Jumat, 06 November 2009

PUISI-PUISI DIAH HADANING 2004-2005



Menyimak Perempuan Belati

menangkap senyum kemenangannya
dari tatap mata menyamping arah
menangkap seringai perlawanannya
dari senyum yang sanggup kuliti lelaki
saat senja menabir nampak ia menari
di pelataran berduri
ditantangnya matahari
diejeknya rembulan
ditusuknya gemintang
musim dan sejarah tidak bertuan
dengan pisau sakti bermata ganda
diburunya para leleki jahanam
tuk menuntaskan dendam
menambah guratan
atau membakar simbol adam

tak ada keramat dalam kata
tak ada rahasia di bawah mawar
lelaki yang hanya piawai rejam rahim suci
tak ada tempatnya lagi
belati itu terus bekerja
seiring lava pijar Merapi meleleh jiwa
Cimanggis, 2003-2004


Teluk Banten Masih Setia

Teluk Banten masih setia
kirim buih ombaknya
Tanjung Pontang masih menjaga siang
Tanjung Pujut masih jarring angin dan kabut
Pulau Panjang masih simpan tembang
seiring desir sapu ilalang
di tikungan peradaban

Nyi Ageng Serang
semat sunting semangatnya
Nyi Rangga Sedasa
genggam santun kesetiaannya
para karuhun bingkai jaman dan kawasan
Allah, Allah, Allah
pada-Mu diri berpasrah

Banten, Juli 2004



Di antara Doa-Doa

saat musim usung mimpi perubahan
tragedi menimpa tanah warisan
saksi perjuangan kakek moyang

deram gempa porandakan taratak jiwa
deru gelombang terjang gapura peradaban
tak ada tempat tuk melipat ratap
tak jua sempat simak ulang rubayat
selain doa luka dalam ucap ayat-ayat
dan sebasah nama saksi jamannya
dia raib dalam simpul nasib
kenangan panjang tetinggal di kaki langit
jadi pelangi di batas tabir kelabu
pesan dikirim dari tempat teramat jauh
jangan Tanya siapa-siapa lagi
baca sisa aksara dalam diri
urai simpul rahasia makna
di sana jawab segalanya
luluh lantak ujung negeri
tak hanya peristiwa alam tuk dimaknai
di sana ada misterinya misteri
yang harus dicermati
jadilah insan sejati
jujur dan setia di jalan Ilahi

suaranya hilang
seiring sayup sisa gelombang
seseorang panggil namanya dengan suara terbata
Cimanggis, Pebruari 2005


Sepotong Doa Sungai di Ujung Badai

gemuruh badai diusung layer kaca
seraut wajah hanyut terbawa
barangkali wajah masa depan
bunga Tanah Rencong jika berkesempatan
kini hanya seangka korban
hanya mujiat-Mu jua
ia terasuh Sang Waktu

sepotong doa sunyinya
jadi serat kabut di langit Banda
sepasang mata dukanya
mencari ruh Seudati di ujung bencana
sepi menelan doanya
tak lukisan mana mampu samai warna
warna duka itu sangat sempurna

seutas kasih sayang
lepas dalam hempas gelombang
sisakan sepi seutuhnya
mencari bentuk keajaiban

Cimanggis, Januari 2005



Sisa Kota Peradaban
(Mencari Maskirbi dalam imajinasi)

:sesaat orang masih saling bincang
tentang luas dan perubahan
tentram damai tanah pantai
lalu bencana melanda
hempasan ombak samodra usai gempat
punah semua wahai Cut Nya
yang tersisa bayang-bayang bunga cempaka
dalam serat kabut Banda

di antara puing kota
mencari wajah-wajah
mungkin ibu mungkin ayah
serasa ingind dengar kembali
saat dendang saat marah
melangkah pelan di jalan lama
jalan kecil yang dulu selalu menaggil
akhir tahun tinggal gigit

syair tua, dendang dan tari itu
selamat dalam hatiku, bisiknya kaku
sambil tak henti panggil namamu
Ulebalang, Ulebalang, Ulebalang
cucumu daun melayang

Cimanggis, Januari 2005


89
Teunom, Sebuah Mosaik Retak
(Buat dokter Nursanti di pinggir Teunom)

dentsng-dentang layar kaca
memasang mosaik bencana
sebuah kimat kecil dunia fana
Banda kecil tanpa rembulan
bulan telah ditelan gelombang
mengintip gempa susulan

ada Teunom mosaik retak
dalam dekap perempuan bijak
yang berjanji akan terus bertahan
di pinggir jauh puing runtuhan

Teunom sempaka kecil itu
bayangan sebuah kesetiaan
tangan cinta perempuan Nursanti
dilipat kerudung tersimpan
sejarah tak perluka kata-kata
tangan lentik adalah ketegaran cinta
Cimanggis, Januari 2005


