungguhan
dan janji yang tak pernah mati
adalah awalnya sebuah perjalanan
yang tak pernah kau sesali
kau harapkan di depanmu tejadi
serigala bersahabat dengan biri-biri
gelatik dan elang terbang beriringan
angin musim ebrsatu menyongsong awan
tidak terlalu lama bayi-bati meramaikan pagiku
berisik dusun berisik kota yang kan lewati
sudah berapa, jangan tambah lagi
terlalu ramai perjalanan ini tak bisa kau nikmati
Jakarta, 1979
664
Padang Kembara Kehilangan Risik Angin
musim-musim tak lagi menghantar desau
letih sendiri bersabung dengan kemarau terlalu panjang
kau tak mungkin mencumbunya membuat menggeliat
lantas menghembus padang
bersama aroma kembang-kembang
karena aku tak ada di situ
angin yang bagai nyanyi bebukitan
angin yang bercerita tentang irama gamelan
angin yang selalu kau syairkan
padang kembaramu telah kehilangan semua itu
dan kau lantas bicara pada diri sendiri :
“akulah penghuni kerajaan sepi”
jangan bodoh dan merengek seperti anak bayi
di negeri ini yang kerdil akan menjadi rayap kuil
berdirilah dengan kaki yang terbuka
menghadap padang kembara
ceritakan pada dunia tentang derita manusia
dan hatimu yang penuh kharisma
kebangkitanmu untuk menaklukan bencana-bencana
jangan pedulikan padang kembara
yang kehilangan risik angin
jangan pedulikan di situ ada atau tidak diriku
kubur saja sepi-sepi dan segala tetek bengek nostalgia
di negeri ini ada kerja yang lebih berharga
Jakarta, 1979
665
Yang Tak Pernah Sendiri
yang berjalan tak pernah sendiri
yang bernyanyi tak pernah sendiri
wajah-wajah menata rajah di dadanya
tentang harapan-harapan yang sembunyi
tentang masa lalu yang tak semanis buah ceri
bahkan tentang sepiring nasi
matahari yang pijar melekat di dahinya
bulan merah mengeram di pusarnya
sepanjang kasih sayang pada yang lain
yang membuat hidupnya bukan lagi satu hal yang asing
tak sendiri tlah diambah belantaranya
tek sendiri tlah bergumul dengan angin dan debunya
sribu langkah hari ini
dua ribu langkah hari esok
beribu langkah hari lusa
berjalan dengan setia
antara subuh – lohor - dan isya
tatapan batinnya bergelimang cinta
tak sendiri disyairkannya irekornakortu
dalam lagu kembaranya
la-la-la-ra-ra-ra
fa-fa-fa-na-na-na
Jakarta, 1979
666
Sajak 20 Butir Leunca Muda
kekasihku,
santunan segala cinta tak pernah berkecambah dalam
pusar Adam dan Hawa tak pernah ingkar setia
hari-hari selalu berpacu dengan umurmu
adakah kau tahu
berkali telah kusentuhkan bunga putih dan merah
di ujung matamu yang penat dan lelap
karena kau bermimpi
mengunyah dua puluh butir buah leunca muda
kau tak bisa tegar menjadi naga penyangga bumi
memberikan perkasamu untuk membongkar peranda ini
bila dalam gengganganmu yang kencang
tetap kau mimpikan dua puluh butir buah leunca muda
apa lagi bila kau pun mulai mencoba
menyeret hatimu yang luka bukan oleh
pertempuran lantaran membela bukit-bukit Sukarno
atau siksa bayi dan bocah Campuchea tinggal kerangka
kau coba melipurnya dengan menjenguk-jenguk
daerah warung bubur dan segala macam parloba
kekasihku,
lebih baik aku membunuhmu di Kaki Tuhan
sebelum kau menghancurkan diri sendiri
dan dunia kita dengan polahmu yang hina
atau kau buang itu dua puluh butir buah leunca muda
dan bangun pegang tanganku
menyusul barisan yang telah mulai berangkat pergi.
Jakarta, 1979
667
Sajak Ada
ada malaikat menyisir kabut bumi dan cinta manusia
ada setan menyisir kegelapan dan nafas durhaka
sempurna sudah kemunagikan abadi
ketika keduanya menyatu di hari ini
daam nafas dalam darah mereka yang lelap
penuntun barisan yang khianat
ku cari kau di situ
ku cari diriku di situ
dalam ketakutan yang memburu
memang padamu padaku ada jua
ada cinta ada duka
ada nafsu ada durhaka
tetapi percayakah kau
dalam ujung sembahyangku
ku harap kita bukan dari mereka
manakala kita bicara lewat gelisah kata
lantas menatap lewat gelisah mata
aku berdoa agar Tuhan memberi satu keajaiban
ada Kennedy yang perkasa dalam sukmamu
ada Theresa tua dari Calcuta dalam sukmaku
ada Tuhan tersenyum di hadapan kita
ada homo sacra res homini di sini dan di setiap mana
Jakarta, 1979
668
Kepada Ulang Tahun
di kamarku yang putih dan benderang
segala bentuk justru menjadi bayang-bayang
dalam titik, dalam garis, dalam lengkung
yang melingkar pada titian malam
batas antara ratap dan harap
yang aku tak tahu begitu pasti
adakah kemarin lebih bening atau nanti bahkan buram
hanya tadi sempat kucatat
tak ada kembang sama sekali
tak ada basa basi
itu mungkin terlalu kekanak-kanakan untuk hari ini
datanglah kau dan setiap sahabatmu
ah, tanpa senyum-senyum dan jabat tangan
mestinya biasa akan lebih terbuka
kita bicara-bicara tentang kota dan desa
kita bicara juga tentang pohon tua di panti wredha
kita sebutir biji yang saling bersemi dari sana
kita sebuah batu yang luput dari bencana
di kamarku yang putih dan benderang
seribu cerita hari lalu pengganti ayam panggang
di kamarku yang putih dan benderang
kita mengganti bintang sepanjang malam
dan memutar lagu-lagu yang mengalun dari pita-pita kalbu
kita semua harus setuju
sebelum keluar meninggalkan pintu rumahku
Jakarta, 1979
669
Sajak tentang Putu dan Sayu
kembara tegar
yang selalu berjalan bersama angin Tabanan
yang tak perna letih dan henti
yang selalu bernafsu tundukkan matahari
di kepalanya bertimbun segala rencana dan cita-cita
meskipun mulutnya tak lepas mengunyah duka-duka
namun dia sempat ketawa dan bilang begini :
“saudaraku, hidup ini puisi”
aku ketawa, pasti dia sedang jatuh cinta
dewa-dewa lalu turun ke pura
kemboja-kemboja dalam bejana
gadis Sayu mengantar puisi tadi
kemudian diam tiada berita, lama
ku kira bencana-bencana membuat
mereka menggulung cakrawala
dan membikin benteng sendiri
tapi aha, Putu dan Sayu, menggulung mega-mega
bayi-bayi pun meramaikan benteng mereka
ketika kemudian dia berkata :
“saudaraku, hidup ini palu godam”
aku tak lagi ketawa, begitu memang adanya
kita bukankah logam-logam yang harus ditempa?
Jakarta, 1979
670
Di antara Gemuruh Kota
adalah peluhmu yang menetes sepanjang jalan
hari ini kulihat kilau di seberang jalur hijau
debu-debu jalang melapisinya nyata
membuat bujur hitam perjalanan
sementara itu roda-roda lalu lalang
melumat bekas-bekas tanda kehadiranmu
menyapu bayang –bayang itu
mestikah kukutuk gemuruh kota
yang membuat hening jadi poranda
dan kenangan kecil menguap di pucuk cemara
di balik hari ini semua makin jauh olehnya
menuju ke arah tikungan tahun
kota pun makin gemuruh ........