Kabar dari Beranda yang Tersisa

sesiapa masih tertinggal
bersendiri di beranda ajal
matarantai peradaban tua
lepas dari hari luasa tanah pulau
hempas gelombang menghela sempurna
mantra-mantra bunga raya
tak lagi tersisip di telinga
seiring raibnya tugu batu
saksi bisu doa ibu
langit kosong turun di mata sepi
endap lumpur memadat di hati
Cimanggis, Januari 2005



Deru Dera

adakah bunga cempaka tanah Cut Nya
masih mekar putting kuning
sisakan peradaban warna
manakala antaran peduli Aceh
ternoda tangan-tangan berhala
ternoda hasrat-hasrat candela
tak ibarat tak jua ayat
mampu hapus tanda-tanda oleh alpa

tercipta sudah peta hitam
tercipta seiring deru gelombang
hempas pagi tanah serambi

dibilang dihitung angka-angka
seiring delapan arah kiriman doa
tanda masih ada peradaban

tapi ada tangan durhaka sisipkan pengkhianatan
sementara bocah kecil sepi menggigil
kehilangan lentera hari lusa
di tanah airmata saat badai reda
Panglima tua muncul dari kabut sejarah
hatinya luka oleh para pendosa
doa purbanya tanpa suara:
Tuhan, ampuni para pendosa atau lebur jua
Cimanggis, Januari 2005
Catatan: Candala (Jawa) = jahat, hina.

92
Honocoroku Rahayu Buat Ibu

Agung, Agung, Yang Maha Agung
Harum, Harum, Yang Maha Harum
Maha Agung dan Harum hanyalah ENGKAU

Ibu dan aku adalah coroko
coroko tanpa sowoto
karena kami saksi jaman
perubahan ke perubahan
alam yang beda makin kekalkan cinta
irama langkah masih senada
iramanya alam semesta
kini gejolak menghentak
rindu janji di siang retak
sambil anyam bayangmu ibu
doa-doa kulantunkan
bunga gurit dan kidung kuulang-ulang
ritus ke ritus dan ritualan
selalu kubatin namamu
yang menyahut gema kidungmu
merayapi tahun dan windu:
Sebutlah Allah Gustimu

Cimanggis, Desember 2004


Kelanjutan Sebuah Narasi I

kota-kota menciptakan sejarahnya sendiri
lepas dari urutan waktu
manusia tua apung senyum di awang-awang
lukis keindahan tercipta dari bayang-bayang
dan kerakusan jadi balada lepasnya nyawa-nyawa
sementara bumi terus benihkan dosa-doa
langit siram hujan tuba cipta keangkuhan jiwa
belah akal jadi bekal sambut dajal
kuras daya jadi bara sambut duraka
bermain dengan nasib antar zaman anyir
berhala tertawa dalam
dajal bersarang di kepala
terdengar tabuhan gara-gara
perempuan kerudung hitam tangisi tanah merdeka
Cimanggis, September 2004


Kelanjutan Sebuah Narasi II

seseorang angkat pedang
tumbal berjatuhan di seberang jalan
sebuah fragmen ternggut dari tabirnya
rembulan gerhana dan purnama bergantian
matahari mencari narasi sendiri
narasi baru telah diambil bocah-bocah masa depan
dilipat-lipat jadi perahu impian
diapungkan di sungai air mata
mereka terus bermain dalam gelar semesta
meraih-raih mega menghela-hela rasa
sampai akhirnya matahari padam
hilang terang hilang bayang
yang tersisa hanya gema selawatan dalam hitam
Cimanggis, September 2004
95
Membaca Bahasa Lelaki

Lelaki penunggu Kali Wisa
lelaki selalu geliatkan nasib pantura
setahun sekali lupakan pengkhianatan kota
pernah tertikam pedang berkarat
saat rembulan berkalang

Sementara lelaki Akar Rimang
lelaki serat kayu bentuk Adam
ditatah diukir sungsang cuaca
jiwa latu baker tubuh sendiri
jika musim kikis sisa habis tinggal gamang

Lelaki sederhana cemaskan bukit kapur
ngidung malam kirim doa leluhur
menatap rembulan separo
siapkan penolakan atas algojo
bukit kami adalah sisa segala sisa, keluhnya

Sementara lelaki cemaskan lading sawi
menuai kilat lidah belati
menatap matahari bulan Sembilan
serunya tertahan: kusiapkan bibit wijaya kesuma
setelah kucabut akar ilalang
Cimanggis, September 2004
Catatan: latu (Jawa) = api