Jakarta, 1978
671
Kala Angin Menyibak di Lalang Kuning
ada angin menyibak di lalang kuning
ketika kau letih terhuyung menuding
o, angin keparat
gersangmu membuat kami sekarat
banjirmu menambah duka melarat
o, kedukaan
o, keprihatinan
berapa lama lagi
mesti bersambut tangan
ada angina menyibak di ladang kuning
ketika kau terbanting lalu hening
mendekap sisa hidup yang dekil
mendekap harapan yang ngambang
kalau kau mati malam
keleawar kembali hinggap di dahan
kalau kau mati siang
burung sawah berghegas terbang
kalau kau mati pagi
yang hidup bergegas pergi
setelah sedikit tanya sana sini
takut kena bakteri
katakan pada Tuhan, Nabi, Dewa
hari ini kemunafikan
masih meraja di bumi
Jakarta, April 1978
672
Ketika Semakin Memanjang
Jalan Lurus Berjalur Putih
gemetar angin-angin gemetar harap
perempuan-perempuan sederhana
antara sunyi bebukitan dan hiruk pikuk kota
hembus pada padang tak pernah sepi matahari
melayang antara debu-debu uap bumi
memberi warna nyata atas cakrawala dan duka sirna
putih-putih perempuan-perempuan berbunga putih
hari-hari tlah lama berbunyi sendiri
mengabarkan bencana-bencana antara citra dan fakta
menghantar kala-hitam menyengat kehidupan
resah lagunya bangunkan sukma lelap dalam gelap
membuat semua menatap pada titik barat daya
dan tepiskan setiap belenggu intan memenjara
bersama semburat sorot mata
semakin memanjang jalan lurus berjalur putih
kala semangat menyatu mengoyak rengek manja
semakin berderap perempuan-perempuan berbunga putih
putih-putih !
Jakarta, 1978
673
Sajak Sisa
katakan pada bukit-bukit hijau
hari ini pesta raksasa di hutan purba
diperlukan panggung selaksa
jangan tangisi pepohon tahun
tak lagi setia rimbuni lambung bukit
katakan pada laut lepas pantai
hari ini pesta Neptunus dan wadyabala
diperlukan ikan besar pukat harimau
jangan tangisi ikan-ikan tak lagi
berbondong menari di kaki ombak
laut sepi batu karang nyanyi sendiri
katakan pada gadis bunga seroja desa
hari ini pesta tuang-tuan atas angin
diperlukan anggur merah
dan madu murni Nusantara
jangan tangisi hilangnya warna dan selera
bebunga putih berguguran di tanah sepi
kita saling bicara sendiri
o, hutan telanjang milik siapa
o, laut sepi milik siapa
o, gadis lusuh milik siapa
Tuhan, lihatlah semua tinggal sisa!
Yogya, April 1978
674
Sajak Baur
baur dalam nenek belantara kota hari ini
segala duka, dusta, dan derita anak manusia
baru dalam pupur dan keringatku pula
polusi yang mengaburkan cakrawala
lalu menyatu dalam cerita yang sama
bukan nyanyi tentang kejora
tapi sebuah tanya tentang hari lusa
baur dalam caci kuli yang kehilangan langganan
segala tawa, bisik, rindu istri di rumah
baur dalam gelisahku yang hanya bisa menatap tanpa berbuat
harap yang luruh menghitami batu jalan
lalu menyatu dalam nyeri yang sama
hari ini hilang indahnya
hari ini sisa letihnya
ternyata aku bukan pahlawan
pembebas derita mereka itu
penghapus polusi kehidupan ini
ketika ku baur dalam senyummu yang lentik
Jakarta, 1978
675
Sajak Hitam
hitam langit
hitam matahari
hitam bumi
hitam diri
sunyi yang hening
dan abadi
hitam buku
hitam ilmu
hitam mataku
hitam citraku
gelisah yang panjang
dan telanjang
hitam bayangku
hitam fanaku
hitam baqaku
hitam sorgaku
hitam nerakaku
karena sembunyi
dari lentera MU abadi
tapi bangunkan diriku
dengan kuasa MU satu
Jakarta, 1978
676
Sajak Daun Kayu
daun-daun katu yang luruh siang-siang
mengabarkan tentang angin yang sederhana
yang datang dan pergi tanpa permusuhan
daun-daun katu yang luruh petang-petang
mengabarkan tentang duka-duka perempuan
kesetiaan dan janji yang usai
dan naskah kehidupan yang terbengkalai
daun-daun katu yang selalu melayang dan selalu jatuh
juga mengabarkan ntentang gagak yang garang
yang melesat dari arah-arah angin
menaklukkan kehidupan
dan angin
dan daun katu
dan gagak-gagak garang
menyatu di pojok umur
hari ini, dalam sebentak bayang-bayang diri
Yogya, 1978
677
Sajak tentang Matahari
ketika matahari berubah jadi sepotong sajak
menggeliat di celah-celah awan padat
kutangkap sinar hangatnya
yang telah sempat singgah
di rambutmu-di matamu-di tanganmu
matahari yang mewartakan pula
seribu cerita tentang duka masa muda
seribu cita-cita tentang hari lusa
seribu titik koma tentang kuliah dosen tua
dan segala tentang Yogya
lalu pada satu garis sikap
semua pun merunduk dan menyatu
sepanjang langkahmu-sepanjang langkahku
Jakarta, 1978
678
Ilusi
yang jatuh atas ranjangku lewat genting kaca
yang menyatu dalam bayang-bayang bulan
yang kutangkap dalam kidung di ujung senyap
dan membuat malam jadi penuh risik angin
dan membuat pohon-pohon mencari kepak kelelawar
dan membuat cemin ingin bersatu pada langit
begitu adanya
adalah sosok bayang-bayangmu
adalah illusiku
adalah warna jingga dan ungu
Yogya, 1978
679
Sajak tentang Kebenaran
DI tanah ini setiap orang gemar berbincang
bagai gadis-gadis gemar memoles bibir dengan gincu
bagai lelaki-lelaki gemar mencumbu nafsu dan tabu
baurnya antara nikmat dan dosa
di tanah ini setiap orang rindu yang nikmat
nikmatnya merubah warna dengan warna
nikmatnya mencatat-catat sejarah
tentang cinta sampai perjuangan
tentang durhaka sampai kepahlawanan
dan,
sempurnalah bila pada satu ketika
bibir-bibir bergincu kuasa memanggil gempa
dan nafsu-nafsu lelaki kuasa melumat bumi
sejarah bisa dirubah jadi potongan-potongan puisi
lalu,
apa arti sebuah jasa, pekik orang disatu ketika
saat dengki dan dan iri jadi mahkota
apa arti sebuah dosa toh manusia tidak sempurna
saat sang waktu tlah mengubur racun-racun itu
mereka merubah lakon drama
kini,
yang putih, putihlah, itu katamu
menindas caci selama ini raja di hati
dan setiap orang bebas menyanyi hari ini
tentang arti satu kebenaran
yang muncul kembali bagai satu keajaiban
dari lubuk bumi hitam
Jakarta, 1978
680
Sajak Kecil Buat Kartini
dalam kemelut ombak kehidupan hari ini
ketika melati-melati putih terhempas
tersangkut di karang pantai cemarnya noda kemajuan
ketika Jepara bangkit dari sunyi tidurnya
menjadi tonggak awal bertolak hari ini
Kartini, binar pandangmu membakar jiwa kami
Kartini, tandas suaramu menggugah gairah kami
perempuan-perempuan sederhana yang sibuk rumah tangga
wanita-wanita cendekia yang menjadi tiang penyangga
dan dengarlah hari ini sekali lagi
kami berikrar setia di sini
Kartini, kami sedang berjalan di jalanmu
Kartini, kami mau menaklukan matahari
Jakarta, 1978
681
Tentang Kerinduan
I
merayap atas pasir panas
kura-kura tua letih sendiri
mencari gua sembunyi
rindunya pada bayang karang
II
menerobos sela hutan pinus
menyibak-nyibak pagi
rindunya matahari
pada bumi berumput
III
di halaman kampus
mahasiswa bicara tentang penertipan
tentang mata kuliah pagi
tentang wessel yang terlambat datang
dan tentang gadis impian
yang sekarang mata duitan
o, rindunya pada usia matang dewasa
IV
di sawah yang jauh dari gema modernsasi
petani tua bersandar di bendul cangkulnya
anak motah gagal melamar
gara-gara hama melanda musim panen kali ini
O, rindunya pada kasih bumi pertiwi
Jakarta, 1978
682
Tentang Sebuah Nama
Jepara yang tersenyum
Jepara yang menangis
Jepara yang sepi dan sendiri
Jepara yang menyunting melati
adalah dirimu di sana
Kartini, kau usik angin lautnya
Kartini, kau singkap biang lala
dan memekik nyaring kau menuding
hai wanita penyandang suci tubuhnya
jadikan kota ini pedang pusaka
bermata api
berhulu saga
menyatu dalam seribu kerja
Jakarta, 1978
683
Catatan yang Tertinggal Buat Leo Kristi
yang menyanyi hari ini:
dengan suara,
dengan mata,
dengan hati,
bukan tentang bulan pucat
dan cinta yang bisa bikin orang jadi sekarat
yang memekik hari ini:
ada api di matanya,
ada darah di hatinya,
ada peluh di kakinya,
di sini selaksa bunga rumput bergoyang
di sini topan sahabat setia nelayan
di sini angin penyambung kasih sayang
dia berkata !
di sini selaksa derita adalah bunga
di sini angin dan topan adalah risik rebana
di sini yang waras dan yang saling edan cerita
aku berkata!
mari saling sambut tangan
mari saling tatap mata
kunyah bersama derita-derita
belai bersama duka-duka
Yogya, 1978
684
Nyanyian Putih
Sesosok bayang bicara dari dunia jauh:
ini hari yang wangi, saudaraku
jangan hentikan nyanyianmu
selagi merah putih masih berkibar tinggi
bersaksilah bagi kami, saudaraku
peluru telah menyunting janji maut
jadi manik dan bintang di dada
mati bukanlah sakit untuk diobati
melainkan nyanyian putih di hati
tentang cinta pada setiap tapak bumi
Terus nyanyikan hari ini, saudaraku
seperti kami nyanyikan dari bayangmu
kenapa lari sembunyi?
pandangi camar terbang sepanjang pantai
bincang cinta egoisme dan hal tak menentu
inikah ujud lain dari pekik merdeka atau mati-ku dulu?
di ujung kakimu itu
dulu darahku tumpah dan beku
tanpa doa tanpa apa-apa
aku tanya dalam kebodohan primitif
tapi kau hanya bernyanyi syairnya lain
sekali, tentang disco dan gensi
aku makin bising tak lelap berbaring
akankah kau henti dan mulai benah diri?
dan mengirim diriku kembang melati...
Jakarta, 1978
685
Mosaik-Mosaik Putih
seribu melati kami petik hari ini
menjadi mosaik spanjang April, Kartini
putih warna,
putih makna,
putih cinta,
mata kami masih nyalang menatap cakrawala, Kartini
dan nyalang menatap tentang dirimu
api dan cinta yang menyorot dari matamu
kasih dan harum bunga yang mengembun dari jangatmu
kami sadap bersama sorot pertama matahari
ketika segenap jiwa kami tengah dalam puncak gelora
Kartini, biar saja prahara membunuh matahari
Kartini, apimu penerang hari ini
Kartini, apimu seribu matahari bagi kami
Jakarta, 1978
686
Bayang-Bayang
hutan-hutan kerinduan yang
menyembunykan bayang-bayang Yogya
menyembunyikan mimpi-mimpi tentang cinta dan angan-angan
menyembunyikan kenyataan yang lambat laun berlumut
karena matahri yang membuat nafas jadi kabut-kabut jingga
lepas dari jiwa yang senyap
ketika duka meluncur dari arah kota
dan Yogya menjadi sebentuk padang gelap
tiba-tiba kau berdiri di sana
kupikir lebih baik segera belanja
atau menterjemahkan dongeng anak-anak
sebelum jari-jari putihmu mencekik nafas kembaraku
Jakarta, 1978
687
Di Pintu Gerbang Vredeburg
apa yang kulihat hari ini
apa yang kudengar hari ini
pada bayang-bayang pintu gerbang Vredeburg
dalam sepi bincang seni dari kerabat muda
karena waktunya yang habis disita
jam-jam kuliah dan tugas kerja
selain bertimbun gelisah kota
ketika bergegas menyeberang jalan
siapa melambai di pintu gerbang
dan setia berdiri di teduh bayang-bayang
memanggil dengan tatap mata dan senyuman kembang
adakah kau sendiri yang hari ini kehabisan puisi
mestinya damba yang sama
membuat langkah menuju satu arah
mencari Yogya yang berlumur nostalgia
yang terpahat atas dinding pucat gedung tua
yang basah dalam cola-cola, puisi, rindu, dan cinta
kemudian menyatu dalam polusi dan derita kota
Jakarta, 1978
688
Sajak Duka Perempuan Tua
duka-duka hari ini duka perempuan tua
yang melekat jadi kemelut di sudut-sudut mata keriput
dan menguap bersama sebutir peluh dan sepotong harap
tentang warna yang lain
dari lembar-lembar mimpi perempuan tua
yang berjalan dari kota ke lain kota
mencari bayang remaja yang tak mungkin
kembali dalam rona merah jingga
sementara matahari semakin memijar di langit lepas
memijar di ubun-ubun berkerut keras
namun perempuan tua masih mencoba bicara
tentang masa lalu, nostalgia, dan seguci madu
oi, sambutlah tanganku yang ramping wahai penggemarku
di sini aku kan perankan lakon drama paling cantik
tentang segala kisah anak manusia
cinta kasih maupun durhaka
bibir perempuan tua pucat kehitaman
bagai sesayat buah bergetah dan alum
memekik menghantar nafas tak pernah puas
semanjak satu mahkota pernah bertengger di kepala
sebagai primadona
tapi siapa mendengarnya
hari ini terlalu banyak bencana
yang menyita segenap rasa
dari pada sepotong drama perempuan tua
Jakarta, 1978
689
Akhir Sebuah Perjalanan
gemuruh kereta membawa serta
mimpi, harap, duka, dan penat perempuan lepas baya
tersangkut di sepanjang kilometer Yogya-Jakarta
ketika lembaran koran di mukanya bicara tentang dunia
tapi hatinya bicara tentang diri
kabut-kabut terangkat dari bumi
dan matahari belum memberi warna pelangi
di sampingnya masih mengaum garang suara Leo Kristi
tapi tidak tentang cinta pula
manusia-manusia paling dekat dengan kehidupan
namun tentang cinta pada
mereka yang masih dahaga dalam laut kemerdekaan
adalah ini illusi
adalah ini halusinasi
adalah ini frustasi
tak harus perempuan itu bicara seperti ini
karena dari akhir perjalanan hari ini
masih diulang nanti lagi dan lagi
Jakarta, 1978
690
Jakarta Hari Ini
seribu langkah hari ini
dari terminal ke terminal
dari taman ke lain taman
dari jembatan-jembatan penyeberangan
kugapai ramah wajahnya
gemerlap dalam bias lampu sejuta
dan tata indahnya kota
dia bagai sahabat lama
yang memanggil dan menggoda
tapi aku tak mungkin menutup mata
ketika pada sisi yang lain
pandangku jatuh
atas tubuh-tubuh yang tersia
tanpa tahu arti merdeka
dan bocah penjaja koran yang berebut
naik bis kota
dengan pencopet kawakan
sama-sama mencari mangsa
sebelum diterkam
liarnya kehidupan kota
Jakarta, April 1977
691
Surat dari Kota
kukirimkan surat panjang hari ini, ibu
agar sampai padamu tepat kala
kibar bendera dan janur kuning
semarak di sepanjang jalan desa
baca satu-satu dan tanpa air mata
tak ada gunanya mengeluh, buang jauh-jauh
tak ada gunanya menyesali yang terjadi
hanya karena tak dapat ikut mengecap
sepiring nasi putih setelah lama merdeka
itu hanya derita kecil saja
dulu bapak bahkan membusung dada
menjelang peluru-peluru Belanda menghantamnya
ketika beragam siksa tak mampu membuat dia bicara
kau tidak kehilangan
masih berdiri aku di sini
penerus joangnya walau dalam bentuk yang beda
Jakarta, 1977
692
Yogyakarta, Rinduku Masih Untukmu
ketika sepotong puisi terlepas dari buku
yang menjepit setumpuk janji pagi hari
kau tersenyum bersama hangatnya mentari
Yogyakarta, ternyata kau masih ramah sekali
mendekapku dengan hati-hati
selagi aku sembunyi di sudut malamku
sambil menyusut peluh kelihatan campur debu
di punggung anak kesayanganku
yang selama ini setia menunggu
di sela-sela kesibukan kuliah kerja
ketika kutinggalkan
ketika kukenangkan
ketika kurindukan
ketika ku kembali pulang
Yogyakarta, kau masih yang dulu juga
belantara puisimu masih menanti, memanggil
aku menyelusup di semakmu
tapi aku seharusnya tak pergi sendiri
ada dia yang setia di simpang jalan utara
Yogya, 1977
693
Ketika Agustus telah Lewat
janur-janur kuning layu
terbuang di jalan-jalan dan hanyut di kali
tiang-tiang bendera telah pula bersandar damai
sepi dari angin sepi dari kibas kain
ada sesuatu di jantung kota, adikku
pekik dan tawa bukan lagi berbunyi: merdeka !
tapi : ayo santai sampai pagi!
tidakkah kau percaya
ini tanda orang lupa merdeka itu untuk apa
tinggalkan ruangan
sebelum hatimu tersangkut pada yang remang
ada kerja yang belumj selesai
ada matahari yang semakin tinggi
hari ini
Jakarta, 1977
694
Sajak Malam
malam yang tenggelam
bulan yang tenggelam
mimpi yang tenggelam
adakah Kau akan turun
malam ini
mengulurkan tangan putih MU
menghapus duka-duka
merangkum doa-doa
hitam bayang-bayangmu
hitam air mataku
dan aku meniti
di antara hitam-hitam itu
Jakarta, 1977
695
Jakarta di antara Luka-Luka
dering-dering jahanam
menanam bibit dendam
kata cadas hati culas
hari-hari bagai dilas
Jakarta menggilas
dengan caranya sendiri
terseok mengejar esok
sesiapa mengintai di pojok
siap membacok
aku bagai popok teronggok
Jakarta terus menatap sinis
aku rindu sapanya manis
siapa suruh datang Jakarta
kudengar nyanyian lama
merayap di udara
ke Jakarta aku kan kembali
kudengar orang muda bersaudara
tegar sekali apa pun terjadi
Jakarta, Mei 1976
696
Drama Tanah Tercinta
Seribu matahari membakar tanah ini
duka-duka menguap jadi pelangi
nyawa-nyawa tersisa jadi arang dupa
asap nembus langit cari Tuhan-nya
suara-suara genta lagu merdeka
sentuhi derita-derita
lama terkandung dalam rahim bumi tua
adakah wangi masih di dalamnya
tuk memanggil-Mu Tuhan hapus ini durhaka
lama meraja di tanah tercinta
Biarlah guruh dan petir jadi musik di hati
hantar rinduku yang sangat
hancurnya duraka di rumah sendiri
lama cemari bumi Ibuku
kidung dan doa tuntas malam ini, Tuhanku
pijarkan dendamku pada sang duraka
yang membuat Ibu terbelenggu kebebasannya
yang membuat Ibu sandang mala saat merdeka
pacukan kekuatan di tangan ini, Tuhanku
kukuhkan cinta dan harapan
karena dengan tangan ini jua
ingin kuangkat sendiri
Ibuku nerobos pintu duraka
Yogya, 1976
697
Balada Patriot Muda
Matahari katulistiwa
masih semayam di jantungnya
masih bakar pembuluh darah dan sendi
karena
masa muda gelanggang pacuan cita
bukan sebuah kolam di taman kota
ketika pagi di tanah ini tenggelam
dalam cerita-cerita hitam
atau tertimbun bukit merjan
pijar api masih nyala di mata
tegar hati masih tugu di jiwa
matahari masih nyala di dada
cita-cita masih utuh dalam sukma
masa muda hakekatnya
pertempuran lawan segala kenistaan
bukan sebuah meja perjamuan
masa muda hakekatnya
pintalan nyali bentuk cemeti
ketika angkara di tanah Ibu meraja
disaksikan bumi dan langit
inilah hakekat pertempuran itu
Yogya, 1975
698
Jakarta 75
glamournya menyebar liar
sampai ke kota tua
mengejek kampung utara
aku ternganga
ketika satu saat
harus mengetuk pintunya
untuk bermukim
glamournya memilih-milih
tak sampai pada jalan nuju rumahku
aku bukan sahabat
akud atang tanpa diundang
salah diri terbongkok udang
nembang menatap awang-awang
Jakarta, bagaimana harus menyebutmu
rembulan di langitmu
terpotong puncak gedung
matahari di langitmu
terpotong siluet benang
impian di langitmu
membuatku jadi kepompong
akankah di sini lama aku
Jakarta, Juni 1975
699
Dari Debu-Debu Revolusi
kendati kami telah jadi debu dan tanah
terdapat sepanjang pantai dan lembah
belum hirup hangat mentari kemerdekaan
belum reguk segar nikmat kebebasan
namun bukan berarti
segala yang pernah kami korbankan
buat perabuk ladang tempat kau bertanam
dan kukatakan sekarang
segala kami yang nyawanya masih gentayangan
sampai yang damai di sisi Tuhan
kami tak pernah relakan
bumi hangat
yang kami basuh dengan darah
rimba padat
yang kami dekap dengan cinta pasrah
kau buat padang penggembalaan
bagi domba-domba kelaparan
percuma kami jadi debu beterbangan
bila megahnya bangsa sekadar lagu pujaan
galaknya tekad sekadar kata pajangan
bukan untuk itu kami telah sedia mati
namun buat maniskan madu laut katulistiwa
tempat anak-anak masa depan
bebas berkubang sambil minum dan tertawa
tanpa cemas pada neraka dunia
Yogya, 1974
700
Wanita dan Bumi Merdeka
sejarah menulisnya,
dari kejayaan ratu sima sampai gayatri
dari kepahlawanan tjut nya din sampai laskar srikandi
dari perjuangan sartika dan kartini
setiap alihnya masa
nusantara memiliki puteri puteri kebanggaan
kebanggaanku, kebanggaan kaumku
sekarangpun kita punya benih dari mereka
beribu bahkan berjuta
dari bukit-bukit tanah irian sampai pantai sumatera
dari lembah-lembah kalimantan sampai jantung ibukota
betapa kini cucu-cucu kartini
menggempur keterbelakangan
berkarya buat kesejahteraan
merekalah kartini-kartini yang berprestasi tinggi
tapi siapa bilang seluruh wanita nusatara
pejuang militan perikemanusiaan
siapa bilang seluruh putri muda bumi merdeka
meteor-meteor genius kader bangsa
tidak seluruh wanita kaumku
sartika dan srikandi muda
jangan coba menutup muka
dan pura-pura bertanya : dimana.... siapa?
siapapun bisa bicara
siapapun bisa melihat
dimana-mana ada
terlebih di setiap jantung kota
betapa kemajuan nilainya diputarbalikkan
betapa keindahan kurnia Tuhan telah diperdagangkan
dalam peragaan dada terbuka
dalam bentuk-bentuk paha yang digerakkan safari neraka
tapi itu mode, kata mereka
contoh terakhir dari dior dan Italia
inilah : modern, up to date !
inilah : freedom of love, freedom of life !
omong kosong dengan segala macam
freedom dan termodern itu !
hooi ! kupanggil semua kamu!
kuseru namamu :
kaumku, kaum ibu, cucu-cucu kartini tercinta
gadis petani ataupun putri panglima
hayo ! dimana itu nyala api kebangkitan
yang membakar cita-cita
dimana itu naskah ratu sima yang pernah
mengagungkan wanita
cari itu semua sebelum keburu tua
singsingkan kain lemparkan selendang
penghalang !
tapi bukan berarti supermini yang kau kenakan
memakainya, kau takkan bisa bekerja tenang
karena selalu melirik pahamu sendiri yang telanjang
kamu bukan bunga hiasan !
kamupun bukan boneka etalase toserba !
tapi engkaulah bagi kami, harapan hari lusa
dimana karya dan derma
sebagian rintisan masa muda
buat mengisi bumi merdeka !
Yogya, Desember 73
Langganan:
Postingan (Atom)