Membaca Bahasa Gaduh

berujar tak pada siapa
melepas malam menerka waktu
malam gaduh di kota-kota
kota gaduh di rumah-rumah
rumah gaduh di jiwa-jiwa
lalu terdengar suara tua
bicara tentang kesaksian akhir abad
terbayang tanah gersang berdarah di ujung belati
luka-luka memasir busuk di teluk-teluk

jika penembang, tembangku gaduh
jika pendoa, doaku gaduh
jika perindu, rinduku gaduh
jika pemimpi, mimpiku gaduh
betap rindu hening yang bukan sepi
tak dikoyak raung mikropon pagi
seseorang coba memaknai abad baru
lepas dari tafsir-tafsir sungsang
lepas dari hasrat-hasrat grangsang

barangkali:
melati kembali putih bukan dalih
mawar kembali merah bukan darah
suwung jadi rumah dalih jadi sumpah
deras hujan basuh musim tak banjir
deras dzikir usap pikir tak pandi
deras dakur jaga syukur tak hancur
kalau saja tak lagi bahasa gaduh
berujar tak pada siapa
Cimanggis, September 2004


Rerasan Pesisiran

delapan windu angka jadi guguran bunga
ditebar angina tenggara pengunci Tanya
laut pun tak tanya akan ombaknya
ombak pun tak tanya akan deburnya
orang-orang pesisir diam-diam hitung musim
gumam tembang pesisiran
tak lagi cemasi kampong tepi laut
tempat angan perempuan tersangkut
karena rembulan dan mentari telan jabat cahaya
tak lagi cemasi pagi jelang upacara
karena cakrawala dan kening telah menyatu
seiring tembang syahdu

dalam jiwa hadir hari keramat
dalam sukma hadir hari bertobat
orang-orang dengar suara genta
tak lagi raung-raung tangis purba
tak lagi keluh kesah nafas terengah
semua telah di ujung langkah
semua telah di batas waktu
saatnya Sabdopalon dan Noyogenggong
hadir kembali menagih janji
seiring munculnya tanda-tanda alam
gunung-gunung meletus
alam murka banjir melanda
huru-hara di mana-mana
lalu teduh tenang
tanah air damai raya
Cimanggis, September 2004



Membaca Bahasa Transmisi 04

Setumpuk bara senyala
Adalah lambing orang-orang pejalan kurun
Seruas langit sepotong doa
Adalah gurit jiwa orang-orang tanah utara
Tembang eratkan genggam
Orang-orang saling bungakan masa depan
Jepara pulangkan yang pergi
Jepara ramaikan yang sunyi
Sementara orang Sampit datang malam kelelahan
Tak lagi perang selain tembang
Kubawa cinta dan bunga se-Kalimantan
Didekapnya orang-orang unggun rembulan

Ikan laut gelapar dalam bara
Bara percikkan bunga di udara
Orang-orang masih berbincang
Anak Ki Suto Kluthuk merenung panjang

Suara siapa usung berontak jiwa
Di antara deram gendering dan kibas bendera
Jepara nyala dalam bara
Jepara bangun dalam unggun
Serasa andika bersaksi mala mini
Wahai Shima, Kalinyamat dan Kartini
Anak cucu menandak dan menembang
Kusimak orang-orang akar rimang

Jepara, Agustus 2004


Membaca Bahasa Hujan

karena tiada kali direntang jembatan
Kubanjirkan sungai hujan
karena tak sebahasa mengeja makna
Kukejutkan musim bunga dengan pohon tumbang
karena keangkuhan jadi mahkota jiwa
Kulongsorkan bukit-bukit tanah pinggiran
tangis kata Aku hilang Keadilan
Aku sedang Ciptakan penyembuhan

seorang perempuan membaca dalam diam:
barangkali melati kembali putih
barangkali mawar kembali merah
harusnya suwung menjadi rumah
harusnya dengung menjadi prasetya sumpah
deras hujan membasuh senja April
deras dzikir membasuh jiwa
Bogor, April 2004



Membaca Bahasa Petir

petir menyambar udara senja
tinggalkan getaran aneh di beranda
mosaik nada suara:
Yang kelabu langit bukan jiwa
yang melidah api bukan amuk rasa
tak hanyut Aku-mu oleh itu
tak kusut hasrat latu
baker suara purbamu
langit simpan hujan
musim simpan sisa peradaban
kenapa masih tak percaya
Akulah Penguasa Semesta
pantas murka oleh durhaka
saat di Pintu Rumah-Ku
bersila para insan jiwa berhala
aku jua muara pengampunan
Petir-Ku lewat karena
kidungmu luruh di ujung senja

petir menyambar kembali
menjauh di udara tinggi
tinggalkan garis mosaik api

Bogor, April 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar